Poison, I'll Kill My Husband

Poison, I'll Kill My Husband

KrystalShin

5.0
Komentar
217
Penayangan
16
Bab

Aaron, seorang mantan pembunuh bayaran berusia 30 tahun, telah meninggalkan masa lalunya yang kelam demi hidup baru bersama Alice, wanita yang ia nikahi setahun lalu. Bagi Aaron, Alice adalah pusat dunianya, sumber kebahagiaan yang ia lindungi dengan sepenuh hati. Namun, di balik senyumnya yang manis, Alice menyimpan rahasia besar. gadis berusia 25 tahun, ia sebenarnya adalah agen rahasia yang ditugaskan untuk menyusup ke dalam kehidupan Aaron. Tujuannya adalah mengungkap kebenaran di balik kematian orang tuanya, yang diduga dibunuh oleh Aaron atas perintah Greenice Group, organisasi kriminal tempat Aaron pernah bernaung. Saat Alice semakin dalam menyelidiki, ia memanfaatkan kelemahan terbesar Aaron: cintanya yang tulus padanya. Namun, seiring berjalannya waktu, Alice mulai merasakan konflik batin yang hebat. Ia dihadapkan pada dilema antara menyelesaikan misinya atau mengikuti perasaan simpatinya terhadap Aaron, pria dingin yang selalu bersikap manis padanya. Ketika ancaman dari Greenice Group semakin mendekat, batas antara cinta dan pengkhianatan menjadi semakin kabur. Alice harus memutuskan apakah ia akan mengungkap identitas aslinya dan menghadapi konsekuensinya, atau terus hidup dalam kebohongan yang semakin menyiksa. Dalam permainan berbahaya ini, siapa yang sebenarnya menjadi korban? Dan apakah cinta sejati dapat tumbuh di atas pondasi kebohongan dan dendam? kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan pencarian jati diri di tengah intrik dunia kriminal yang gelap.

Bab 1 Fokus Pada Misi

Alice selalu percaya bahwa kejahatan terbesar yang pernah ada di dunia ini bukanlah pembunuhan, tetapi pengkhianatan. Karena dari pengkhianatan, seseorang bisa kehilangan dirinya sendiri, bahkan kehancuran yang lebih buruk dari sekadar kematian.

Dan itulah yang ia lakukan.

Tangannya tidak berlumuran darah, tetapi hatinya penuh dengan racun. Sejak awal, pernikahan ini adalah bagian dari misinya, bukan kisah cinta seperti yang dipercayai Aaron. Ia adalah alat untuk mendapatkan jawaban, dan Aaron adalah kuncinya.

Namun, semakin lama ia berada di dalamnya, semakin sulit baginya untuk tetap berpegang pada misinya. Tatapan Aaron yang selalu lembut meski wajahnya dingin, cara pria itu menyentuhnya seolah ia adalah sesuatu yang berharga, dan bagaimana Aaron selalu pulang dengan membawa bunga kesukaannya. Hal-hal kecil seperti itu perlahan-lahan mengikis tembok yang selama ini Alice bangun.

Tapi tidak. Ia tidak boleh lengah.

Dari kaca jendela apartemen mereka yang terletak di lantai dua puluh, Alice menatap hamparan kota yang bercahaya. Cahaya lampu jalanan dan lalu lintas yang sibuk menciptakan pemandangan yang indah, namun itu tak mampu menenangkan pikirannya. Di tangannya, ada segelas anggur merah yang belum ia sentuh. Dini hari selalu menjadi waktu di mana pikirannya berputar terlalu cepat, mengingatkan dirinya pada alasan mengapa ia ada di sini.

Ponselnya bergetar di atas meja. Alice meraihnya dengan cepat, matanya menyipit membaca pesan yang muncul di layar:

Angel! Setahun terakhir dia tak meninggalkan jejak.

Mungkin pria itu benar-benar berhenti dari Black Organization.

Tapi tetap fokus pada misimu, Phonix punya banyak hal tak terduga.

Begitu ia selesai membaca, pesan itu langsung terhapus otomatis, meninggalkan layar kosong seolah tak pernah ada apa pun di sana. Alice terdiam, jemarinya mengetik balasan singkat sebelum pesan itu juga lenyap dari layar:

Pesan telah diterima. Kode 4.

Ia menutup ponselnya dan meletakkannya di atas meja dengan perlahan. Namun, pikirannya tetap melayang, jauh dari ruangan ini. Ada sesuatu yang mengganggu perasaannya-bukan hanya tentang misinya, tetapi juga tentang Aaron. Sesuatu yang belum bisa ia tentukan, tetapi semakin lama semakin mengikatnya.

Langkah kaki terdengar di belakangnya. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.

"Sayang, kau belum tidur?" Suara Aaron terdengar serak karena kantuk, tetapi penuh perhatian.

Alice berbalik, mendapati pria itu berdiri di ambang pintu kamar mereka, hanya mengenakan celana tidur dan kaus putih yang sedikit kusut. Rambutnya berantakan, menambah kesan kasual yang jarang terlihat darinya. Aaron selalu tampak sempurna, rapi, dan terkendali-kecuali saat seperti ini, ketika ia baru bangun tidur dan masih setengah sadar.

"Aku tidak mengantuk," jawab Alice dengan senyum tipis.

