Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Alternatif Husband

Alternatif Husband

Jesslyn Kei

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Evelyn Hawkins tak pernah membayangkan, hidupnya berubah kacau hanya dalam hitungan jam. Kekasihnya, Victor, menghilang tanpa jejak di hari pernikahan mereka. Ketika segalanya tampak runtuh, muncul Vincent, saudara kembar Victor, menawarkan diri menjadi "suami alternatif." Namun, bisakah Evelyn menerima lelaki asing yang wajahnya begitu mirip cinta pertamanya? Atau justru takdir menyimpan rahasia lain yang lebih mengejutkan?

Bab 1 Menghilangnya Victor

Di sebuah aula besar yang terletak di samping gereja tua, suasana tampak semarak, dihiasi rangkaian bunga mawar putih dan merah muda yang melingkar di pilar-pilar tinggi. Lampu-lampu gantung kristal memancarkan sinar lembut, menciptakan kehangatan di tengah keramaian tamu yang mengenakan pakaian formal. Meja-meja bundar telah tertata rapi dengan taplak putih bersulam emas, lengkap dengan gelas-gelas kaca yang berkilauan di bawah cahaya. Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil telah disiapkan, lengkap dengan kursi pengantin yang masih kosong.

Namun, di balik kemeriahan dekorasi itu, suasana perlahan terasa ganjil. Para tamu undangan mulai saling berbisik, bertukar pandang penuh tanda tanya. Sekelompok wanita muda berkumpul di dekat meja hidangan, suara mereka terdengar pelan tetapi menyiratkan keingintahuan.

"Kenapa sampai sekarang pengantin prianya belum datang?" bisik salah satu dari mereka sambil melirik ke arah panggung yang masih kosong.

"Pengantin pria belum datang." Kalimat itu berbisik dari mulut ke mulut, menyebar seperti api di tengah aula besar yang seharusnya penuh suka cita. Di balik keindahan rangkaian bunga mawar putih dan merah muda yang melingkar di pilar-pilar tinggi, serta kilauan lampu kristal yang memantulkan kehangatan, perlahan muncul ketegangan. Para tamu, yang semula larut dalam obrolan santai dan tawa ringan, kini saling bertukar pandang penuh tanda tanya. Di sudut ruangan, panggung kecil dengan kursi pengantin yang kosong seolah menjadi simbol ketidakpastian.

Di sisi lain, anggota keluarga besar tampak sibuk mencoba menenangkan diri. Wajah mereka menyiratkan cemas, tetapi tetap berusaha menampilkan senyum sopan di depan para tamu.

Di ruang rias yang terletak di lantai atas aula, Evelyn duduk di depan cermin besar, dikelilingi gaun putih dengan ekor panjang yang menjuntai di lantai. Ruangan itu dipenuhi bunga lili yang menebarkan wangi lembut, tetapi bagi Eve, aromanya justru terasa menyesakkan. Gemuruh suara dari bawah, walaupun samar, terus mengganggu pikirannya.

Jemarinya yang menggenggam buket bunga mulai gemetar. Pandangannya terus tertuju pada jam dinding, detik-detik bergerak terlalu lambat dan terlalu cepat sekaligus.

"Victor... di mana kamu sekarang?" gumamnya lirih, suara itu tenggelam di antara helaan napas dan isak tangis yang teredam.

Hiasan di rambut Eve mulai berantakan akibat tangannya yang gemetar merapikan riasan yang luntur karena air mata. Cahaya dari jendela besar di sisi ruangan seolah terasa suram, meski matahari masih bersinar terang.

"Ini hanya keterlambatan. Dia pasti datang... Dia akan datang," racau Eve berbicara pada dirinya sendiri

Clara, sahabat sekaligus pengiring pengantin, berjalan mendekat dengan raut cemas.

"Apa Victor sudah datang?" tanya Eve begitu melihat wajah Clara.

Clara mengelengkan kepala dengan wajah sedikit cemberut.

"Kemana dulu sih dia? Kenapa sampai sekarang belum terlihat juga batang hidungnya?"

"Entahlah, Clara. Aku juga tidak tahu. Mungkin sedang terjebak macet. Atau... mungkin dia hanya sedikit terlambat."

"Terlambat? Ini kan pernikahan dia, Eve! Tidak ada alasan dia terlambat. Ini... tidak masuk akal!" Clara memanyunkan bibir sambil mengerutu kesal. "Sudah coba kau hubungi?"

Mendengar pertanyaan Clara membuat Eve menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja dengan cepat dan segera menghubungi nomor Victor.

Tidak sampai selang beberapa menit Eve mendekat ponselnya ke telinga, wanita itu melemparkan pandangan yang sulit diartikan kepada Clara sembari mengeleng lemah.

"Tidak diangkat."

