Dalam ketegangan yang membara antara cinta dan balas dendam, 'Tricky My Husband' mempersembahkan kisah epik Kirana, seorang wanita hamil yang terjebak dalam labirin percintaan yang rumit. Di tengah kemegahan bisnis keluarga Juna, Kirana merencanakan serangkaian serangan yang dapat merusak reputasi keluarga Dharmawangsa, sambil menyembunyikan rahasia identitasnya. "Sudah cukup!" desis Kirana, matanya menyala dalam kebencian yang terpendam. Namun, ketika perjuangan balas dendam mencapai puncaknya, Kirana mendapati hatinya terbelah di antara cinta yang tumbuh di dalam dirinya dan hasrat membara untuk membalas dendam. "Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan," bisik suara lembut di kegelapan. Dalam pertarungan antara kebencian dan keinginan, siapakah yang akan menang? Dan pada akhirnya, siapa yang akan menyerah di dalam permainan cinta yang berbahaya ini? Saksikanlah ketegangan memuncak dan rahasia terkuak dalam "Tricky My Husband"
Di sudut jalan yang sepi dengan pemandangan pohon-pohon rindang, terdapat sebuah rumah yang begitu megah menunjukkan status sosial yang berada di puncak piramida. Kemegahan yang terpancar bukan semata-mata menunjukkan bahwa penghuni rumah tersebut hidup jauh dari kata harmonis namun, rumah itu selalu dilingkupi dengan kehidupan harmonis, senyuman dan kasih sayang dari sang pemilik.
Di dalam rumah megah itu, sosok Juna Dharmawangsa menjadi pilar utama. Sosok yang penuh dedikasi terhadap kelurga menjadikannya sebagai seorang pengusaha handal. Keberadaannya menjadi pusat perhatian dan panutan bagi setiap anggota keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Wajahnya yang bijaksana dan senyumannya yang hangat selalu menginspirasi orang lain untuk menjalani hidup dengan integritas dan kejujuran.
"Mas, kamu mau minum kopi atau teh?" Pertanyaan itu berhasil mengembalikan fokus Juna yang sedang melamun memikirkan urusan perusahaan. Dirinya tersenyum ramah pada Faras yang sudah menemani selama dua tahun pernikahan.
"Buatkan kopi saja Ras," jawab Juna.
Netranya terus memandang punggung Faras yang berkutik di dapur untuk membuatkannya secangkir kopi, entah mengapa Juna merasa rumah yang mereka tinggali masih memiliki kekurangan. Kekurangan itu ada di diri mereka yang belum juga mendapatkan penerus di kelurga Dharmawangsa.
Aroma kopi yang semerbak sudah mendekat menandakan Faras sudah melangkah untuk medekatinya. Juna tak bohong, wanita yang ia nikahi karena hasil perjodohan antara keluarga Dharmawangsa dan keluarga Herwaman tidaklah buruk.
Lambat laun Juna sangat menyayangi Faras dan hubungan pernikahan mereka semakin erat.
"Mas, ada beberapa hal yang mau aku bicarakan sama kamu. Kamu ada waktu senggang untuk siang nanti?" tanya Faras kepada Juna yang tengah berkutat dengan laptop di hadapannya itu.
Juna terdiam dan kembali memastikan runtutan jadwal yang sangat padat tersebut, ia bisa membaca dari raut wajah Faras bahwa terdapat beberapa hal serius yang akan diperbincangkan.
"Ada, mau janjian di mana? Apa perlu aku buat reser vasi di restoran terdekat?" tanya Juna pada Faras yang kini menatapnya dengan lamat, wanitanya itu menggeleng pelan dan berkata, "tidak perlu, nanti kita ngobrol santai aja di ruangan kamu."
Setelah perbincangan itu, kesepian kembali menyergap Juna seorang diri di ruang makan. Memang rumah yang mereka tempati sangatlah besar ditemani dengan beberapa pekerja yang sengaja Juna ambil dari yayasan agar rumah miliknya terasa lebih ramai.
Sejujurnya, Juna tidak pernah memaksa Faras untuk segera mengandung namun, Juna tetap saja memiliki perasaan terlebih melihat interaksi teman-temannya dengan anak mereka, Juna juga ingin melakukannya.
Jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh siang, mengharuskan Juna untuk pergi meninggalkan Faras sendirian walaupun mereka akan bertemu di jam makan siang.
"Kalau butuh sesuatu bisa kabari Pak Wawan, aku berangkat dulu ke kantor karena harus melihat progress dari beberapa divisi mengenai kerja sama dengan perusahaan lainnya."