Aaron mendekat, kedua tangannya bertumpu di pinggang Alice, menariknya ke dalam dekapan hangatnya. "Kau terlalu sering begadang. Apa yang kau pikirkan?"

Alice bisa saja mengatakan yang sebenarnya-tentang misinya, tentang kebohongan yang selama ini ia sembunyikan, tentang alasan ia berada di sini. Tapi ia tidak bisa. Tidak sekarang. Atau aaron akan membunuhnya detik ini juga.

"Hanya memikirkan pekerjaanku," dustanya dengan mudah. "Beberapa laporan belum selesai."

Aaron menatapnya sejenak sebelum menghela napas. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku tidak ingin kau sakit."

Alice hanya mengangguk. Ia hampir merasa bersalah dengan betapa tulusnya perhatian Aaron. Jika saja ia bukan bagian dari Greenice Group. Jika saja ia bukan pria yang pernah menarik pelatuk yang membunuh kedua orang tuanya.

"Lagipula, kau tak perlu bekerja jika itu membuatmu stres,"

Alice tersenyum mendengar perkataan Aaron, "Aku menikmati pekerjaanku, aku yang akan stres jika aku terus di rumah, kau tahu itu," gumamnya.

Aaron mencium bahu wanita itu dengan lembut, "Oke, lakukan apapun, asalkan kau menikmatinya, dan jangan terlalu keras pada dirimu,"

"Baiklah," ucap Alice kemudian berbalik untuk menatap wajah suaminya.

Pria itu tersenyum, dengan gerakan lembut ia mengusap rambut Alice, kemudian membelai wajahnya.

Ia mencondongkan wajahnya untuk mencium bibir gadis itu.

"Ayo tidur," ajak Aaron akhirnya, menarik dirinya setelah ciuman singkat itu.

Ia menarik tangan Alice dengan lembut. Membuat Alice mengikutinya. Ia sudah terbiasa memainkan peran sebagai istri yang baik, mencintai suaminya.

Aaron memeluknya begitu mereka naik ketempat tidur, tangannya melingkari tubuhnya, seolah tak membiarkan gadis itu jauh darinya. Alice menatap pria itu, tubuhnya masih berada dalam pelukan Aaron. Pria itu memejamkan mata, tampak tidur nyenyak, dengan lengan kokohnya yang melingkari pinggangnya. Ia terlihat begitu damai, seolah dunia ini tidak berisi kegelapan yang membayanginya. Sejenak, Alice membiarkan dirinya mengamati wajah suaminya. Rahangnya yang tegas, garis-garis lembut di bawah matanya, dan ekspresi santai yang jarang sekali ia tunjukkan saat terjaga.

'Aku tak boleh tertipu dengan wajah ini'

Alice mulai memejamkan matanya,

berusaha untuk tertidur disamping pria yang selalu ia waspadai.

...

"Aku harus pergi lebih awal hari ini. Ada urusan bisnis yang harus kuurus." Aaron berdiri, meregangkan tubuh sebelum berjalan mendekatinya dan mengecup keningnya sekilas. "Jangan lupa sarapan, ya."

Alice hanya mengangguk, menatap Aaron yang mulai berpakaian. Setelan hitam, jam tangan mahal di pergelangan tangannya, dan gaya elegan yang sudah menjadi ciri khasnya. Jika orang-orang melihat Aaron, mereka hanya akan melihat seorang pria sukses dengan pesona yang tak terbantahkan. Tak ada yang akan menyangka bahwa di balik itu, ia adalah seseorang yang penuh dengan rahasia kelam.

"Jam berapa kau akan pulang?" tanya Alice hanya ingin memastikan.

Aaron melihat jam ditangannya, "Kurasa tak sampai malam, aku juga akan pulang lebih awal mungkin jam lima sore, dengan begitu aku kita punya banyak waktu bersama," jawabnya.

"Baiklah, berhati-hatilah, jaga diri," pesan Alice terdengar tulus, meskipun ia sendiri hanya menganggap itu sekedar basa-basi saja.

Aaron mengangguk, menatap gadis itu sekali lagi, "Kau juga, langsung pulang setelah kerja ok?"

Alice tersenyum kecil, "Tentu saja"

Beberapa menit kemudian, Aaron sudah pergi, meninggalkan Alice sendirian di apartemen yang terasa terlalu sunyi.

Alice menghela napas. Waktunya bekerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya, menyalakan laptop, dan membuka file yang selama ini ia simpan dengan baik-dokumen tentang Greenice Group, organisasi hitam yang selama ini ia selidiki.

Ia mulai mengetik, menghubungkan titik-titik informasi yang selama ini ia kumpulkan. Nama-nama, transaksi, pembunuhan, semuanya ada di sini. Tetapi ada satu nama yang selalu membuatnya ragu.

Aaron.

Ia menelusuri kembali catatan tentang pria itu. Pembunuh bayaran Greenice Group, tangan kanan pemimpin organisasi, pria yang menghilang dari dunia kriminal sejak menikahinya. Namun, benarkah Aaron telah meninggalkan semuanya? Benarkah ia sekarang hanya pria biasa yang ingin menjalani hidup normal?

Alice tidak tahu.

Dan itulah yang membuatnya semakin takut.

Karena jika Aaron benar-benar bukan orang yang ia pikirkan, maka semua yang ia lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan besar.

Dan jika Aaron mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya...

Alice tidak yakin ia bisa keluar dari ini hidup-hidup.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh KrystalShin

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku