Janda usia 35 tahun ini tinggal menunggu satu tahun lagi, sampai anaknya, Raisa jatuh ke pelukannya lagi. Anak perempuan yang selama 7 tahun diakuisisi mantan suaminya secara semena-mena. Namira, cuma perlu satu tahun menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, agar dia bisa berkumpul lagi dengan putri kecilnya ini. Tapi ya "kapan sih hidup baik-baik aja ?" Bahkan Namira sendiri yang sering mempertanyakannya. "Logikanya gitu coach. Tapi kalau hidup kaya matematika, harusnya aku udah juara olimpiade". Namira saja bingung, apa yang membuatnya bisa jatuh cinta pada Raka. Mas-Mas tukang desain dengan kekayaan dibawah standarnya Namira. Mas-Mas dengan tampang rata-rata, yang bertingkah bagaikan badut di lapangan tenis. Paling Sial, Namira memilih jatuh cinta pada suami orang. Pertemuan yang intens di lapangan tenis, berlanjut ke urusan pekerjaan, diselingi dengan adegan ranjang. Namira benar-benar bertekuk lutut pada Mas-Mas biasa ini. "Dia mau ga kerja juga aku gapapa, aku masih sanggup biayain hidupnya". Ya, begitulah cinta membutakan hati Namira. Waktu menjawab. Namira berhasil merebut hati Raka. Hatinya Raka boleh direbut Namira , tapi statusnya, Raka tetap suami Sanji, dan Papanya Isyana. Namira tak sanggup melihat hubungan Papa dan anak berantakan karena dirinya. "Aku gini aja udah seneng kok, jadi selingkuhan juga gapapa". Sampai sepasrah itu Namira pada percintaannya. Namira si perempuan tangguh ini pun harus menyerahkan nasibnya pada semesta. Dia tak mengerti bagaimana besok akan tercipta untuknya. Jangan tanyakan apa itu cinta pada Namira. Yang dia tau, Raka itu Cinta.
30 menit yang lalu, dia keluar dari pintu rumahnya dengan tatapan kosong. Kupingnya masih mendengar cercaan keluar dari mulut istrinya. "Aku kerja mati-matian, kamu malah enak-enakan main. Ga ada otaknya kamu ya ? Tiap malem keluar terus, main terus. Aku udah capek kerja, pulang malem, kamu suruh jaga anak lagi. Nyari duit ga becus, masih ngerepotin istri lagi. Suami ga tau diuntung" Suara itu masih terdengar tinggi walaupun pintu sudah ditutup rapat dari luar.
Santapan malam yang rutin hinggap di kuping Raka. Satu hal yang mungkin membuat langkahnya berat adalah tangisan Isyana. Putri kecilnya.
19.45. Raka memutar-mutar rokoknya. Dia selonjorkan Kakinya, sementara punggungnya bersandar. Tatapannya masih sama seperti 30 menit yang lalu, kosong, tak ada amarah setelah mendengar cacian dari istrinya.
Didepannya, bertengger net tenis sepanjang 11 meter, berikut hamparan lapangan berwarna hijau yang mengkilat. Raka hanya menyedot rokoknya, hembuskan, begitu saja terus. Sampai pintu besi berderit. Dari sudut matanya dia mendapati perempuan dengan tinggi rata-rata masuk ke lapangan. Bercelana pendek dan baju kaos. Tak lupa raket tenis menggantung di lengan kiri.
Selirik dua lirik, perempuan ini tak pernah dilihat sebelumnya. Yang Raka tau dengan pasti, perempuan ini akan bermain tenis. Biarkan saja, nanti toh akan berkenalan. Begitu batin raka. Dia kembali ke ritual melamunnya. Ingatannya meluncur mundur ke 5 tahun silam, saat Sanji melempar senyum padanya di pelaminan. Senyum yang tak pernah dia lihat lagi 2 tahun belakangan ini.
Raka menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Sanji begitu menyenangkan kala itu. Sanji terbiasa mengelap sendok makan Raka, Sanji tak pernah lupa merapikan kemejanya yang kadang keluar dari orbit. Ahh perempuan yang akhirnya dia yakini sanggup menemaninya hingga akhir hayat. Perempuan yang akan dia perjuangkan sampai titik nadirnya. Begitu janji yang dia ucapkan dulu pada Sanji.
