WARNING! CERITA KHUSUS DEWASA! 21+! Sinopsis: Ningsih terpaksa harus tinggal dengan mertuanya yang mesum dan cabul sepeninggal suaminya yang meninggal. Mendiang suami Ningsih mewariskan banyak hutang, dilema dirasakan janda cantik itu ketika sang mertua bersedia untuk menanggung semua hutang itu asalkan Ningsih mau memuaskan hasratnya.
Rintik hujan jatuh beriringan mendung pun masih menggelanyut manja memayungi bumi. Satu persatu peziarah kubur mulai melangkah pergi, menyisakan beberapa orang yang masih berada di dekat makam basah mendiang Kusno Hesnandar yang baru saja dikebumikan. Tampak satu orang wanita dengan wajah sembab memandang kosong pusara Kusno, bibirnya berkomat-kamit seperti membaca bacaan doa sementara satu tangannya membelai lembut batu nisan. Dia adalah Ningsih, 33 tahun, istri dari mendiang Kusno.
Kepergian Kusno yang begitu mendadak akibat terlibat kecelakaan siang tadi seperti kiamat kecil bagi kehidupan wanita cantik itu. Kini dirinya hanya seorang diri menanggung beban dunia yang ditinggalkan oleh Kusno.
"Ayo nduk kita pulang, ikhlaskan suamimu, dia sudah tenang di sana." Ucap Pak Jali, mertua Ningsih, senyumnya tipis mengembang, tampak tak ada kesedihan mendalam meskipun putera semata wayangnya telah tiada.
"Iya Pak, sebentar lagi." Balas Ningsih, disingkirkannya tangan keriput Pak Jali dari pundaknya, ada perasaan risih ketika mertuanya itu menyentuh bagian tubuhnya.
Pak Jali hanya tersenyum kecut mendapat penolakan dari menantunya itu, pria itu mulai menjaga jarak. Tak lama rintik hujan mulai bertambah deras, orang-orang berhamburan meninggalkan area makam, tapi tak begitu dengan Ningsih , dia masih duduk bersimpuh di depan pusara mendiang suaminya, menyesali kepergian suami tercintanya itu.
*******
7 HARI KEMUDIAN
Ningsih duduk termangu, di hadapannya ikut duduk 2 orang pria dengan tampang sangar. Kedua pria itu adalah orang suruhan Koh Alung, rentenir terkenal di desa tempat tinggal Ningsih.
"Jadi gimana Mbak Ningsih? Kapan kira-kira hutang Pak Kusno bisa dibayar ?" Tanya salah satu orang pria itu dengan sopan, Jayadi namanya. Nigsih menghela nafas panjang, mencoba mencerna tiap kata yang keluar dari mulut Jayadi. Pikiranya kacau, apalagi ketika dia diperlihatkan catatan hutang yang ditinggalkan oleh mendiang suaminya.
"Saya usahakan secepatnya Mas, tapi tolong beri Saya waktu untuk melunasi hutang-hutang Mas Kusno." Ucap Ningsih lirih, dia sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu, apalagi selama ini dia hanya tinggal di rumah tanpa bekerja.
"Saya sih nggak apa-apa Mbak, tapi kalau semakin lama, bunga hutangnya akan semakin besar. Itu akan semakin memberatkan Mbak Ningsih nantinya." Kata Jayadi.
"Iya Mas, Saya mengerti, tapi untuk saat ini Saya belum memiliki uang sebanyak itu. Tolong mengerti." Balas Ningsih, raut wajahnya berubah, panik dan kesal menghadapi kenyataan pahit.
"Mungkin di sini ada yang bisa dijual ?" Sahut pria satunya lagi, Darno. Jayadi melirik tajam ke arah wajah Darno, seolah memberi tanda agar diam.
"Ini semua bukan milik Saya Mas, ini milik mertua Saya. Nanti Saya akan merundingkannya dulu dengan beliau." Balas Ningsih pasrah.
"Baiklah kalau begitu Mbak Ningsih, Kami pamit dulu. Minggu depan Kami akan kembali lagi, semoga minggu depan uangnya sudah ada." Jayadi lalu menarik kasar tangan Darno, kemudian pergi meninggalkan rumah Ningsih.
"Kau ini kenapa sih? Tumben banget ramah pas nagih hutang? Heh?" Celetuk Darno.
"Ssssttt! Mbak Ningsih masih berduka, apa pantas kita menagih hutang waktu dia masih 7 hari ditinggal mati suaminya?" Balas Jayadi santai.
"Aaaalaahhh!! Alasan doang ! Aku tau, Kau ingin menidurinya kan? Hahahahaha !"
"Hust ! Jaga mulutmu !" Hardik Jayadi, keduanya lalu menaiki sepeda motor untuk kembali menuju rumah para penghutang Koh Alung, menjalankan tugas sebagai penagih hutang.
Ningsih masih terduduk lemas, dibacanya sekali lagi kertas catatan hutang yang tadi diberikan oleh Jayadi. 48 juta, angka itu yang tertera, sebuah nominal yang sekali lagi membuat dada Ningsih sesak. Bagaimana mungkin mendiang suaminya bisa meninggalkan hutang sebanyak ini? Apalagi selama 2 tahun menikah tak sekalipun mendiang suaminya itu bercerita tentang hutang piutang. Lalu buat apa uang sebanyak ini untuk mendiang suaminya itu? Pikiran Ningsih kacau, bingung mencari jalan keluar atas semua permasalahan ini.
"Kamu kenapa nduk? Kok keliatannya lagi mikirin sesuatu?" Suara Pak Jali mengagetkan Ningsih, pria tua itu lalu duduk mendekati Ningsih. Wanita sintal itu beringsut menjauh.
"Eh Bapak, nggak ada apa-apa kok Pak." Ucap Ningsih sambil menyembunyikan kertas catatan hutang mendiang suaminya.
"Itu apa nduk? Coba Bapak lihat." Tanya Pak Jali, matanya mengarah pada selembar kertas yang coba disembunyikan oleh Ningsih.
"Bukan apa-apa Pak, cuma tulisan biasa." Kata Ningih, masih mencoba menyembunyikannya dari mertuanya itu. Tapi sikap Ningsih itu membuat Pak Jali semakin penasaran, dia semakin merangsek maju lalu meraih tangan Ningsih agar menyerahkan selembar kertas yang digenggamnya. Kasar, Ningsih tak kuasa menahan keingintahuan Pak Jali.
"Apa ini nduk? Hmmm...?" Tanya Pak Jali sekali lagi sambil mulai membaca rincian catatan hutang mendiang anaknya, terkejut, reaksi itulah yang pertama kali terlihat dari wajah Pak Jali.
"Itu catatan hutang Mas Kusno Pak, tadi ada dua orang suruhan Koh Alung datang ke sini menagih dan memberikan itu." Jawab Ningsih lirih.
"Bocah gemblung!!! Bisa-bisanya Kusno meninggalkan hutang sebanyak ini ?!" Umpat Pak Jali penuh emosi, dibuangnya kertas yang tadi digenggamnya ke atas meja. Ningsih tertunduk, takut melihat kemarahan mertuanya.
"Minggu depan mereka akan ke sini lagi untuk menagih Pak, Saya bingung , Saya nggak punya uang sebanyak itu." Ucap Ningsih lirih. Pak Jali masih mendengus kesal.
"Kamu nggak punya tabungan ?" Tanya Pak Jali, kali ini tatapannya menyelidik ke arah wajah Ningsih.
"Nggak ada Pak..." Jawab Ningsih menggeleng pelan. Pak Jali menghela nafas panjang, kedua matanya kembali menatap wajah Ningsih yang duduk agak menjauh darinya. Pria tua itu kembali mencoba mendekat, Ningsih yang masih kalut sampai tak menyadari jika mertuanya itu kini sudah berjarak sekian jari dari dirinya.
"Kamu tenang saja nduk, Bapak akan cari cara untuk melunasi hutang-hutang Kusno, tapi Kamu harus bantu Bapak dulu ya..." Ucap Pak Jali dengan senyum menyeringai nan mesum, tangannya membelai lembut rambut Ningsih.
"Eh Pak, jangan begini !" Kata Ningsih kaget setelah menyadari jika Pak Jali sudah berada di dekatnya dan mulai menjamah bagian tubuhnya. Terlambat, Pak Jali semakin merangsek, tak mau menyia-nyiakan momen pria tua itu menarik pergelangan tangan Ningsih, membuat tubuh sintal wanita cantik itu jatuh ke dalam pelukannya.
"Pak!!! Cukup! Lepasin Pak!" Ningsih mencoba memberontak, tapi Pak Jali tak kalah sengit mencegah Ningsih lepas dari pelukannya.
