Seorang arkeolog menemukan artefak kuno yang hilang di sebuah kota kecil. Namun, artefak itu membawa kutukan, dan satu per satu, orang-orang yang terlibat dalam penemuannya mulai menghilang. Sang arkeolog harus memecahkan misteri kutukan ini sebelum menjadi korban berikutnya.
Desa Sentana, terletak jauh di pedalaman, adalah tempat yang tenang dan terpencil. Arga, seorang arkeolog berpengalaman, menatap jalan berdebu di depannya saat mobil yang dia tumpangi memasuki desa kecil itu. Udara di sini terasa berbeda, seolah waktu berhenti bergerak. Bukit-bukit hijau yang mengelilingi desa menambah kesan kuno, seakan menyimpan rahasia yang belum pernah terungkap. Legenda lokal tentang artefak kuno telah membawa Arga ke tempat ini, dan kini ia siap memulai petualangannya yang penuh teka-teki.
"Jadi, ini tempatnya?" tanya Raka, salah satu anggota timnya, yang duduk di sebelah Arga. Matanya menyusuri pemandangan desa dengan rasa penasaran. Raka adalah seorang pemuda cerdas dengan bakat luar biasa di bidang geologi.
"Ya," jawab Arga singkat sambil tersenyum tipis. Dia menoleh keluar jendela, melihat penduduk desa yang tampak enggan berbicara dengan orang luar. Tatapan mereka penuh kewaspadaan dan ketakutan, seolah mereka tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh orang-orang asing seperti mereka.
Setelah tiba di penginapan sederhana di desa, Arga segera mengatur persiapan untuk penggalian di sebuah situs kuno yang diyakini oleh penduduk desa sebagai tempat tinggal para leluhur mereka. Di sinilah legenda tentang artefak itu pertama kali muncul. Namun, banyak yang memperingatkan bahwa menggali situs tersebut bisa membawa bencana.
Arga dan timnya memulai penggalian di pagi hari. Matahari baru saja terbit ketika sekop pertama menembus tanah keras di area yang mereka yakini sebagai pusat situs kuno tersebut. Timnya terdiri dari lima orang, selain Raka ada juga Yuni, seorang ahli antropologi, Bima yang bertugas mengelola peralatan, dan Yanto yang merupakan tangan kanan Arga dalam setiap ekspedisi.
Beberapa jam menggali, mereka tidak menemukan banyak hal selain pecahan tembikar tua dan batu-batu kecil. Namun, menjelang sore, Raka yang sedang menggali lebih dalam tiba-tiba berteriak, "Pak Arga! Aku menemukan sesuatu!"
Arga berlari mendekat, diikuti anggota tim lainnya. Di hadapan mereka, tampak bagian atas sebuah peti emas yang terkubur dalam-dalam di bawah tanah. Ukirannya begitu rumit, dengan pola geometris dan simbol-simbol kuno yang tidak dikenal.
"Ini... ini luar biasa," gumam Arga, matanya berbinar penuh antusias. "Kita mungkin baru saja menemukan sesuatu yang lebih besar dari yang kita duga."
Semua mata tertuju pada peti itu, jantung mereka berdegup cepat. Arga memberi isyarat kepada timnya untuk berhati-hati saat menggali lebih dalam, membebaskan peti dari tanah yang menguburnya selama berabad-abad. Seiring berjalannya waktu, peti itu sepenuhnya terungkap-sebuah kotak emas yang tampak tidak tersentuh oleh waktu.
"Kita harus membukanya di laboratorium," kata Yuni sambil membersihkan keringat di dahinya. "Tapi apa yang kira-kira ada di dalamnya?"
"Sesuatu yang sangat penting," jawab Arga dengan nada serius. "Atau mungkin... sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi."
Peti itu kemudian dipindahkan ke markas sementara mereka di pinggiran desa. Sebelum mereka sempat membukanya, seorang penduduk desa tua bernama Pak Sukro datang menghampiri mereka. Raut wajahnya penuh kecemasan, dan matanya menatap peti emas itu dengan ngeri.
"Kalian harus berhenti," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang kalian temukan bukanlah harta biasa. Itu adalah pusaka yang hilang, yang tidak boleh disentuh oleh manusia lagi."
Arga terdiam sesaat. "Apa maksud Pak Sukro?" tanya dia, penasaran.