Ahh. People change. Konon, ada 2 hal yang pasti dari manusia. Satu, mati. Yang kedua adalah berubah. Raka makin dirundung kekecewaan. Sementara perempuan yang baru datang itu meletakkan handphonenya dan melempar pandangan ke Raka. Dia bisa merasakan getirnya jiwa Raka. But who's care, bahkan dia tak mengenal Raka. Dia melirik jam, 5 menit lagi harusnya latihan mulai. Dia melakukan pemanasan keliling lapangan. Meninggalkan Raka yang masih saja bengong dan memutar-mutar rokoknya.
Tak lama, pintu besi kembali terbuka. Kali ini coach Joko datang dengan perlengkapan melatihnya. "ya apa bengang-bengong tok. Kenapa lagi kamu, Mas ?"
Raka sadar, waktunya bengong sudah habis. Mendadak senyumnya sumringah. Drastis sekali dibanding tadi. "urusan orang dewasa"
"Iya Paham. Masak ya tiap latihan bawa PR." Coach Djoko mempersiapkan stand bolanya.
"Lho, Kak Namira udah daritadi ?" Dia sadar ada murid barunya yang harus di threatment lebih.
Perempuan bernama Namira itu melempar senyum manis. "Belom coach, baru pemanasan".
"Udah diajak kenalan sama mas Raka ?"
Namira bingung dengan pertanyaan Djoko. Dia hanya menggelengkan kepala.
"Lhoo. Ya apa kok diem-dieman gini. Kenalan dulu lah, Mas." Djoko melirik Raka yang baru saja beres memakai sepatu. Dapet aba-aba dari Dojko, Raka langsung menghampiri Namira, full senyum. Sungguh ekspresi yang berubah 180 derajat dari pandangan pertamanya tadi. Namira takjub dengan mood swing nya Raka. "Hai Kak, Raka" Raka menjulurkan tangan.
Disambut senyum takjub dari Namira. "Mira". Sebegitu menyenangkan kah tenis bagi laki-laki ini ? Namira terus membatin.
"Ini muridku yang progresnya paling bagus Kak Mir. Tapi ya gitu, banyakan becandanya."
Namira hanya tersenyum. Tidak dia bayangkan laki-laki yang tadi duduk melamun dengan tatapan kosong ternyata adalah periang di lapangan.
Berangsur-angsur peserta kelas datang kemudian. Satu persatu menyapa Raka hangat. Namira bisa mendengar bagaimana candaan orang-orang ini, seakan-akan mereka masih di sekolah dasar.
"Mas Raka. Kamu duluan nyampe pasti latian dulu ya. Biar ga kalah sama kita-kita yang muda "
"Aku pakai kiri aja cukup lawan kalian"
"Eh mas Raka, kamu udah minum susu penguat tulang ? Kemarin kata coach kamu sampe keram."
"acting aja itu, biar bisa gantian main. Masak aku terus yang menang. Kasian yang lain pada nontonin"
Sungguh diluar dugaan Namira, kelas tenis ini begitu bacot. Dia yang anak baru, memilih sibuk dengan kerjaan di handphonenya.
"Ya gitu anak-anak Kak Mir. Becandanya kadang kurang ajar." Djoko mendekati Namira, memberikan prolog agar murid barunya ini tak culture shock.
Namira melempar senyum. "Gapapa coach".
"Tiap ada orang tua itu, kelas ya begini. Tidak kondusif,. Hehehe. Herannya, semua nyariin dia kalau latian." Lanjut Djoko sambil menunjuk ke arah Raka.
Senyum masih menempel di bibir Namira. Dia lirik Raka yang sedang berduel dengan tembok.
"Ayoo Kak Mir. Mulai yuk" Djoko memberi instruksi kelas untuk dimulai. Malam ini hanya 7 orang. Djoko sudah siap dengan keranjang bolanya. "Pasangan ya. Full forehand, masuk 10 bola. Abis pukul balik ke cone kiri,langsung siap terima bola selanjutnya. Ayo Raka sama Kak Mir duluan. Kasih contoh ke adik adik."
