Alya, seorang psikolog muda, terjebak dalam permainan aneh setelah menerima cermin antik dari pasien terakhirnya yang meninggal secara misterius. Setiap malam, cermin tersebut menunjukkan pesan-pesan dan teka-teki yang harus dipecahkan, mengungkapkan rahasia kelam tentang orang-orang di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri. Namun, setiap teka-teki yang dipecahkannya tidak hanya mengungkapkan kebenaran, tetapi juga mengubah kenyataan di sekitarnya. Tidak ada yang bisa dia percayai-termasuk ingatannya sendiri.
Matahari sore tenggelam perlahan di balik gedung-gedung tinggi Jakarta, meninggalkan jejak langit yang memerah di jendela apartemen Alya. Di dalam ruangan yang sunyi, Alya duduk termenung, merenungi cermin besar yang baru saja diletakkan di sudut ruang tamu. Cermin itu tampak kuno, bingkainya terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif rumit menyerupai dedaunan dan sulur-sulur yang saling membelit. Meskipun sudah lapuk oleh waktu, cermin itu tetap memiliki daya tarik misterius yang tak bisa diabaikan.
Alya masih teringat jelas pertemuannya dengan Yara, pasien terakhirnya yang meninggal secara misterius. Yara adalah seorang perempuan berusia awal tiga puluhan, selalu datang ke sesi terapi dengan tatapan kosong dan beban berat yang sulit dijelaskan. Dia berbicara tentang ketakutan yang terus menghantui, tentang mimpi-mimpi buruk yang datang setiap malam, dan tentang sesuatu yang sepertinya selalu mengawasinya dari balik bayangan.
"Ada yang salah dengan cermin itu," kata Yara di sesi terakhir mereka, dua minggu sebelum kematiannya. "Aku merasa seperti... aku tidak sendiri di sana. Setiap kali aku menatapnya, sesuatu kembali menatapku."
Pada saat itu, Alya mengira itu hanyalah bagian dari delusi yang disebabkan oleh kecemasan dan depresi berat yang dialami Yara. Namun sekarang, setelah kematiannya yang tak terjelaskan, Alya mulai meragukan semua yang pernah dia pikirkan.
Di hari setelah pemakaman Yara, seorang kurir datang membawa cermin tersebut beserta sebuah surat. Surat yang tertulis dengan tinta hitam, kertasnya usang dan berbau aneh, seakan sudah berusia puluhan tahun. Surat itu singkat, hanya beberapa kalimat, namun cukup untuk membuat Alya tidak bisa berhenti memikirkannya.
"Untuk Alya,
Aku tahu kamu akan menganggap ini aneh, tetapi aku mempercayakan cermin ini padamu karena aku percaya hanya kamu yang bisa menemukan jawabannya. Aku tidak bisa menjelaskan lebih jauh, tapi cermin ini menyimpan rahasia yang tak bisa kusampaikan saat masih hidup. Maafkan aku karena meninggalkanmu dengan teka-teki ini.
Yara."
Alya berusaha keras untuk mengabaikan perasaan tak nyaman yang menjalar di tubuhnya sejak menerima cermin itu. "Ini hanya benda mati," bisiknya pada diri sendiri, berusaha meyakinkan dirinya bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, bahkan di bawah cahaya lampu ruang tamu yang temaram, cermin itu tampak seperti memancarkan sesuatu yang tak kasat mata, sebuah aura yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Malam semakin larut, namun Alya tak kunjung bisa tidur. Pikirannya terus melayang-layang di antara ingatan tentang Yara dan cermin yang kini berada di apartemennya. Dia mencoba membaca buku, menonton televisi, namun segala usaha itu gagal mengalihkan perhatiannya. Akhirnya, Alya berdiri dan berjalan ke ruang tamu. Cermin itu masih di sana, berdiri kokoh di sudut ruangan, memantulkan bayangan dirinya yang tampak samar dalam keremangan.
Perlahan, Alya melangkah mendekat. Tangan dinginnya terulur menyentuh permukaan kaca cermin. Begitu jari-jarinya menyentuh kaca yang dingin, jantungnya berdegup lebih cepat. Sekilas, dia merasa seperti ada sesuatu yang bergerak di balik pantulan bayangan dirinya. Alya buru-buru menarik tangannya, memaksa dirinya tertawa kecil. "Ini konyol," gumamnya, mencoba menepis perasaan aneh yang melingkupi dirinya.
Namun, saat itulah dia melihatnya-sebuah kilatan bayangan yang tak seharusnya ada. Alya terdiam, matanya menyipit, memperhatikan lebih dekat. Di dalam cermin, pantulan ruang tamu yang seharusnya kosong tampak berbeda. Ada sesuatu, samar dan tak jelas, tapi pasti ada. Bayangan itu melesat cepat di belakangnya, hanya tampak di sudut matanya.
"Apa itu?" Alya berbisik, suara hatinya bergetar. Dia berbalik dengan cepat, menoleh ke belakang, tapi ruangan di belakangnya tetap kosong. Tak ada apapun, hanya kegelapan yang dipotong cahaya lampu kuning lembut. Tidak mungkin. Dia pasti hanya lelah.
Dia kembali menghadap cermin, napasnya mulai terasa berat. Bayangan itu sudah hilang, hanya menyisakan pantulan dirinya sendiri yang tampak lelah dan cemas. Tapi perasaan aneh itu tak juga pergi.
Alya memutuskan untuk mengabaikannya dan beranjak ke kamar. Namun, sebelum meninggalkan ruang tamu, sekilas dia melihat sesuatu tertulis di cermin, di bagian bawah bingkai kayu yang usang. Sebuah tulisan kecil, hampir tidak terlihat, tapi jelas terukir dengan tangan.
"Siapa aku?"
Alya terpaku. Tulisan itu tidak ada sebelumnya. Atau, setidaknya, dia tidak pernah menyadarinya. Pikirannya berputar dengan berbagai kemungkinan-apakah ini hanya permainan pikirannya yang lelah, atau memang ada sesuatu yang aneh dengan cermin itu?
Dia meraba-raba dinding untuk menemukan saklar lampu, menyalakannya untuk melihat lebih jelas. Tulisan itu masih ada. "Siapa aku?" Alya membaca keras-keras. Kata-kata itu bergema di dalam kepalanya, memancing rasa penasaran dan ketakutan dalam waktu bersamaan.
Esok harinya, Alya tidak bisa berhenti memikirkan cermin itu. Di tengah sesi-sesi terapi dengan pasien lain, pikirannya terus melayang kembali ke cermin dan pesan yang tertulis di sana. Siapa aku? Apakah ini bagian dari teka-teki yang dimaksudkan Yara? Apa yang sedang coba disampaikan oleh Yara melalui cermin itu?
Sepulang kerja, Alya langsung menuju cermin lagi, mencari petunjuk lain. Namun, kali ini cermin tampak biasa saja. Tidak ada pesan baru, tidak ada bayangan aneh. Alya mendesah lega, mencoba berpikir rasional. "Ini mungkin hanya hasil imajinasiku saja," katanya dalam hati. Namun, jauh di dalam benaknya, keraguan mulai merayap. Ada sesuatu yang tidak beres dengan cermin ini.
Hari-hari berikutnya, Alya mulai merasa cermin itu mempengaruhi kehidupannya lebih dari yang dia sadari. Mimpinya semakin aneh, dipenuhi bayangan-bayangan yang berkelebat dan bisikan-bisikan samar yang tak bisa dia pahami. Setiap kali dia bangun, rasa cemas itu semakin kuat, seolah cermin itu memanggilnya, menuntut untuk diperhatikan.
Satu malam, ketika hujan turun deras di luar, Alya terbangun dengan jantung berdegup kencang. Dia mendengar suara-suara yang sepertinya berasal dari ruang tamu. Langkah-langkah kaki kecil yang bergetar, hampir seperti suara lantai kayu yang berderit di bawah tekanan.
Dengan napas tertahan, Alya bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang tamu. Dalam kegelapan, dia bisa melihat kilatan cahaya kecil yang memantul dari permukaan cermin. Namun, kali ini, dia yakin mendengar sesuatu. Seolah-olah ada seseorang-atau sesuatu-di dalam ruangan.
Sesampainya di ruang tamu, Alya berhenti tepat di depan cermin. Cahaya lampu jalan yang menembus jendela memantulkan bayangan dirinya di kaca cermin. Namun, kali ini, bayangannya tampak aneh. Bayangan Alya yang terpampang di sana tidak bergerak selaras dengannya. Bayangan itu menatap lurus ke arahnya, meskipun dia sendiri sudah menolehkan kepalanya sedikit ke samping.
Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin mulai merembes di dahinya. Bayangan itu mulai bergerak sendiri, memiringkan kepalanya, lalu bibirnya yang pucat perlahan melengkung menjadi senyuman yang tampak tidak alami. Alya mundur selangkah, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya ilusi. Tapi bayangannya di cermin terus tersenyum, matanya melebar, menatap lurus ke arah Alya dengan tatapan yang membuat darahnya membeku.
"Lupakan. Ini tidak nyata," Alya bergumam, berusaha menenangkan diri. Namun, ketika dia berbalik untuk meninggalkan ruangan, dia mendengar sesuatu yang membuatnya mematung.
Suara pelan, tapi jelas, datang dari arah cermin. Suara seperti bisikan.
"Jawablah."
Alya terdiam. Tangannya gemetar. Apa yang harus dijawab? Pertanyaan yang muncul di cermin?
Dengan suara serak, dia berbisik pelan, "Kamu... siapa?"
Cermin itu tetap diam, namun bayangannya tampak semakin hidup. Lalu, perlahan-lahan, kata-kata baru muncul di kaca, samar-samar, seolah tergores dari dalam cermin itu sendiri.
"Aku adalah bayangan yang selalu kau sembunyikan. Aku ada di dalam dirimu."
Alya terkejut, napasnya tersengal-sengal. Kata-kata itu seakan menusuk jantungnya. Apa maksudnya? Siapa yang berbicara? Cermin itu, atau... dirinya sendiri?
Saat Alya menatap lebih dekat ke cermin, rasa takut berubah menjadi rasa ingin tahu yang mencekam. Cermin ini, pikirnya, bukan sekadar benda mati. Ini adalah kunci. Tapi kunci untuk apa?
Dia menyadari bahwa apa pun yang terjadi, dia sudah terlibat dalam permainan yang lebih besar dari sekadar teka-teki. Teka-teki ini bukan hanya tentang Yara-ini tentang dirinya juga. Alya merasakan perutnya mual, namun di saat bersamaan, rasa penasaran membakar di dadanya.
Dia harus menemukan jawabannya.