"Baumu wangi sekali nduk...Harum..." Desis Pak Jali sambil berusaha menciumi wajah Ningsih, wanita itu berusaha memalingkan wajahnya, mencoba menghindari bibir mertuanya.
"Lepasin Pak! Tolong lepasin!" Rengek Ningsih memohon welas asih dari mertuanya yang mencoba berbuat mesum terhadap tubuhnya.
"Tenang saja nduk, Bapak tau selama ini Kusno tidak bisa memuaskanmu, sampai-sampai Kamu sering bermain sendiri dengan terong." Kata Pak Jali sambil terus berusaha menciumi wajah Ningsih.
Ningsih terdiam, dia tak mengira jika Pak Jali bisa tau kegiataanya selama ini saat Kusno berangkat kerja. Benar jika dirinya untuk urusan sex sulit untuk dipuaskan, nafsunya yang sering bergejolak tak bisa diimbangi oleh Kusno yang mengalami ejakulasi dini, itu mungkin yang membuat selama 2 tahun pernikahannya belum juga dikarunia seorang anak. Hal itu pulalah yang membuat Ningsih sering memuaskan birahinya seorang diri, masturbasi, sesuatu yang ternyata diketahui oleh mertuanya.
"Hehehehe, kenapa diam nduk? Bapak bener kan? Kamu nggak pernah puas dengan Kusno?" Sindir Pak Jali, seolah puas mempermalukan anaknya sendiri.
"Lepasin Pak! Lepasin!" Ningsih kembali memberontak, kali ini dengan lebih kasar, Pak Jali meresponnya, pria tua itu melepaskan cengkramannya pada tubuh Ningsih.
"Baik! Jika Kamu tidak mau menurut, selesein sendiri urusan hutang-hutang Kusno itu! Dan mulai besok Kamu pergi dari rumah ini!" Bentak Pak Jali, matanya menatap tajam wajah Ningsih yang kembali tersentak kaget oleh ancaman itu.
"Ta..Tapi Pak...?"
"Kamu sudah dengar apa kataku tadi kan? Mulai besok Kau boleh pergi dari sini." Ucap Pak Jali ketus, dinyalakannya sebatang rokok kretek kemudian menghisapnya perlahan. Ningsih semakin kalut, belum selesai masalah hutang mendiang suaminya, kini muncul masalah baru, Ningsih bingung harus bersikap seperti apa untuk meredakan amarah mertuanya. Diusir dari rumah yang selama ini dijadikannya sebagai naungan tentu bukan pilihan yang mudah untuk dijalani oleh Ningsih, tidak ada tempat lain selain rumah ini.
"Maafkan Saya Pak, jangan usir Saya..." Ucap Ningsih lirih, Pak Jali masih asyik dengan rokoknya, wajahnya tampak acuh mendengar permohonan dari Ningsih.
"Apa susahnya menurut? Kamu kan menantuku, harus menurut apa kataku." Ucap Pak Jali dingin, asap mengepul keluar dari dalam mulutnya.
"Lagipula, siapa lagi yang akan membantumu untuk melunasi hutang-hutang Kusno kalau bukan Aku? Hah?" Lanjut Pak Jali dengan nada sombong.
"Maafin Saya Pak..."
"Bapak akan maafin Kamu kalau Kamu bisa puasin Bapak." Ningsih terkejut, apalagi ketika Pak Jali mulai melepaskan celana, tanpa rasa malu pria tua itu mempertontonkan penis kekarnya di hadapan Ningsih.
"Jangan seperti ini Pak...Saya mohon..." Ucap Ningsih lirih, Pak Jali hanya tersenyum tipis, pria itu kembali mendekati tubuh Ningsih yang masih duduk di atas sofa lapuk.
"Sudah, nggak usah malu-malu. Ayo puasin Bapak, pegang ini, kocokin." Kata Pak Jali sambil meraih tangan Ningsih agar menyentuh batang penisnya yang sudah mengeras. Ningsih mencoba menolaknya tapi ingatan tentang ancaman Pak Jali membuat wanita cantik itu tak punya daya untuk kembali menolak permintaan Pak Jali.
"Eehhmmm...Jangan dipegang doang, kocokin juga dong...." Perintah Pak Jali, Ningsih menurut, digerakkan tangannya perlahan, maju mundur.
"Pinter....Hehehehe..." Kata Pak Jali sambil terkekeh ringan, akhirnya usaha untuk menikmati tubuh menantunya sesaat lagi akan terwujud, sesuatu yang telah diidam-idamkannya selama 2 tahun terakhir.