Kisah seorang aktor tampan sekaligus pengusaha kaya yang memiliki dua wajah. Kwon Chin Mae adalah sosok yang ramah dan rendah hati ketika di hadapan publik, tetapi berubah menjadi sosok yang sombong, arogan dan kasar ketika di rumah. Pertemuannya dengan sang kakek, membuatnya tak bisa berkutik ketika berhadapan dengan Kim Shin Hui salah satu aktris pendatang baru yang dijuluki si ratu es.
Suasana hening di suatu tempat yang keseluruhan sekitarnya terlihat berwarna putih bersih tanpa ada satupun benda di sana. Jangankan suara, bahkan hewan, rumput liar dan tanah beserta airnya-pun tak ada.
Bangunan dan jutaan manusia yang seharusnya ada, seakan menghilang dari bumi ini. Atas, bawah, kanan, dan kiri, semuanya dikelilingi dengan warna putih.
'Hampa' hanya kata itu yang dapat menggambarkannya.
Yang ada di sana hanyalah sesosok lelaki tua yang mulai berlari kecil dengan pundaknya yang agak bungkuk sedang terburu-buru menghampiri seorang pemuda tampan yang sekiranya berumur 26 tahun tergeletak tak sadarkan diri di tengah-tengah kehampaan itu.
"Nae seonja (wahai cucuku), akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga.
Bangunlah! lihat, aku adalah hal-abeojimu (kakekmu), salah satu leluhurmu." Panggil lelaki tua tersebut pada pemuda yang masih terbaring itu.
Sang pemuda perlahan bangun seraya ia memegang kepalanya yang masih pening, lalu berkata. "Di mana ini? Dan siapa kau kakek tua? Aku tak ingat memiliki kakek sepertimu!" kata pemuda itu dengan sinis.
"Nae seonja (Wahai cucuku), aku kan sudah bilang aku ini leluhurmu. Yaa ... jadi mana mungkin kau mengingatku. Jangankan ingat, kau bahkan tak mungkin mengenalku!" jelas sang kakek.
"Ya ampun, sebenarnya apa yang kakek tua ini katakan. Lagipula tempat apa ini, tak ada apapun di sini, semuanya hanya tampak berwarna putih, bahkan bajuku dan baju kakek tua ini juga berwarna putih. Tunggu, apa aku sudah mati?! Tidak-tidak, itu tidak mungkin. Aku tak bisa kehilangan nyawaku begitu saja, tidak sampai aku mengalahkan orang itu. Jika ku ingat-ingat lagi, seharusnya sekarang aku sedang tidur di kamarku. Iya benar! mungkin saja ini hanya mim ...." Pemuda itu bergumam dalam hatinya dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah karena pikirannya itu.
"Iya, tentu saja ini hanya mimpi! Kau belum tiada. Aku yang sengaja masuk ke dalam mimpimu," ujar pria tua itu memotong isi pikirannya seakan-akan tau apa yang ada di pikiran pemuda itu.
Pemuda itu membelalakkan matanya karena terkejut mendengar perkataan si pria tua .
"Apakah kakek tua ini tau isi pikiranku?" tanya pemuda itu dalam hatinya.
"Ya, tentu saja aku tau!"
Sekali lagi pria tua itu menjawab isi pikiran si pemuda.
"Hei, apakah kau benar-benar bisa membaca isi pikiranku kakek tua?" tanya pemuda itu dengan matanya yang masih terbelalak karena merasa heran.
"Apa maksudmu, bagaimana mungkin aku bisa membaca isi pikiranmu itu nae seonja (wahai cucuku)!" jawab pria itu.
"Lalu mengapa kau selalu berbicara, seakan-akan kau menjawab isi pikiranku? Lagipula aku rasa itu mungkin saja. Ini kan hanya mimpi!" tanya kembali pemuda itu seraya ia mengatakan semua kemungkinan yang ada.
"Lalu bagaimana mungkin aku tak tau apa isi pikiranmu, jika wajahmu sendiri yang memberitahukannya padaku! Akan lebih aneh jika aku tidak mengetahuinya bukan!" jelas kakek itu seraya menggerakkan tangannya lagi agar pemuda itu memahami maksudnya.