Pak Sukro menghela napas panjang, matanya masih terarah pada peti itu. "Peti itu menyimpan kutukan kuno. Dahulu kala, leluhur kami menyegelnya karena isinya membawa kematian. Siapa pun yang membukanya... tidak akan selamat."
Semua orang terdiam, merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Yanto yang biasanya lebih berani, tampak gelisah, sementara Yuni menatap Pak Sukro dengan tatapan skeptis. Namun, Arga, dengan rasa ingin tahunya yang tak pernah padam, tidak gentar.
"Kami tidak percaya pada kutukan, Pak Sukro. Tapi terima kasih atas peringatannya," kata Arga sopan, namun jelas bahwa dia tidak berniat menghentikan penyelidikan ini. Misteri di balik peti emas itu terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Pak Sukro menggelengkan kepalanya dan berkata pelan, "Aku sudah memperingatkan. Apa yang akan terjadi setelah ini bukanlah tanggung jawabku."
Dia pun pergi, meninggalkan Arga dan timnya dalam kebingungan. Namun, di dalam hati Arga, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh. Meski dirinya seorang ilmuwan, kata-kata Pak Sukro terus terngiang dalam pikirannya.
Di malam hari, Arga duduk sendiri di depan peti emas yang belum dibuka. Pikirannya penuh dengan pertanyaan-tentang artefak ini, tentang kutukan, dan tentang apa yang menantinya di balik tutup peti itu.
"Besok kita akan tahu kebenarannya," gumamnya pada dirinya sendiri. Namun, dia tidak menyadari bahwa apa yang menantinya jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah dia bayangkan.
Di malam itu juga, langit Desa Sentana tampak gelap, dan angin dingin berhembus kencang. Peti emas yang tergeletak di tengah ruangan tampak berkilauan samar di bawah cahaya remang-remang. Sesuatu di dalamnya tampak menunggu untuk dilepaskan.
Dan saat fajar menyingsing, misteri itu mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit, membawa Arga dan timnya ke dalam sebuah perjalanan yang tidak hanya akan mengungkap sejarah kelam, tetapi juga menantang kehidupan mereka.
Malam semakin larut, dan keheningan Desa Sentana hanya diselingi oleh deru angin yang menggetarkan dedaunan di luar. Di dalam markas sementara, peti emas itu tampak semakin mencekam di bawah cahaya lampu yang temaram. Arga duduk di mejanya, pikirannya masih sibuk memikirkan kata-kata Pak Sukro.
Timnya telah kembali ke penginapan, kelelahan setelah seharian menggali. Tapi Arga tidak bisa memejamkan mata. Sejak penemuan peti itu, ada sesuatu yang terasa tidak beres. Ia selalu bangga akan ketidakpercayaannya pada takhayul, namun kali ini perasaan ganjil yang dia rasakan begitu nyata.
Angin malam merembes masuk melalui celah jendela. Arga menarik nafas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Di depannya, peti itu tetap tertutup rapat, namun seolah memancarkan aura yang tidak terlihat.
"Peti ini bukan sekadar benda tua," gumamnya pelan, setengah kepada dirinya sendiri. "Ada sesuatu di baliknya."
Arga memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Dengan hati-hati, ia membuka buku catatan dan mempelajari kembali pola-pola ukiran yang ada pada permukaan peti. Ukirannya unik, mirip simbol-simbol kuno yang pernah ia lihat di berbagai situs purbakala, tetapi tetap saja ada sesuatu yang asing.
Sebelum dia bisa memutuskan apa langkah berikutnya, pintu markas terbuka tiba-tiba, membuat Arga tersentak. Raka muncul di ambang pintu, wajahnya pucat.
"Pak Arga," bisik Raka, suaranya bergetar, "ada yang aneh."
Arga menatap Raka dengan cemas. "Apa yang terjadi?"
Raka menelan ludah sebelum menjawab, "Aku baru saja dari luar. Ada sesuatu di sekitar situs penggalian kita. Aku... aku merasa sedang diawasi."
Arga berdiri dari kursinya, berusaha memahami apa yang terjadi. "Kau yakin?"
Raka mengangguk, matanya penuh ketakutan. "Aku mendengar suara-seperti bisikan, tapi tidak ada siapa pun di sana. Lalu, aku melihat bayangan aneh di pinggir hutan."
Arga merasakan bulu kuduknya berdiri. Pikiran tentang kutukan yang diceritakan Pak Sukro kembali menghantuinya. Dia mengambil jaket dan menyambar senter. "Ayo kita lihat," katanya, meskipun sebagian dari dirinya ingin menghindari tempat itu malam ini.
Keduanya berjalan keluar, menembus kegelapan malam yang terasa lebih pekat dari biasanya. Suara angin menghempas pohon-pohon di sekitar, menambah suasana mencekam. Saat mereka mendekati situs penggalian, Arga mulai merasakan keanehan yang sama seperti yang dikatakan Raka. Udara di sini terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengawasi mereka dari balik pepohonan.
Mereka berhenti di dekat lubang penggalian yang sudah hampir tertutup kembali oleh bayang-bayang malam. Arga menyorotkan senter ke sekeliling, tetapi tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan yang menyelimuti.
"Tadi di sini, Pak," kata Raka, menunjuk ke arah tepi lubang.
Arga mengarahkan sinar senternya ke tempat yang dimaksud. Awalnya, dia tidak melihat apa pun yang aneh. Namun, saat dia melangkah lebih dekat, ada sesuatu yang membuatnya terhenti. Di tanah, dekat pinggir lubang penggalian, ada jejak kaki-jejak kaki besar yang tidak mungkin milik manusia.
"Ini bukan milik kita," bisik Raka, matanya terbelalak.
Arga berjongkok, memperhatikan lebih dekat. Jejak itu dalam, seolah-olah makhluk yang sangat berat telah menginjak tanah basah. Hatinya mulai berdegup kencang. Apakah ini ulah binatang liar? Tapi ukuran jejak ini terlalu besar, lebih besar dari jejak binatang apa pun yang mungkin ada di sekitar desa ini.
Mendadak, terdengar suara gemerisik dari dalam hutan di sebelah mereka. Keduanya langsung berdiri, waspada. Cahaya senter Raka menyapu pepohonan, tapi hanya ada bayangan yang bergerak cepat di antara batang pohon.
"Apa itu?" Raka berbisik, suaranya penuh ketakutan.
Arga tidak menjawab. Dia menatap lurus ke arah bayangan tersebut, mencoba menenangkan diri meskipun nalurinya mengatakan bahwa mereka harus segera pergi dari tempat ini. Perlahan, suara gemerisik itu semakin menjauh, dan keheningan kembali menguasai tempat tersebut.
"Ayo kita kembali," kata Arga akhirnya. "Ini tidak aman. Kita akan melanjutkan ini besok."
Mereka berdua bergegas kembali ke markas. Saat mereka tiba, Yuni dan Yanto sudah menunggu di depan pintu, tampak cemas.
"Kalian dari mana?" tanya Yuni dengan nada khawatir. "Kami mendengar suara aneh di luar."
Arga dan Raka saling pandang sebelum akhirnya Arga berkata, "Kami melihat sesuatu di situs. Ada jejak kaki besar di sana. Dan... sepertinya bukan milik manusia."
Yanto tampak bingung. "Apa maksudmu? Kau bicara tentang binatang?"
"Mungkin lebih dari itu," jawab Arga. "Ada sesuatu yang terjadi di sini, dan kita belum tahu apa."
Ketegangan di antara mereka semakin meningkat. Tidak ada yang berbicara selama beberapa menit, sampai akhirnya Yuni mengusulkan, "Bagaimana kalau kita hentikan dulu penggalian ini? Mungkin Pak Sukro benar. Mungkin kita tidak seharusnya menggali lebih dalam."
Namun Arga, meskipun hatinya ragu, tetap berpegang pada keyakinannya sebagai seorang ilmuwan. "Aku setuju bahwa ada sesuatu yang aneh. Tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Kita sudah terlalu jauh."
Malam itu, Arga duduk sendirian di markas, mengawasi peti emas yang masih tertutup rapat. Jejak kaki yang mereka temukan, bisikan di hutan, dan bayangan yang mengintai-semuanya membuatnya semakin curiga bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar artefak kuno.
Namun, rasa ingin tahunya terlalu besar. Esok harinya, dia akan membuka peti itu, dan menemukan apa yang disembunyikan di dalamnya selama berabad-abad.
Di luar, angin malam kembali berhembus kencang, dan kegelapan menyelimuti Desa Sentana. Tetapi, entah mengapa, malam itu terasa berbeda. Seolah-olah desa ini baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya, dan apa yang menanti di baliknya mungkin lebih menyeramkan daripada apa pun yang pernah Arga bayangkan.
Bersambung...
Buku lain oleh Tetesan Fajar
Selebihnya