WARNING: Harap dipahami, novel ini banyak mengandung GUYONAN DEWASA, dan KOMEDI SUAMI ISTRI. Mohon disikapi dengan bijaksana. "Sop, itu calon laki lo ya?" tanya Julia, ngeri. "Itu Kai, Jul!" pekik Shofie tapi dengan intonasi yang ditekan. "Ya Salaam. Gue jadi kasian sama lo, Sop," ucap Julia menatap sedih pada sahabatnya. "Kayaknya bakal sakit, Sop! Jangan-jangan bisa nembus nyampe jantung. Pendek umur dah lo, rest in peace, Shofie. Mau ditahlil berapa hari, Sop? Mumpung masih bisa milih, paket makanannya apa aja? Sekalian tulis surat wasiatnya juga!" Shofie hampir menangis. Apa yang ia pikirkan sejak semalam, dengan gampangnya Julia suarakan. "Juleha, tolongin gue!" "Gue udah ikhlas, Sop. Gue udah maafin semua kesalahan lo sama gue!" sahut Julia sambil menyeka genangan air matanya. "Tapi kalo bisa, lo jangan jalan samping-sampingan sama dia ya, Sop. Ntar lo dikira tuyul yang lagi jalan sama genderuwo!" *** Di umur yang baru 23 tahun, Shofie pesimis bisa berumur panjang jika menikah dengan putra sulung sahabat sang Mama. Shofie dipaksa untuk menikah dengan Kai Mahaka Giandra yang berumur 33 tahun. Selain umur mereka yang terpaut jauh, postur tubuh mereka pun jauh berbeda. Shofie yang cantik dan bertubuh mungil, harus jadi istri dari Kai yang berpostur tinggi besar. "Mending aku kawin sama ikan asin, daripada harus kawin sama Hulk! Aku takut aku langsung RIP selepas malam pertama. Semua yang ada di badan dia itu besar! Lobang idungnya aja besar. Aku yakin itu upilnya juga pasti ikutan segede hu-ha," racau Shofie, bergidik ketika membayangkan bagaimana tubuh pria bernama Kai itu menjulang tinggi dihadapannya. "Sembarangan kamu! Kai itu anaknya baik loh, Shofie. Pinter, sopan, sama tajir melintir. Kamu pasti bahagia nikah sama Kai!" Mama Bella berusaha meyakinkan putrinya. "Tapi Ma, aku masih pengen hidup, Ma. Masih pengen panjang umur. Aku nggak mau jadi istri geprek, Ma! Aku takut ntar di geprek-geprek!" Bagaimana kisah Shofie dan Kai selanjutnya? Apakah mereka tetep menikah? Apakah Shofie bisa bertahan setelah melewati malam pengantin? Dan pada akhirnya, apakah Kai bisa menerima Shofie, gadis muda yang dipaksa terperangkap seumur hidup dengannya? Ikutin terus ceritanya. Rasakan sensasi naik turunnya emosi, dan tertawalah sebelum tertawa itu harus bayar!
"Shofie, kemari! Ayo kenalan dulu dengan Nak' Kai!"
Mama Bella meraih tangan putrinya yang berdiri mematung dengan wajah pucat pasi. Bola matanya bergerak-gerak liar menatap pria yang dipanggil dengan nama Kai, yang katanya akan dijodohkan dengannya.
Pria itu menatap gadis mungil berusia dua puluh tiga tahun itu dengan tatapan datar. Wajahnya pun minim ekspresi.
Mama Bella kembali menarik Shofie untuk mendekat kearah pemuda itu, lalu menarik tangan kanan putrinya agar terulur pada pria yang masih tetap duduk di sofa ruang tamu mereka.
"Ayo kenalan!" bisik Mama Bella, dengan sedikit ancaman.
Shofie menelan ludahnya dengan kasar. Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali meskipun saat itu ia tidak sedang kelilipan.
Pria yang bernama Kai Mahaka Giandra itu terlihat tinggi besar, meskipun saat itu ia tengah duduk. Kepalanya besar, bahunya lebar, punggungnya panjang, dan tungkai-tungkai kakinya pun panjang.
Shofie merasa tubuhnya sedikit didorong oleh sang mama agar mendekat kearah Kai agar bisa berkenalan.
"Shofie, yang sopan! Ayo jabatan tangan!"
Kali ini yang terdengar adalah suara Papa Adhiaksa.