Pemuda itu mengedipkan matanya beberapa kali setelah mendengar perkataan lelaki tua itu.
"Baiklah aku mengerti. Lalu mengapa kau masuk ke dalam mimpiku, memangnya apa urusanmu kakek tua, dan siapa kau sebenarnya?!" tanya si pemuda itu kembali, dengan sinis.
Helaan napas yang terdengar berat serta bibir yang diapit kedua pipi yang sudah mengendur itu berubah miring agak ke samping setelah ia mendengar pertanyaan sang pemuda dengan nada yang cukup kasar untuk pria setuanya.
Kedua alis yang berada di atas matanya itu terangkat sehingga membuat kedua matanya terbelalak karena kecewa dengan sikap tak sopan pemuda yang ia panggil cucunya itu.
"Nae seonja (Wahai cucuku), apakah kau tak bisa bersikap sopan pada hal-abeojimu (kakekmu) ini?! Apakah kau sadar, sedari tadi kita berbincang dan kau selalu memanggilku dengan sebutan kakek tua?! Aku tahu aku ini sudah tua, tapi tak sepantasnya kau memanggilku dengan sebutan seperti itu bukan? Kau tak perlu selalu mengingatkanku tentang seberapa tuanya diriku ini!" jelasnya pada pemuda itu dengan tegas tapi lembut, dan sekali lagi diikuti dengan gerakan tangannya.
Pemuda tersebut menggerakkan kedua alisnya ke atas, dan bibirnya yang merapat itu ke samping, sebagai tanda tak peduli dengan semua nasihat panjang lebar yang pria tua itu katakan padanya.
"Ya sudahlah, sekarang kau katakan saja, siapa kau sebenarnya?" tanya lagi pemuda itu.
"Aku ini adalah kakekmu, lebih tepatnya kakek buyut, salah satu leluhurmu. Namaku Kwon Duck-Young, mulai sekarang kau panggilah aku hal-abeoji. Kau mengerti?"
Perintahnya.
"Tapi bagaimana aku dapat percaya dengan semua yang kau katakan itu, apa buktinya jika kau memang kakek leluhurku?" tanya pemuda itu menantang.
"Setelah kau bangun pergilah ke ruangan tua di rumahmu, tepatnya yang berada di lantai satu di bawah pojok tangga rumahmu itu. Kau carilah kotak tua coklat yang berukiran pucuk rebung, lihatlah isi di dalamnya. Itu adalah hadiah yang aku buat sendiri dengan tanganku ini untuk nenekmu, dan sudah kami serahkan turun-temurun untuk kalian para anak dan cucu-cucuku.
Sayangnya, orang tuamu pikir itu hanya sekedar kotak tua yang isinya saja tak mereka ketahui karena kotak itu terkunci, jadi karena itulah mereka menaruhnya di ruangan itu. Setelah kau buka kotak itu, perhatikanlah baik-baik isinya, disana ada ukiran namaku dan nenekmu. Itu yang akan membuktikan jika semua ucapanku padamu ini adalah benar," jelas sang kakek.
"Lalu apa alasanmu datang ke mimpiku ini? Kau tadi berkata, bahwa kau sengaja masuk ke dalam mimpiku ini. Apakah mungkin orang yang sudah tiada, datang seenaknya dalam mimpi seseorang?" tanya pemuda itu kembali.
"Ya itu sangat mungkin, mereka yang tiada bisa mendatangi kerabatnya lewat mimpi ketika urusannya di dunia masih ada yang belum selesai. Dan itupun hanya bisa terjadi jika Yang Kuasa mengizinkannya. Apakah kau sudah puas dengan pertanyaanmu itu nae seonja (wahai cucuku)," jawab sang kakek dengan lemah lembut.
"Sudah setua itu tapi urusannya masih saja belum selesai?! Memangnya apa saja yang dia lakukan selama masih hidup?" kata pemuda itu dalam hatinya.
"Urusanku yang belum selesai adalah dirimu nae seonja (wahai cucuku)," jawab sang kakek yang menebak kembali isi pikiran pemuda itu.
Mendengarnya, mata pemuda itu dengan cepat menatap sang kakek karena kaget.
