/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Udara sore di Prague terasa dingin dan lembab. Angin musim semi berembus lembut melewati jalan berbatu di kawasan Lesser Town, membawa aroma kopi dan bunga dari kafe-kafe kecil di sepanjang trotoar.
Nayra Lestienne menarik koper hitamnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang amplop berisi undangan pernikahannya sendiri-sesuatu yang kini terasa hampir seperti lelucon.
Ia datang dari Paris pagi tadi. Dua belas jam perjalanan, tiga kali transit, dan seharusnya semuanya berakhir manis dengan pelukan tunangannya, Calvin Roux, di depan bandara Václav Havel. Tapi, Calvin tidak datang. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Hanya pesan singkat dari asistennya: "Calvin menunggu Anda di Hotel Royal Belle. Langsung ke sana saja."
Nayra sempat menertawakan ironi itu. Tunangannya yang dulu selalu cerewet soal kesetiaan dan waktu, justru tak repot-repot menjemput calon istrinya di bandara. Ia hanya menenangkan diri dengan berpikir bahwa Calvin mungkin terlalu sibuk dengan persiapan pre-wedding mereka.
"Dua bulan lagi. Dua bulan lagi semua ini akan berakhir indah," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Ia mengenakan mantel krem dan syal biru laut yang menutupi lehernya. Rambut hitam bergelombang terurai dari balik topinya, dan wajah lelahnya tak bisa disembunyikan. Nayra adalah editor mode di salah satu majalah bergengsi di Paris, terbiasa tampil rapi dan anggun. Tapi hari ini, wajahnya hanya dihiasi make-up tipis dan mata sembab akibat kurang tidur.
Begitu memasuki halaman Hotel Royal Belle, langkahnya melambat. Ia tersenyum kecil ketika melihat taman yang dihiasi lampu-lampu gantung dan bunga sakura yang bermekaran. Di bawah salah satu pohon, ada seorang fotografer yang tengah sibuk mengatur kamera, sementara dua orang tampak berdiri saling berhadapan di tengah taman.
Nayra mengerutkan dahi.
Sepasang kekasih-laki-laki tinggi dengan jas abu-abu, dan perempuan bergaun merah muda yang menggantung anggun di tubuhnya. Dari sudut wajah lelaki itu, Nayra melihat sesuatu yang terlalu familiar.
Langkahnya berhenti total.
Tidak mungkin. Itu tidak mungkin Calvin.
Tapi semakin lama ia menatap, semakin jelas bentuk rahang itu, potongan rambut itu, dan cara lelaki itu menyentuh wajah si perempuan.
Ia tahu benar sentuhan itu. Sentuhan yang dulu membuatnya merasa istimewa.
Sampai bibir mereka bersatu.
Sampai tangan Calvin memeluk pinggang perempuan itu seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Sampai suara fotografer berkata riang, "Beautiful! Perfect shot!"
Dunia Nayra runtuh.
Untuk beberapa detik, ia bahkan tak bisa bernapas.
Rasa sakit merambat cepat ke dadanya, bercampur antara marah, jijik, dan tidak percaya.
Tubuhnya bergetar. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku jarinya memutih. "Jadi ini alasan kau tak datang menjemputku?" bisiknya parau.
Ia melangkah cepat ke arah taman, tanpa peduli tatapan orang-orang yang duduk di kafe terdekat. Suara langkah sepatu haknya terdengar keras di atas batu. Ia bahkan tidak tahu apa yang ingin ia lakukan-berteriak, menampar, atau menangis.
Tapi sebelum ia sempat menghampiri Calvin, seorang pria berjas hitam keluar dari pintu hotel, berjalan tepat di hadapannya. Ia membawa beberapa buku tebal dan kertas catatan, wajahnya tenang dan tampan dengan tatapan dingin di balik kacamata.
Dalam sepersekian detik, otak Nayra yang sudah kalut menemukan ide paling gila dalam hidupnya.
"Kalau dia bisa, aku juga bisa."
Ia berhenti di depan pria asing itu, menarik napas panjang, dan sebelum pria itu sempat bereaksi-Nayra menangkup wajahnya dan menciumnya.
Dunia seolah berhenti.
Aroma mint bercampur kopi memenuhi indera penciumannya. Bibir mereka bersentuhan, lembut tapi tegas. Tubuh pria itu menegang, buku-bukunya hampir terjatuh.
Sekitar mereka, orang-orang terdiam. Beberapa menutup mulut, beberapa lainnya mengeluarkan ponsel.
Nayra memejamkan mata, bukan karena menikmati, tapi karena tidak tahu harus bagaimana lagi melampiaskan rasa sakitnya. Saat akhirnya ia melepaskan ciuman itu, wajahnya memanas, jantungnya berdegup keras.
Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, tapi matanya jelas menunjukkan keterkejutan.