Penuh percaya diri, Raka mengambil posisi sebelah kanan. "Ayo Kak Mir"
"Dari mukanya, ini harusnya cepet ya" Djoko senang dengan semangat Raka.
"Siapin 10 bola aja Jok, jangan banyak banyak."
"Ini suka aku. Kak Mir, siap-siap kalau udah keluar sombongnya biasanya ngaco pukulannya."Kemudian Djoko melempar bola ke sisi kanan Raka.
Sebuah swing full power plus full ngawur dilepaskan Raka. Tersangkutlah bola di net. Giliran Namira, "bepp" suara string membahana. Forehand flat yang keras dan tajam.
Raka dibuat bengong dengan skill Namira. Bola matanya mengikuti pergerakan Namira setelah memukul. Raka begitu takjub. Pun 5 orang peserta kelas yang lain. Namira is on the wheel.
Gagal lagi Raka melewatkan bola dari net. Peserta kelas mulai bacot. "Ayo Ka. Kalau punya masalah dirumah, jangan dibawa ke lapangan. Kenceng boleh, ngawur jangan." Djoko mulai mewanti-wanti Raka.
Raka yang kemudian berangsur-angsur membaik pukulannya. Dia kembali menemukan performa spin di forehandnya. Namira pun tersenyum melihat Raka yang sudah on form.
Akhirnya 10 bola masuk. Raka langsung menghampiri Namira dan meminta maaf sambil cengengesan. "Kak Mir, sori aku jadi beban."
Namira kaget mendengar permintaan maaf Raka. "Eh santai Masss." Matanya yamg besar memandang raka lekat-lekat. Tak lupa dia titipkan segurat senyum.
*
Segurat senyum yang sama percis dengan foto ukuran 3R dalam pigura. Tak cukup senyum, anak gadis ini pun menduplikasi mata Namira. Besar dan berbinar. Ya, gadis itu menemani Namira di meja kerjanya, all day long.
Jenuh bergaul dengan layar, Namira merebahkan kepalanya di kursi putar-putar. Menatap plafon, plafon tak menjawab. Dia putar ke kiri, ke kanan manise kursinya. Ada baiknya dia refresh sejenak menyantap media sosialnya. 1 permintaan pertemanan baru, Abi Caraka. Tak perlu waktu lama, dia sudah mengenali siapa manusia ini. Yap, laki-laki yang bisa merubah drastis moodnya. Laki-laki yang sungguh periang di lapangan tenis.
Tak mudah untuk masuk ke dunianya Namira. Dia memilih menjelajah lebih dalam profil Raka. Melulu tentang putrinya, kadang terselip beberapa wajah istrinya. Bukannya berhenti, Namira tambah penasaran dengan paras cantik istrinya Raka. Sanji, begitu namanya tertera. Oriental face, hidung mancung, tampak langsing dan proporsional. Sebagai wanita pun, Namira memberikan pujian pada Sanji dari dalam hati. "wooow".
Terkonfirmasi green flag. Lagipula, kelas tenisnya perdananya semalam lebih cair dengan kehadiran Raka. Raka rajin mengajaknya ngobrol ketika dirinya kedapatan sendiri. Raka juga sering memuji pukulannya, dan sebaliknya menggodanya ketika mereka sedang dipisahkan net. Terpenting, rasanya dia akan rutin latihan di klubnya Coach Djoko semalam. Namira akhirnya berteman dengan Raka secara resmi di Instagram.
Dia lirik pekerjaannya di monitor. Sebuah helaan nafas menjadi jawaban. Rasanya, tenis lebih menyenangkan. Tapi apa daya dia ada meeting jam 5 sore. Dia buang rasa malasnya, mencoba menyelesaikan pekerjaan secepatnya. Hingga dia punya waktu untuk minum kopi sejenak sebelum meeting. Asyik menggeber sisa-sisa moodnya, pintu ruangannya terbuka. Perempuan agak gempal, dengan make up kental masuk ke ruangannya. "bad news Mir, Meeting sama Raymond postponed" Perempuan ini kemudian langsung duduk berhadapan dengan Namira.
Sumringah Namira mendengar informasi barusan. "Asyikk. Pulang cepet berarti hari ini ya Jen ?."