"Coba kamu hubungi lagi," bisik Clara menyarankan.

Eve mengangguk singkat. Ia menekan panggilan telepon dan kembali mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi."

Eve mendesis kesal, tiap kali ia mendengar suara operator yang menjawab sambungan teleponnya. Wajahnya nampak gusar. Tanpa sadar ia mengigiti ujung kuku, untuk meredakan kegelisahan di hatinya.

"Victor please, jawab panggilan telponku. Kamu ada dimana sih sekarang, Sayang? Kenapa kamu belum juga datang?"

Berulang kali sudah Eve menghubungi sang kekasih, namun tak ada satu panggilan telpon pun diangkat olehnya.

Clara menatap Eve yang berjalan mondar-mandir dihadapannya. Ia dapat memahami kenapa sahabatnya itu nampak gelisah ketika menyadari nomor ponsel Victor tidak aktif.

"Mungkin kamu bisa duduk dulu dengan tenang, Eve. Aku yang pusing melihatmu."

"Bagaimana aku bisa duduk dengan tenang? Victor tidak ada di sini, Clara! Apa yang terjadi?"

"Aku tidak tahu. Tapi kita tidak akan mendapat jawaban kalau kau terus berjalan kesana-kemari seperti itu."

"Bagaimana kalau dia tidak datang?"

"Kalau dia tidak datang, aku akan menyeretnya ke sini sendiri."

Clara mencoba meredakan kegelisahan Eve dengan berbicara santai diselipi gurauan kecil dan berhasil membuat sahabatnya itu tertawa kecil.

"Aku tahu kamu tidak serius," ujar Eve sembari menghela napas.

"Tidak. Tapi aku serius tentang satu hal. Kalau sampai dia tidak muncul, awas saja. Ini akan menjadi masalah besar buatnya, bukan masalahmu."

"Aku takut ini akan jadi masalahku juga," ucap Eve nyaris tak terdengar.

Clara menatap Eve sebelum berbicara dengan lembut.

"Kau sudah melakukan semua yang bisa kau lakukan, Eve. Sekarang, biarkan waktu yang berbicara."

"Lantas aku harus bagaimana sekarang?"

Sebelum Clara sempat menjawab, pintu ruang rias pengantin terbuka dengan tiba-tiba. Eve berbalik dengan harapan besar di wajahnya, tetapi yang muncul bukanlah Victor. Eve terlonjak, melihat lelaki paruh baya yang kini tengah menatapnya dengan tajam.

"Ayah," lirih Eve.

"Kenapa kamu malah duduk-duduk disini?"

"Aku sedang mencoba menghubungi Victor, Yah. Enggak tahu kenapa perasaan Eve mendadak nggak enak banget," terang Eve meminta pemakluman.

"Bagaimana? Apa yang di katakan lelaki itu?"

"Ponselnya nggak aktif, Yah."

Terdengar suara mengeram yang keluar dari mulut Aaron. Menyadari situasi yang terjadi, Clara memilih keluar dari ruangan itu.

"Gimana sih? Sebenarnya kalian jadi niat nikah nggak?"

Lelaki yang dipanggil ayah oleh Eve itu mulai mengerutu kesal.

"Sekarang bagaimana? Semua tamu sudah hadir dan acara sebentar lagi akan dimulai."

Eve terdiam membisu. Ia tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan hati sang ayah.

"Jangan permalukan ayah, Evelyn."

Kata-kata dingin ayahnya membuat tubuh wanita itu gemetar. Eve tertunduk dalam, menyembunyikan raut wajah yang mulai berlinangan air mata. Belum lagi wajah memerah sang ayah yang menahan amarah, makin membuat Eve tak berani mendongak.

"Maaf."

Hanya sepenggal kata itu yang mampu keluar dari mulut Eve yang bergetar.

"Apa dengan kata maaf, semua masalah ini bisa selesai?"

"Tolong bersabarlah sedikit lagi, Yah. Eve yakin Victor sebentar lagi akan datang."

"Mau sampai kapan kita terus menunggu disini, Evelyn? Sudahlah. Sekarang lebih baik kamu keluar! Semua para tamu undangan sudah datang sejak tadi," geram Aaron dengan wajah memerah.

"Tapi, Yah."

"Tidak ada tapi-tapian. Cepat kamu temui mereka sekarang juga. Tidak ada gunanya kamu duduk dan hanya menunggu lelaki yang hingga kini keberadaannya tak tahu ada dimana."

Suara bernada penuh ketegasan yang keluar dari mulut Aaron sudah cukup membuat Eve gemetar hingga sebulir air menetes di kedua matanya. Bahkan saat Aaron sudah berbalik badan dan pergi meninggalkannya, Eve hanya bisa menangis tersedu-sedu.

BERSAMBUNG ...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Jesslyn Kei

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku