Seorang pria yang merasa diabaikan oleh istrinya jatuh cinta pada teman dekatnya. Perselingkuhan ini perlahan-lahan menghancurkan persahabatan dan hubungan pernikahannya, meninggalkan bekas yang sulit disembuhkan.
Arman duduk di ruang tamu rumahnya yang sepi, memandangi jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. Sudah dua jam berlalu sejak ia pulang dari kantor, dan Sarah belum juga kembali. Ia tahu, pekerjaan Sarah sebagai dokter di rumah sakit tidaklah mudah. Tapi akhir-akhir ini, waktu yang mereka habiskan bersama semakin berkurang. Percakapan-percakapan ringan di meja makan dan canda tawa sederhana yang dulu mereka bagi kini hanya tinggal kenangan.
Arman mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat untuk Sarah.
"Masih di rumah sakit? Pulang jam berapa?"
Pesan terkirim, tapi tidak ada balasan. Seperti malam-malam sebelumnya, ia menunggu dalam hening, hanya ditemani bayangan gelap di sekitarnya.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, pintu depan akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Sarah yang tampak lelah. Dia melepas sepatu dan menatap Arman dengan senyuman tipis yang dipaksakan.
"Kenapa belum tidur, Mas?" tanya Sarah sambil mengalungkan tasnya di bahu.
"Aku nungguin kamu, Sarah. Udah jam berapa ini?" Arman menjawab dengan nada lembut, namun tetap ada kekhawatiran di dalamnya.
Sarah tersenyum tipis dan mendekati Arman. "Maaf, Mas. Tadi ada pasien darurat. Ini lagi musim demam berdarah, jadi banyak pasien yang harus diawasi."
Arman mengangguk, berusaha memahami, meski di dalam hatinya ia merasa tak nyaman. Sampai kapan ini akan terus terjadi? pikirnya.
Sarah duduk di sebelah Arman dan mulai membuka obrolan, seolah mengabaikan kebisuan yang sempat melingkupi mereka.
"Kamu gimana di kantor? Ada masalah?" tanya Sarah, berusaha mengalihkan perhatian.
Arman tersenyum kecil. "Nggak ada yang penting, cuma rapat biasa."
Suasana berubah canggung, keduanya hanya terdiam. Sarah menghela napas panjang, lalu ia menyandarkan kepala di bahu Arman.
"Aku tahu belakangan ini kita jarang punya waktu bersama," kata Sarah pelan. "Tapi aku cuma ingin kamu tahu, aku melakukan ini juga untuk kita, untuk masa depan kita."
Arman tersenyum, namun di dalam hatinya, ada keresahan yang terus tumbuh. "Aku tahu, Sarah. Tapi kadang aku merasa... entah, ada sesuatu yang hilang. Kita dulu sering berbagi cerita. Sekarang, rasanya aku cuma bicara sama dinding."
Sarah mengangkat kepalanya, terkejut mendengar keluhan itu. "Mas, aku minta maaf. Aku nggak tahu kamu merasa seperti itu."
Arman menatap Sarah dalam-dalam, mencoba meredam perasaan yang meluap-luap. "Sarah, aku cuma rindu... rindu kebersamaan kita. Aku rindu kamu, rindu kita yang dulu."
Mata Sarah berkaca-kaca, tapi ia menunduk, menghindari tatapan Arman. "Aku juga rindu, Mas. Tapi pekerjaanku ini nggak bisa aku tinggalkan begitu saja. Kamu kan tahu aku udah bermimpi jadi dokter sejak dulu."
Arman mengangguk pelan, mencoba mengerti. "Aku tahu, Sarah. Aku tahu ini impian kamu. Tapi aku juga perlu kamu ada di sini. Aku perlu seorang istri, bukan hanya seorang dokter yang selalu sibuk."
Keduanya terdiam, merasakan beban yang semakin berat. Sarah berdiri, berjalan ke arah dapur tanpa berkata apa-apa lagi. Arman menatapnya dari belakang, menyadari betapa jarak di antara mereka semakin nyata, meskipun mereka berada di ruangan yang sama.
Di tengah kesepian yang ia rasakan, Arman merenung, Apakah aku yang terlalu egois? Atau memang hubungan ini perlahan-lahan kehilangan maknanya?
Malam itu berlalu dalam keheningan yang menggantung. Keduanya tidur di ranjang yang sama, namun terasa begitu jauh satu sama lain. Kesenjangan yang dulu hanya berupa ketidaknyamanan kecil kini terasa seperti jurang yang semakin lebar, membuat Arman tenggelam dalam bayangan kesepian yang ia rasakan setiap kali ia menutup mata.
Malam terus berlanjut dalam keheningan yang berat, bahkan setelah Sarah tertidur di sebelahnya. Arman memandangi langit-langit kamar, merenungkan kata-kata yang tadi mereka bicarakan. Rasanya hampa. Keduanya telah berubah. Ia merindukan kehangatan dan obrolan kecil yang dulu selalu mengisi hari-hari mereka.
Keesokan paginya, Arman terbangun lebih awal. Dia melangkah ke dapur dan menyiapkan sarapan sederhana; berharap momen itu bisa memperbaiki suasana di antara mereka. Ia menata roti bakar, telur, dan secangkir kopi di meja sambil menunggu Sarah bangun.
Ketika Sarah keluar dari kamar dengan mata yang masih setengah terpejam, ia tampak terkejut melihat Arman di dapur.
"Mas, pagi-pagi sudah repot masak?" tanyanya sambil tersenyum tipis.
"Ya, aku cuma mau kita makan bareng. Sudah lama kita nggak sarapan sama-sama, kan?" jawab Arman sambil tersenyum. Tapi senyum itu terasa getir, seperti upaya terakhir yang ia tahu belum tentu berhasil.
Sarah duduk di meja, memegang cangkir kopi yang masih mengepul. Mereka makan dengan percakapan ringan, namun setiap kali Arman mencoba mengungkapkan perasaannya, Sarah tampak berusaha mengalihkan pembicaraan.
Setelah beberapa saat, Sarah meletakkan cangkir kopinya, menatap Arman, dan berkata, "Mas, aku ngerti kamu merasa kita makin jauh. Tapi kita butuh saling pengertian. Pekerjaanku... tanggung jawabnya nggak gampang."
Arman menghela napas, mencoba untuk tidak terpicu oleh kata-kata Sarah. "Aku mengerti, Sarah. Aku tahu pekerjaan kamu itu penting, tapi apa yang kita punya di sini juga penting. Aku cuma ingin punya waktu lebih dengan kamu. Kalau terus seperti ini, aku takut kita malah semakin jauh."
Sarah menunduk, seakan menghindari konfrontasi itu. "Aku akan coba cari cara, Mas. Mungkin aku bisa minta jadwal yang sedikit lebih longgar..."
"Benarkah?" Arman menyela dengan sorot mata penuh harap.
Sarah menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Aku akan coba. Demi kita."
Mereka saling tersenyum, tapi di balik senyuman itu, ada kekhawatiran yang tetap tak bisa hilang. Arman tahu janji ini bukan pertama kalinya terdengar, dan rasa kesepian yang ia rasakan semakin lama semakin menggerogoti hatinya.
Beberapa hari berlalu dengan upaya Sarah menepati janjinya. Namun, panggilan-panggilan mendadak dari rumah sakit terus datang. Setiap kali Arman melihat Sarah harus pergi, ia merasa hatinya semakin hancur. Tak jarang, di malam-malam ketika Sarah sedang bertugas, Arman duduk sendirian di ruang tamu, menghabiskan waktu dalam diam.
Pada suatu malam, saat Sarah sedang dinas malam, Arman memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil di dekat rumah mereka. Ia duduk di sudut ruangan, memesan secangkir kopi, mencoba melupakan sejenak rasa kesepian yang menggantung di dalam dirinya. Saat itulah, ia mendengar suara lembut menyapanya.
"Arman? Ini kamu?"
Ia menoleh dan mendapati Rania, teman lamanya sejak kuliah, berdiri di sana sambil tersenyum. Rania adalah sosok yang ceria, penuh energi positif, dan selalu mudah bergaul. Mereka saling menyapa dan mengobrol, mengingat kenangan lama dengan tawa yang sudah lama tak Arman rasakan.
"Sudah lama banget ya, Ran. Kamu di sini sekarang?" tanya Arman setelah mereka duduk bersama.
"Iya, aku balik lagi ke kota ini tahun lalu. Kebetulan dapat kerjaan di sini. Kamu sendiri gimana? Lihatnya kamu baik-baik aja, ya?" Rania menatap Arman dengan senyum hangat yang membuatnya merasa nyaman.
"Ah, iya, ya gitu deh," Arman menjawab sambil tersenyum kecil, namun ia menyadari bahwa senyum itu hanyalah topeng untuk menutupi perasaannya. Tanpa sadar, ia mulai bercerita tentang Sarah, pekerjaannya, dan kesepian yang sering menghantuinya belakangan ini.
Rania mendengarkan dengan penuh perhatian, menatap Arman dengan sorot mata simpatik. "Itu pasti berat, Man. Tapi... kamu juga butuh bahagia. Menikah itu tentang saling mendukung, bukan saling menjauh."
Ucapan Rania menancap di hati Arman. Entah bagaimana, ia merasa lebih dimengerti dalam beberapa jam berbicara dengan Rania daripada dalam waktu berminggu-minggu bersama Sarah yang akhir-akhir ini terasa jauh.
Saat malam itu berakhir dan mereka berpisah, Arman merasa sedikit lebih lega, seolah-olah beban di pundaknya telah sedikit terangkat. Namun, dalam benaknya, ia tak bisa menghilangkan perasaan bersalah. Meski tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Rania, ia merasa bahwa menghabiskan waktu bersama wanita lain hanya akan menambah kerumitan dalam kehidupannya.
Di lain sisi, kehangatan pertemuan dengan Rania terasa seperti angin segar di tengah kebekuan pernikahannya. Tanpa ia sadari, benih perasaan yang belum pernah ia rasakan sejak lama mulai muncul kembali.
Bersambung...
Buku lain oleh EMBUN ABADI
Selebihnya