"Tenang aja Mas, di sini juga banyak orang kok. Ada Arya, Heru sama Gina yang selalu jadi teman main aku," ucap Faras menenangkan pikiran Juna yang selalu khawatir padanya, padahal Faras sudah biasa sendirian sejak Sekolah Dasar.
Juna memberi senyuman hangat pada istrinya, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, Faras. Aku akan berangkat sekarang. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi Pak Wawan atau siapapun di sini."
Faras mengangguk mantap, ekspresinya penuh keyakinan. "Aku pasti akan baik-baik saja, Mas. Sampai jumpa nanti di jam makan siang!"
...
Langkah kaki penuh percaya diri membawa Faras memasuki gedung megah yang merupakan kantor milik keluarga suaminya itu, kerap kali Faras menyapa beberapa pegawai yang memang sudah mengenalnya sejak pernikahan mereka.
"Selamat siang Bu Faras, ada yang bisa dibantu?" sapa seorang petugas di dekat lift kepadanya.
Faras hanya tersenyum dan berkata, "saya sudah buat janji dengan Pak Juna, ada hal penting yang akan saya bicarakan."
"Mau saya antar Bu?"
"Tidak perlu Pak, semangat kerjanya!"
Lift yang membawa Faras sampai lantai 16 tersebut membuatnya semakin merasa berdebar, sebuah amplop resmi dari rumah sakit semakin dirematnya dengan tak karuan, bisa dipastikan bahwa kertas tersebut sudah sedikit lecak di bagian ujungnya.
Faras mengetuk pintu ruang kerja Juna dengan lembut, menunggu di ambang pintu dengan senyum cerah di wajahnya. Juna, yang sedang sibuk menatap layar komputernya, mengangkat kepalanya dan tersenyum begitu melihat Faras.
"Faras! Akhirnya kamu dateng juga, mas sudah memesan makan siang untuk kita berdua." Sambut Juna dengan antusias begitu melihat istrinya sudah datang.
Faras menempatkan sebuah amplop di atas meja Juna sebelum duduk di depannya. "Aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu, Mas. Tentang rencana kita untuk melakukan program bayi tabung."
"Apa kata Dokter? Bukankah kondisi kita sama-sama sehat?" tanya Juna memastikan.
Faras mengangguk dan kembali menjelaskan, "memang kondisi kita sehat mas, aku hanya ingin kita cepat memiliki anak."
Juna berdiri dan menghampiri Faras yang duduk di hadapannya, tubuh kecil itu dibawanya ke dalam pelukan hangat.
"Jangan merasa terbebani Ras, aku tidak pernah memaksa kamu untuk segera memiliki anak. Kita bisa melakukannya pelan-pelan dan yakinkan semuanya pada Tuhan."
"Tapi mas, aku mau ikut program ini," ucapnya.
"Aku gak akan izinin kamu untuk ikut program bayi tabung, itu semua akan membuat kamu terbebani terlebih tidak membawa keberhasilan dalam sekali coba. Kita coba dulu perlahan ya Ras, aku mohon jangan berpikiran seperti itu lagi," pinta Juna pada istrinya agar tidak terlalu berfokus pada keinginannya untuk mengandung.
"Memangnya kamu gak ingin punya anak Mas? Aku tahu kalau kamu pasti iri sama temen-temen yang lain saat kita kumpul bersama."
Juna hanya tersenyum dan mengusap bulir air mata yang keluar dari mata indah milik Faras, "iri tapi aku lebih ingin kamu bahagia dan tidak merasa tertekan. Kita akan melewati semuanya bareng-bareng. Mungkin kita bisa konsul bersama untuk mengikuti program hamil."
Faras menatap Juna dengan tatapan penuh harapan, namun ada keraguan yang masih tersirat di matanya. "Tapi, Mas.. bagaimana jika kita gagal lagi? Bagaimana jika semua usaha kita untuk memiliki anak akan sia-sia?"
Juna menatap tajam mata Faras, merasakan beban yang sama kuatnya. "Kita tidak akan tahu sampai kita mencobanya. Kita telah melewati begitu tantangan rumah tangga bersama dan aku yakin kita akan melewati ini juga. Kita harus optimis dan tidak menyerah."
Faras tersenyum lembut, mengerti dan terharu dengan kata-kata Juna. "Terima kasih, Mas. Aku juga akan melewati semua rintangan ini bersama kamu."
Mereka berdua saling memeluk dengan erat, membiarkan kehangatan hubungan mereka menyatukan segala keragu-raguan dan keinginan yang mereka miliki. Merasakan ketegangan dan keputusasaan yang mengalir di antara bahtera rumah tangga mereka.
Buku lain oleh jesselyn76
Selebihnya