Pemuda itu masih saja melontarkan banyak pertanyaan pada pria tua yang memanggil dirinya sebagai kakeknya dengan nada yang bisa dibilang masih terdengar cukup kasar dan arogan. Meskipun begitu sang kakek masih tetap bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan cucunya itu dengan sabar dan penuh kewibawaan seperti umumnya seorang kakek pada cucunya.
"Kakek ini terus saja bisa menjawab semua pertanyaanku, siapa sebenarnya dia. Apakah dia benar-benar kakek leluhur? Jika itu benar, maka itu berarti semua yang ia katakan tentang benda di ruangan tua itu juga benar. Lagipula, sebenarnya benda apa yang ada di ruangan itu?" Pemuda itu terus bertanya-tanya dalam hatinya.
"Hey kakek tua, sebenarnya aku tak peduli dengan semua yang kau katakan itu! Walaupun jika kau memang benar-benar kakek leluhurku, lalu kenapa memangnya? Lagipula ini hanyalah sebuah mimpi, hanya sekedar bunga tidur semata! Setelah aku membuka mataku dan terbangun dari mimpi ini, semua yang kau katakan padaku barusan itu tak kan berarti apa-apa lagi!" ujar pemuda itu dengan sombong.
Muak dan tak peduli dengan jawaban-jawaban sempurna pria tua yang mengaku sebagai leluhurnya itu, si pemuda langsung menjawabnya dengan kalimat-kalimat arogan yang menandakan ketidakpeduliannya pada pria tua itu.
"Sekarang katakan padaku bagaimana caraku agar bisa terbangun lagi?" tanya pemuda itu dengan nada yang memerintah.
"Apakah kau pikir aku tak mengerti maksud gerak tubuhmu itu? Kau mungkin bisa menipu orang-orang di sekelilingmu, tapi di sini, dihadapanku kau tak akan bisa menipuku nae seonja (Wahai cucuku). Sedari tadi aku sudah menahan diriku, meskipun aku tahu semua yang ada di pikiranmu tentang diriku lewat raut wajahmu. karena kupikir wajar-wajar saja jika kau memang tak percaya padaku, karena itulah aku tetap diam meskipun aku tau segalanya. Dan kupikir, kau akan bersikap lebih sopan setelah mendengarkan semua penjelasanku, tetapi ternyata aku salah. Jangankan bersikap lebih sopan padaku, kau bahkan tidak peduli dengan semua ucapanku dan berencana untuk mengabaikannya!" ujar sang kakek.
Sang kakek sungguh sangat kecewa terhadap perilaku pemuda yang ia sebut sebagai cucunya itu, ia tak menyangka pemuda itu sampai memiliki pemikiran yang sangat picik.
Sudah susah payah ia menjelaskan segalanya pada pemuda itu dengan harapan setidaknya pemuda itu akan lebih bersikap sopan padanya. Tetapi ternyata hasilnya hanya kekecewaan yang didapatkan sang kakek.
"Kau tadi sempat bertanya padaku, mengapa aku mendatangimu bukan?! Karena ini lah, sifatmu inilah yang memaksa membawaku kepadamu. Sifatmu yang arogan, sombong, dan munafik, manis di luar tapi pahit di dalam!" ujarnya lagi.
Sang kakek mulai meninggikan suaranya ketika mendengar semua perkataan buruk cucunya itu, dengan suaranya yang mulai serak sebagai tanda pantang menyerah sang kakek untuk menasihati cucunya, ia terus berbicara panjang lebar agar cucunya itu mau mendengarkan permintaannya.
"Dengarkan aku nae seonja (wahai cucuku), kau harus melakukan apa yang kukatakan tadi. Setelah kau terbangun nanti, jika kau masih belum percaya dengan apa yang kukatakan padamu, carilah benda yang sudah kusebutkan itu di ruangan tua rumahmu! Dan aku katakan padamu nae seonja (wahai cucuku), sudah kubilang bukan, yang sudah tiada bisa menghampiri kerabatnya yang masih hidup lewat mimpi karena urusannya belum selesai?"
"Ya ya ya, kau memang mengatakan itu padaku tadi. Lalu kenapa?!" tanya kembali pemuda itu dengan sinis.