Tangan Sofie bergetar saat ia berusaha untuk menjulurkannya ke depan. Entah kenapa ia merasa mendadak demam.
Pria itu lantas memandang tangan Shofie yang mungil dengan ekspresi tak terbaca. Ia melihat jika tubuh gadis itu menggigil di balik dress cantik berwarna broken white.
Demi kesopanan, Kai segera berdiri dari posisi duduknya, untuk menyambut uluran tangan gadis cantik yang katanya sebentar lagi akan jadi istrinya itu.
Mata Shofie semakin terbelalak ketika Kai sudah berdiri menjulang di hadapannya. Ia merasa seperti kurcaci yang bertemu dengan gergasi.
"Sho-Sho-Shofie," ucapnya terbata-bata, sambil menatap ngeri tangannya yang seakan tenggelam di dalam genggaman telapak tangan Kai, yang lagi-lagi terlihat besar.
"Nice to meet you, Shofie. Namaku Kai!" ucapnya dengan suara berat yang diusahakan tak terlalu menggelegar.
Saat Kai melepaskan genggaman tangannya, Shofie segera berjengit dan melangkah mundur. Ia lantas memilih untuk duduk di sofa yang cukup jauh dari pria raksasa tersebut. Gadis mungil itu benar-benar ketakutan.
******
"Apa? Lo dijodohin sama raksasa? Aduh!" pekik seorang gadis yang sedang menyantap sate ayam dengan irisan lontong.
Bumbu sate itu menyebar di sekitar mulutnya ketika ia sibuk bicara, sehingga ujung tusuk sate melukai sudut bibirnya.
Beberapa pelayan restoran dan pengunjung, seketika menoleh ke arah mereka saat gadis itu berteriak di depan wajah Shofie.
"Husstt! Jangan berisik, bege! Suara lo kecilin dikit, oneng!" bisik Shofie, dengan mata melotot pada sahabatnya.
"Oh iya. Sorry!" ucap gadis itu, tanpa raut muka penyesalan.
Wajah-wajah yang tadinya tampak terganggu dengan keributan yang diciptakan dua gadis di meja nomor sebelas, segera kembali ke urusannya masing-masing, sehingga membuat Shofie merasa sedikit lega karena tak lagi jadi pusat perhatian.
"Gue belom siap nikah. Sumpah! Gue aja masih belum bisa move on dari Danar, walaupun kita udah putus dari tiga bulan yang lalu. Tapi gue masih berharap kalo kita bisa balikan," ucap Shofie dengan lirih.
Ia mengambil teh kemasan yang tadi ia pesan, lalu menyeruputnya dengan enggan.
"Yaelah, dasar bulol! Si Danar mirip ikan asin begitu, bisa-bisanya lo bucinin! Heran gue!"
"Mending gue kawin sama ikan asin, daripada gue kawin sama Hulk! Gue takut gue langsung RIP selepas malam pertama. Semua yang ada di badan dia itu besar! Lobang idungnya aja besar. Gue yakin itu upilnya juga pasti ikutan segede hu-ha," racau Shofie, bergidik ketika membayangkan bagaimana tubuh pria bernama Kai itu menjulang tinggi dihadapannya.
Gadis bernama Julia yang ada di hadapannya itu segera tergelak-gelak, tertawa di atas penderitaan sahabat karibnya.
"Gue jadi penasaran sama calon laki lo yang namanya Kai itu. Apa segede binaragawan Ade Rai?" tanya Julia.
Shofie menggeleng kencang. "Kayaknya lebih besar dari itu," jawab Shofie sambil mengingat-ingat.
"Allahuakbar! Masa sih Sop? Bisa remuk tulang-tulang lo, cuma dalam sekali banting."
"Jangan nakut-nakutin dong Juleha! Nggak usah di takut-takutin juga gue udah takut beneran!"
Saat mereka tengah terdiam dan sibuk dengan isi kepala masing-masing, tiba-tiba ponsel Shofie yang ia letakkan diatas meja mulai bergetar kencang.
Sebuah nomor asing terpampang di layar handphonenya, membuat Shofie bertanya-tanya.
Julia menjulurkan kepala untuk melihat seseorang yang sudah menghubungi nomor sahabatnya.
"Kenapa gak diangkat, Sop?" tanya Julia, yang tak pernah menggubris protes yang dilayangkan oleh Shofie karena kesal dipanggil dengan sebutan 'sop'.
