Sekelompok teman lama berkumpul kembali di gedung tua yang dulunya merupakan sekolah mereka. Ketika salah satu dari mereka ditemukan tewas, mereka menyadari bahwa ada rahasia gelap yang telah lama tersembunyi, dan seseorang di antara mereka siap untuk mengungkapnya dengan kekerasan.
Malam itu terasa dingin dan sunyi ketika sekelompok orang tiba satu per satu di depan gerbang besar yang berkarat. Gedung tua itu, yang dulunya adalah sekolah mereka, berdiri menjulang dengan keangkeran yang memancarkan aura masa lalu. Cahaya bulan yang samar memantulkan bayangan menyeramkan dari jendela-jendela yang pecah dan dinding-dinding yang ditumbuhi lumut. Gedung itu, yang dulu penuh dengan canda tawa mereka, kini hanya tinggal bayangan usang dari kejayaannya.
Raka, pria tinggi dengan rambut beruban di pelipisnya, adalah yang pertama tiba. Ia berdiri di depan gerbang, menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, tempat itu menyimpan kenangan masa muda yang penuh kebahagiaan. Namun, di sisi lain, gedung tua itu juga menyimpan rahasia yang telah lama ia coba lupakan.
Tak lama, satu per satu teman lamanya tiba. Ada Dina, wanita dengan mata tajam dan senyum yang selalu menenangkan; Rudi, yang dulu selalu menjadi pusat perhatian dengan leluconnya; Sinta, yang pendiam namun penuh misteri; dan Arman, yang dulu adalah ketua geng mereka, selalu penuh semangat dan energi.
"Masih ingat tempat ini?" tanya Raka, suaranya terdengar serak saat memecah keheningan.
Dina mengangguk pelan. "Sulit dilupakan. Tempat ini penuh dengan kenangan... dan beberapa di antaranya mungkin lebih baik tetap terkubur."
Rudi tertawa kecil, meskipun ada nada cemas di suaranya. "Ah, jangan serius-serius amat. Kita di sini untuk reuni, kan? Ayo masuk, lihat bagaimana sekolah kita sekarang."
Mereka membuka gerbang berkarat itu dengan susah payah, suaranya berderit keras menambah kesan angker. Melangkah ke dalam halaman yang dulu dipenuhi dengan anak-anak berlari dan bermain, kini hanya ada rumput liar dan sampah berserakan. Pintu utama gedung sudah tak terkunci, seolah-olah mengundang mereka masuk.
Saat mereka melangkah ke dalam, lantai kayu yang lapuk berderak di bawah kaki mereka. Dinding-dindingnya ditutupi dengan coretan dan kertas-kertas usang yang masih menggantung. Kelas-kelas kosong itu terasa dingin dan hampa, hanya dihuni oleh bayang-bayang masa lalu.
Mereka berjalan menyusuri koridor yang dulu akrab, mengenang setiap sudut, setiap ruangan yang pernah menjadi bagian dari hidup mereka. Tapi, di tengah nostalgia itu, ada perasaan tak nyaman yang perlahan muncul. Seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik bayang-bayang.
"Apa kalian ingat ruangan ini?" tanya Sinta tiba-tiba, suaranya pelan dan nyaris tak terdengar. Ia berdiri di depan sebuah pintu tua yang setengah terbuka. "Ini kelas kita dulu."
Mereka semua berhenti dan menatap pintu itu. Kenangan masa lalu kembali berputar di benak mereka. Tawa, canda, persahabatan, dan... sesuatu yang lebih gelap.
"Sudah lama sekali," gumam Arman, matanya menerawang jauh. "Rasanya seperti baru kemarin kita ada di sini."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari ujung koridor. Mereka semua terdiam, saling memandang dengan cemas.
"Siapa itu?" tanya Rudi dengan nada bergurau, meskipun jelas ia tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin mencekam. Suasana yang awalnya penuh nostalgia kini berubah menjadi menakutkan. Bayangan masa lalu seolah-olah kembali hidup dan mengintai mereka.
"Ayo, kita periksa," kata Raka akhirnya, mencoba mengambil alih situasi. Mereka berjalan bersama, mengikuti suara langkah yang entah berasal dari mana.
Saat mereka tiba di ujung koridor, tidak ada siapa pun di sana. Hanya pintu kelas lain yang sedikit terbuka, mengayun pelan seolah-olah baru saja dilewati seseorang.
Malam itu, reuni mereka berubah dari sekadar mengenang masa lalu menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Gedung tua itu tidak hanya menyimpan kenangan, tetapi juga rahasia yang telah lama tersembunyi-rahasia yang perlahan akan terbongkar, satu demi satu.
Saat mereka mendekati pintu kelas yang terbuka, langkah kaki mereka melambat. Semua mata tertuju pada pintu yang berderit pelan, seolah dipaksa oleh angin. Namun, malam itu terlalu tenang untuk ada angin yang masuk ke dalam gedung.
"Ini tidak terasa benar," bisik Sinta dengan suara gemetar. Tangan kecilnya meremas lengan Dina, mencari rasa aman yang hilang sejak mereka melangkah masuk ke gedung itu.