Perasaan geram saja rasanya tak cukup untuk menggambarkan perasaan sang kakek ketika ia mendengar kembali jawaban kasar pemuda itu. Hingga ia hanya bisa pasrah dengan keadaan dan berharap jika pemuda yang ia panggil sebagai cucunya itu bisa sadar akan kesalahannya dan mau mendengarkan nasihatnya ketika ia sudah terbangun dalam mimpinya saat ini.
"Nae seonja (Wahai cucuku), kau harus menghilangkan sifat burukmu. Kemunafikan & arogansimu itu akan menjadi bumerang bagimu dimasa depan nanti. Aku tau kau bukan anak yang yang seperti ini dulu. Masa lalumu yang buruk telah membuat kau mengambil jalan yang salah," jelas sang kakek.
"Sudah cukup kakek tua, memangnya tau apa kau tentang masa laluku! Kau bahkan sudah tiada ketika tubuh seorang anak lelaki yang belum tau apa yang benar dan apa yang salah itu dihantami dengan sebilah bambu yang masih baru?!" kata pemuda itu dengan nada tinggi dan suara nya yang bergetar serta matanya yang terbelalak karena menahan air matanya.
"Kau harus berusaha melupakan masa lalumu nae seonja (wahai cucuku), maafkanlah mereka. Mereka sudah tiada, dan ...."
"Cukup, sudah cukup! Sungguh, aku sudah sangat tidak ingin mendengar ini lagi!" potong pemuda itu dengan wajahnya yang sudah terlihat merah karena emosi.
Sang kakek tetap sabar meladeni pemuda itu. Dengan nada bicaranya yang lembut tetapi masih terdengar tegas ia menasihati pemuda itu untuk terakhir kalinya.
"Dengarlah Nak, aku tahu tidak mungkin aku bisa memahami perasaanmu ketika aku sendiri tak pernah mengalaminya ataupun menyaksikannya. Tapi perlu kau ketahui, aku mendatangimu bukan untuk mengingatkanmu atas rasa sakit yang sudah kau alami, tapi sebaliknya," bujuk lagi sang kakek.
"Aku datang untukmu, hanya untuk kebaikanmu, bukan yang lainnnya."
Tanpa berputus asa sedikitpun sang kakek terus saja berusaha menjelaskannya pada pemuda itu.
"Sama sepertiku yang dapat memahami raut wajahmu dan bukan hanya kata-kata yang keluar dari mulutmu, akan ada orang yang juga dapat melakukan hal sama seperti yang kulakukan. Meskipun kau berkata manis di depan orang-orang yang kau benci dan membicarakan mereka ketika mereka tak ada di depanmu, percayalah nae seonja (wahai cucuku) sebentar lagi orang-orang seperti itu akan muncul di hadapanmu cepat ataupun lambat, jadi sebaiknya belajarlah untuk merubah sikap burukmu lewat mereka. Jangan menyia-nyiakan orang seperti mereka, berubahlah demi mereka juga. Karena perlu kau tahu, mendapatkan orang-orang yang tulus padamu tidaklah mudah. Dan kau hanya bisa melakukan itu hanya jika kau melupakan masa lalumu, dan mulai melihat ke depan. Sekali lagi kukatakan kepadamu, belajarlah melupakan masa lalumu dan bangunlah masa depan cerahmu bersama mereka orang-orang yang tulus padamu."
Kedua tangan yang mengepal, bibir yang tertutup rapat sesekali bergerak ke arah samping serta matanya yang merah berkali-kali mengedip dan terlihat berair karena menahan segala macam emosi pada dirinya sendiri.
Terkadang kedua alisnya terangkat sehingga membuat kerutan di keningnya dan matanya terbelalak seakan menahan air mata yang rasanya akan mulai mengalir jika tak ditahannya.
"Bukankah ini mimpi? mimpi yang katanya hanyalah bunga tidur semata? Tetapi mengapa, mengapa rasanya emosi ini seperti nyata? Rasanya jika tak kutahan, emosi ini akan keluar dengan deras sehingga aku tak bisa lagi mengendalikan diriku! Kapan aku terbangun dari mimpi ini?" tanya pemuda itu berteriak dalam hatinya seraya ia menahan seluruh emosi yang ada dalam dirinya.
To be continued ....