"Nggak kenal. Nggak tau juga nomor siapa," sahut Shofie.
Setelah beberapa lama, nomor asing itupun berhenti menghubungi.
"Tuh kan, cuma orang iseng," gerutu Shofie. Tapi tak lama kemudian, nomor telepon Mama Bella tiba-tiba menghubunginya.
Dengan cepat Shofie menerima panggilan itu dan memakai fitur loud speaker, agar ia tak perlu bersusah payah untuk menempelkannya ke telinga.
"Shofieee!" Suara Mama Bella terdengar nyaring, tanpa embel-embel salam terlebih dahulu.
"Iya, Ma. Kenapa?" tanya Shofie, setelah terlebih dulu mengerutkan bibirnya yang mungil.
"Mama Nahele- Mamanya Kai minta kalian buat milih cincin pertunangan, hari ini! Kai langsung nyusul kesana. Sekarang udah jam bubar kantor kan? Nanti temui Kai ya, Sayang!"
Panggilan Mama Bella segera di putus sepihak. Padahal Shofie belum sepenuhnya tersadar dengan informasi yang baru saja diberikan oleh sang mama.
Selang beberapa detik, nomor asing tadi kembali menghubungi. Jari jemari Julia tiba-tiba sudah memencet ikon terima panggilan, sebelum Shofie bereaksi apa-apa.
"Hallo. Shofie,"
Suara berat terdengar dari speaker handphone, dan berhasil membuat darah gadis itu membeku.
"Iya, Hallo!"
Lagi-lagi Julia yang menyahuti panggilan itu, membuat Shofie seketika ingin menjambak cepol rambut ala Korea gadis yang ada di depannya.
"Shofie, aku sudah ada di kantin depan kantormu," Suara nafas kasar terdengar dari speaker handphone. "Tante Bella pasti sudah menghubungimu kan?"
"Aahh....i-iya. Su-sudah!"
Entah kenapa Shofie tiba-tiba jadi gagap setiap kali ia teringat pada calon tunangannya tersebut.
"Wait, bukankah itu kau? Yang ada di meja sebelas?" tanya Kai lagi, dan berhasil membuat Shofie panas dingin. "Aku ada di arah jarum jam tiga!"
Saat sambungan itu terputus, kepala Shofie segera menoleh ke kanan, dan mendapati sosok tinggi besar tengah berjalan kearahnya.
Julia seketika menganga ketika melihat lelaki yang baru saja tadi di ceritakan oleh Shofie.
"Sop, itu calon laki lo ya?" tanya Julia, ngeri.
"Itu Kai, Jul!" pekik Shofie, tapi dengan intonasi yang ditekan.
"Ya Salaam. Gue jadi kasian sama lo, Sop," ucap Julia menatap sedih pada sahabatnya. "Kayaknya bakal sakit, Sop! Jangan-jangan bisa nembus nyampe jantung. Pendek umur dah lo, rest in peace, Shofie. Mau ditahlil berapa hari, Sop? Mumpung masih bisa milih, paket makanannya apa aja? Sekalian tulis surat wasiatnya juga!"
Shofie hampir menangis. Apa yang ia pikirkan sejak semalam, dengan gampangnya Julia suarakan.
Pria bernama Kai itu akhirnya tiba di meja mereka, dengan tubuh menjulang tinggi dan bayangannya mampu menutupi Julia dari sinar matahari.
Julia menatap Shofie dan pria raksasa itu bolak balik. Ia merasa ukuran keduanya terlalu bertolak belakang.
Kai tersenyum tipis tanpa bicara pada Julia, kemudian mengangguk pada Shofie.
Seakan mengerti, gadis itu segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian meraih tas miliknya.
Kai kemudian memutar tubuhnya dan kembali berjalan meninggalkan mereka, tanpa melihat kala itu Shofie menggenggam tangan Julia dengan erat.
"Juleha, tolongin gue!"
"Gue udah ikhlas, Sop. Gue udah maafin semua kesalahan lo sama gue!" sahut Julia sambil menyeka genangan air matanya. "Tapi kalo bisa, lo jangan jalan samping-sampingan sama dia ya, Sop. Ntar lo dikira tuyul yang lagi jalan sama genderuwo!"
Wajah Shofie semakin pucat. Dia benar-benar ketakutan.
Buku lain oleh Lalita Rhea
Selebihnya