Raka, yang biasanya penuh percaya diri, ragu sejenak sebelum mengulurkan tangannya untuk membuka pintu lebih lebar. Dengan suara kayu tua yang berderit, pintu itu terbuka penuh, memperlihatkan ruang kelas yang sudah lama ditinggalkan. Bangku-bangku berserakan, sebagian besar rusak atau terbalik. Di pojok ruangan, papan tulis yang buram masih memiliki sisa-sisa kapur putih yang tak pernah dihapus dengan sempurna.
Namun, yang menarik perhatian mereka bukanlah keadaan kelas yang kumuh, melainkan sesuatu yang tergeletak di atas meja guru. Sebuah foto lama, terbingkai dalam pigura kayu yang usang. Raka mengambil foto itu, memandangnya dengan mata terbelalak.
"Ini foto kelas kita," katanya dengan suara rendah. Semua orang mendekat, menatap foto tersebut. Itu adalah foto mereka saat masih duduk di bangku SMA, penuh senyum dan kebahagiaan. Mereka semua ada di sana, berdiri di halaman sekolah dengan seragam yang rapi. Namun, ada sesuatu yang tidak beres dengan foto itu.
Di sudut kanan bawah, ada seseorang yang tidak mereka kenali. Wajahnya kabur, seolah-olah sengaja dirusak atau terhapus. Seorang sosok dengan senyum misterius yang menatap langsung ke arah kamera.
"Siapa itu?" tanya Arman, matanya tak bisa lepas dari sosok aneh di foto tersebut.
Tak ada yang menjawab. Pikiran mereka semua berputar-putar mencari penjelasan, tetapi tak ada yang masuk akal. Mereka semua tahu setiap orang dalam foto itu-mereka adalah teman-teman dekat, tak ada yang bisa mereka lupakan. Namun, sosok ini tidak pernah ada dalam ingatan mereka.
"Saya tidak suka ini," ujar Dina akhirnya, suaranya gemetar. "Ini terasa... salah."
Mereka semua merasakan hal yang sama. Ketidaknyamanan yang menggeliat di perut mereka berubah menjadi ketakutan yang nyata. Foto itu, sosok itu-semua terasa seperti peringatan. Seolah-olah gedung tua ini sedang mencoba memberi tahu mereka sesuatu yang mengerikan.
"Sudahlah, mungkin ini hanya lelucon seseorang," kata Rudi mencoba meredakan suasana, meskipun nadanya terdengar tidak yakin. "Kita di sini untuk reuni. Mari kita lanjutkan."
Namun, bahkan saat mereka meninggalkan kelas itu dan melanjutkan reuni mereka, bayangan sosok di foto tersebut terus menghantui mereka. Setiap canda tawa yang mereka coba bangkitkan terdengar hampa, setiap kenangan yang mereka bagi terasa dingin dan jauh.
Saat malam semakin larut, mereka berkumpul di aula besar di tengah gedung. Aula itu dulunya adalah tempat mereka mengadakan acara sekolah-pentas seni, upacara, dan perpisahan. Kini, aula itu kosong, dindingnya penuh dengan coretan dan debu yang menumpuk di setiap sudut.
"Ada yang ingat acara perpisahan kita di sini?" tanya Dina dengan senyum pudar. "Semua orang menangis, bahkan guru-guru."
Namun, kenangan itu terasa terputus-putus. Seolah-olah ada bagian dari masa lalu mereka yang telah terhapus atau sengaja dilupakan.
"Tapi ada sesuatu yang terjadi setelah itu, kan?" tanya Sinta tiba-tiba, suaranya seperti berbisik. "Ada sesuatu... sesuatu yang kita semua lupakan."
Semua orang terdiam. Kalimat itu menggantung di udara, tak seorang pun yang berani menjawab. Perasaan aneh yang menghantui mereka sejak tiba di gedung ini semakin menguat.
"Aku rasa kita harus pergi dari sini," ujar Dina akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Ini bukan tempat yang baik untuk kita lagi."
Namun, sebelum ada yang bisa merespons, lampu di aula tiba-tiba berkedip-kedip, dan kemudian padam sepenuhnya. Kegelapan menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh suara napas mereka yang semakin berat.
"Tenang... jangan panik," kata Raka, meskipun jelas ia sendiri sedang berjuang melawan ketakutannya. Ia meraba-raba saku jaketnya, mencari senter kecil yang selalu ia bawa. Cahaya kecil dari senter itu segera menyala, namun tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang seolah-olah menelan mereka hidup-hidup.
Saat cahaya senter Raka menyapu aula, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Di dinding belakang aula, tertulis dengan cat merah yang sudah mengering, sebuah pesan yang menyeramkan:
**"Satu demi satu, kalian akan kembali. Satu demi satu, kalian akan jatuh."**
Tak ada yang berkata-kata. Hanya keheningan yang berat, dan perasaan bahwa reuni ini baru saja berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah mereka bayangkan.
Di luar, angin mulai berhembus, membawa suara-suara dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang. Di dalam gedung tua itu, reuni yang seharusnya penuh dengan tawa dan nostalgia kini berubah menjadi malam yang penuh ketakutan-malam di mana kenangan masa lalu mulai menyeruak kembali, membawa serta kegelapan yang selama ini terkubur.
Bersambung..
Buku lain oleh Tetesan Fajar
Selebihnya