"Lhooo, kok malah seneng sih. Project gede ini Mir. Aku takut mereka pindah ke yang lain."
Bukannya berempati, Namira malah sibuk merapikan perkakasnya bersiap untuk pulang. "Iya paham aku, Jenifer. Dia kan postponed meeting, bukan cancel. Entar aku telpon asistennya deh buat reschedule ya. Ayok pulang."
"Masih jam 4 Mir"
"Ngopi dulu lah"
"Gak ah, gendut aku jadinya ngopi terus sama kamu."
"Dari 10 tahun lalu juga kamu gendut Jen. Sekarang tambah cantik aja, karena abis operasi hidung." Mira menggoda Jennifer yang tampak cemberut.
"Abis ngopi kamu kemana Mir ?"
"Ahhh. Good question. Wait, aku mau telpon coach ku dulu". Kemudian Namira melakukan panggilan.
"Coach ?" Jennifer tak menangkap arah pembicaraan Namira.
"Hei coach. Ada slot kelas gak tar malem. ? Ehmmm, yah full ya ? Eh serius coach ? Gapapa emangnya aku gantiin ? Ohh. Okay- okay deh. Thank you ya coach"
"Kamu mau tenis ?"
Namira mengangguk saja, matanya masih tertuju pada handphone. "Kamu mau ikut ?"
Mengambang bola mata Jenifer. Tentu bukan ajakan yang menggiurkan. "Gak, ngopi aja" ujarnya seraya bangkit. "Aku touch up dulu"
Namira dibuat bengong dengan pilihan Jennifer. "Dasar genduttt". Bola matanya menguntit pergerakan rekan kerjanya tanpa kedip.
Tak ada balasan dari Jennifer. Dia keluar dari pintu sambil menepuk pantatnya sendiri. "Kamu tepos"
*
Secangkir Americano hangat dan secangkir White disajikan, berikut jajanan yang susah dieja dalam bahasa Indonesia. Namira mengendus aroma kopi murni. Sementara Jennifer asik memotret minumannya. Sungguh dua pribadi yang berbeda.
"Eh. Makin kesini, kamu kok tambah males make up sih Mir ?"
"Ngopi sama kamu aja, apa gunanya make up Jenn ?"
"Hati-hati, entar kamu ditinggal sama berondongmu itu."
Pahit Americano ini begitu menggigit tenggorokan Namira. "Anjingg. Valueku ga sekedar muka Jen"
Tepuk tangan Jennifer mendengarnya. "Namira Amalia. Hahaha. Apa sih kurangnya kamu ya ?! Cantik, pinter, karier bagus, mandiri, duit banyak, goyangan hot ... " Tak selesai ucapan Jennifer, kepalanya sudah dikeplak dengan buku menu. "hahhaahhaa" dikeplak, malah terkekeh Jennifer. "Salah ngomong aku ? Hahahaha. Nasibmu aja yang apes urusan percintaan."
"Udah bagiannya Jen. Mau gimana donk ?!"
Terharu Jennifer mendengar jawaban sahabat karibnya ini. "Eh mong omong, Raisa apa kabar?"
Seketika berubah air muka Namira. Kali ini lebih sendu. "Hmmm, lama ga berkabar Jen. Nomerku di handphonenya diblok sama neneknya."
Suasana berubah melankolis. Jennifer tau betul bagaimana tersiksanya seorang ibu yang dipisahkan dari anaknya. "Aku sempet liat di Ig mantanmu , kayanya Raisa udah mulai sekolah."
Namira mengangkat bahu. Dia benar-benar tak punya jawaban atas kondisi gadis kecil yang dia lahirkan sendiri.
Bab 1 First Impression : Weird
06/10/2024
Bab 2 Namira & Tenis
06/10/2024
Bab 3 Berondong Manis, Darius
06/10/2024
Bab 4 Mengulik Raka
06/10/2024
Bab 5 Kepergok
06/10/2024
Bab 6 Bad day with a good guy
06/10/2024
Bab 7 Like a Boss
06/10/2024
Bab 8 Tertangkap basah
06/10/2024
Bab 9 Raka & Namira officially paired on the court.
06/10/2024