"Apa... barusan kau-"
"Diam." Nayra memotong cepat, suaranya rendah dan bergetar. "Aku hanya butuh... satu detik untuk melupakan seseorang."
Ia berbalik, meninggalkan pria itu begitu saja, tanpa sempat memperhatikan kerumunan yang mulai berbisik. Namun sebelum ia sempat melangkah jauh, suara bariton dalam dan tenang itu memanggilnya.
"Miss, kau tahu kau baru saja mencium Dr. Elias Marek, bukan?"
Langkah Nayra terhenti. Ia menatap ke belakang dengan alis berkerut. "Siapa?"
"Orang yang sedang diwawancarai oleh BBC lima menit lalu. Dan orang-orang itu-" pria itu menatap kerumunan yang masih menahan tawa kecil sambil mengangkat ponsel- "merekam semuanya."
Nayra menatap sekitar, dan darahnya terasa berhenti mengalir.
Beberapa orang benar-benar sedang merekam. Bahkan seorang turis tampak tersenyum lebar sambil berkata ke temannya, "I can't believe it! The historian just got kissed in public!"
"Ya Tuhan..." desis Nayra lirih.
Ia segera memutar badan, berlari ke arah pintu hotel, nyaris tersandung koper yang tadi ia tinggal di lobi. Sementara dari belakang, Elias memandangi punggung perempuan itu dengan ekspresi campuran antara bingung dan... kagum entah kenapa.
Beberapa jam kemudian, kamar hotel terasa seperti ruang interogasi.
Nayra duduk di tepi ranjang, wajahnya ditutupi kedua tangan. Ponselnya terus bergetar, notifikasi dari media sosial masuk tanpa henti. Tagar #TheKissInPrague sudah menjadi trending. Ada puluhan video dari berbagai sudut menampilkan ciumannya dengan pria asing tadi.
"Bodoh. Aku benar-benar bodoh," desisnya pelan.
Ia ingin menelepon Calvin, tapi apa gunanya? Ia sudah melihat sendiri pengkhianatan itu. Ia ingin menghapus semua video, tapi itu mustahil. Ia bahkan tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada keluarganya, kepada kantor majalah, atau kepada siapapun.
Ketukan di pintu membuatnya terlonjak.
Ia berdiri cepat, menghapus air mata, lalu membuka pintu.
Dan di sana, berdiri pria itu-Dr. Elias Marek-dengan jas hitam dan wajah yang sama tenangnya seperti sebelumnya.
Di tangannya, ada koran sore dengan foto mereka di halaman depan.
"Aku rasa kita perlu bicara," katanya datar.
/0/29393/coverorgin.jpg?v=a38d767cb176bae84918e6f8c470ddee&imageMogr2/format/webp)
/0/18241/coverorgin.jpg?v=fabebce372d53ebb6b4c4959ace2bf1d&imageMogr2/format/webp)
/0/29790/coverorgin.jpg?v=4eeac7b6ed4cfd6b59c5b454fbfb63e3&imageMogr2/format/webp)
/0/4208/coverorgin.jpg?v=ef5fa7481849bbf2a8fb9e85f73eb156&imageMogr2/format/webp)
/0/16835/coverorgin.jpg?v=e4fb7f2d306934fd883fb8ff2f2e9fc3&imageMogr2/format/webp)
/0/16644/coverorgin.jpg?v=c00f599b8ec08b1b6ed69463abb68eb4&imageMogr2/format/webp)
/0/20147/coverorgin.jpg?v=094d6dee3fe128eb23ca338f58cea767&imageMogr2/format/webp)
/0/3092/coverorgin.jpg?v=6017a83f5795db14f6aeff4606c5d9c3&imageMogr2/format/webp)
/0/5309/coverorgin.jpg?v=318edda748a512baafbab30c446567be&imageMogr2/format/webp)
/0/4019/coverorgin.jpg?v=e1ef4fa87eee2dc58998acc3365705d4&imageMogr2/format/webp)
/0/3467/coverorgin.jpg?v=526864a4342f26f6a9b70352d999bf13&imageMogr2/format/webp)
/0/3822/coverorgin.jpg?v=5116589108a57a18ef2dd8e2017914b3&imageMogr2/format/webp)
/0/7429/coverorgin.jpg?v=84e91445dd5a8d6ad3350ad2d733146b&imageMogr2/format/webp)
/0/13816/coverorgin.jpg?v=dcd375df5c7eb6ce2b672d32a556e176&imageMogr2/format/webp)
/0/20601/coverorgin.jpg?v=c767a518547a1a5362b5171616e93730&imageMogr2/format/webp)
/0/20602/coverorgin.jpg?v=d75af516ce6fb953d1ae24f7069b49dd&imageMogr2/format/webp)
/0/21102/coverorgin.jpg?v=c55ab420031c6a689fe09783289427aa&imageMogr2/format/webp)