Elora Marta Maheswari. Perempuan cantik yang ditinggalkan oleh suaminya-Aaron-untuk selama-lamanya. Perginya Aaron tak hanya meninggalkan seorang putra untuk Elora. Namun, meninggalkan juga sebuah wasiat, yaitu Elora harus menikah dengan Hesta-teman Aaron. Tentu saja Elora menolak mentah-mentah keinginan Aaron. Kendati demikian, tepat di hari ke empat puluh kematian Aaron. Elora harus menikah dengan Hesta. "Dan jangan pernah lupa satu hal. Aku menikah denganmu karena permintaan Aaron. Jadi, kau jangan pernah merasa bahwa aku milikmu. Karena, sampai kapan pun aku adalah milik Aaron. Ya, hanya Aaron. Suamiku," ucap Elora dengan tegas di hadapan Hesta. "Aku tidak akan menyerah sampai kapan pun, El. Karena, kau adalah istriku. Kau adalah milikku seutuhnya," lirih Hesta. Lantas, bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Elora dan Hesta? Akankah Hesta mampu membuat Elora luluh dan jatuh cinta padanya?
Aaron menatap lekat perempuan cantik dengan wajah tanpa make up itu. Senyum di balik bibir pucat pasi itu terbit perlahan. Tangannya yang tak lepas dari genggaman perempuan yang duduk di kursi di samping patient bed itu ia lepaskan. Lalu, ia angkat dan menyentuh wajah perempuan yang tak pernah kehilangan kasih sayang untuknya dalam segala kekurangan yang ia miliki. Aaron jelas bersyukur akan hal itu. Mendapati perempuan yang tak hanya bersedia menemaninya di saat senang dan suka cita saja.
Akan tetapi, menemani pula di saat ia berada di titik terendah dan nyaris menyerah dengan segala keadaan yang ia terima sebagai takdir yang dituliskan Tuhan untuknya.
Aaron memainkan ibu jarinya di wajah Elora. Perempuan manis yang ia persunting dua tahun lalu dan melahirkan seorang putra untuknya. Ditubrukkan pandangan dari sepasang mata sayunya dengan pandangan mata sembap Elora. Aaron tahu kenapa kelopak mata almond milik istrinya seperti itu. Memangnya apalagi penyebabnya jika bukan karena Elora yang menangisi kondisinya yang makin hari makin melemah saja. Hal itu memang cukup membuat Aaron merasa sangat bersalah. Bukannya membahagiakan Elora dan menjadi suami yang baik untuk perempuan itu, ia justru lebih banyak merepotkan. Juga untuk putra semata wayangnya, Sean. Aaron bahkan belum bisa memberikan yang terbaik untuknya.
"Sudah berapa banyak waktu yang kau habiskan untuk menangis sampai matamu sembap begitu, El?" Jari tangan Aaron menyentuh kelopak mata Elora sampai membuat perempuan itu memejam. Rasanya, ingin sekali Aaron mencium kedua mata itu. Namun, alih-alih bisa melakukannya. Untuk menggerakkan tubuhnya saja Aaron sudah kewalahan. Ia sudah tak memiliki tenaga lagi. Lalu, apa pun yang ia lakukan pasti butuh bantuan. Ya, termasuk untuk bernapas saja ia harus membutuhkan bantuan nasal kanul agar laju napasnya berjalan dengan lancar dan tidak membuat dadanya sesak. Salah sendiri memiliki tubuh yang lemah dan penyakitan hingga membuat dirinya tidak bisa menjalani hidup dengan baik dan memainkan peran sebagaimana mestinya.
Elora menyentuh punggung tangan Aaron yang menyentuh pipinya. Lalu, ia memaksa senyumnya terbit dengan baik agar Aaron tidak merasa bersalah atas tangisan yang sudah ia persembahkan sejak semalam-sejak kondisi Aaron kembali menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit. "Kau sudah tahu sendiri tentang aku, Ron. Mau seberapa singkat pun aku menangis, mataku selalu akan terlihat sembap," ucap Elora membalas pertanyaan suaminya. Lalu, ia terkekeh kecil. "Tapi, sepertinya aku memang tidak pandai membohongi orang sepertimu," sambung Elora saat melihat raut wajah suaminya yang terlalu kentara tak mempercayainya. Ya, memang tidak mudah bagi Elora membohongi Aaron. Sepertinya, laki-laki itu memang sudah sangat hafal betul tentang bagaimana Elora.
"Maaf." Kata itu kembali lolos dari bibir pucat dan kering milik Aaron. Di wajahnya yang juga sudah seputih kapas terlihat jelas raut penuh bersalah itu.
"Berhenti mengucapkan maaf padaku, Aaron. Dan kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Kau suamiku dan apa pun yang aku lakukan untukmu karena aku mencintaimu," tukas Elora. Ia kemudian menyugar rambut Aaron dengan sebelah tangannya yang terbebas menyentuh punggung tangan Aaron yang dipenuhi dengan urat-urat menonjol jelas di sana. "Daripada kau terus meminta maaf, lebih baik kau istirahat, ya. Aku akan menemanimu di sini," ucap Elora lagi seraya mengulum senyum versi terbaik yang ia miliki.
"Di mana Sean?" tanya Aaron tak mempedulikan ucapan istrinya. Sejak semalam ia tidak melihat atensi putra semata wayangnya yang baru satu pekan lalu menginjak usia di tahun pertama. Bersyukurnya Aaron bahwa pada hari peringatan ulang tahun Sean, ia tidak mengalami kendala apa pun-terutama dengan kesehatannya yang bisa naik turun kapan saja. Sebab itu, Aaron bisa merayakan ulang tahun Sean bersama Elora dengan baik.
"Sean," ulang Elora menyebutkan nama buah hatinya bersama Aaron itu. "Sean di rumah sama Mama," sambungnya. "Aku tidak bisa membawa Sean menginap di sini untuk menemanimu. Kau tahu 'kan usia Sean masih terlalu dini?"
Aaron mengangguk paham. "Boleh aku bicara sesuatu padamu, El?"
Sejenak Elora terdiam. Entah kenapa ia mendengar ucapan Aaron mendadak berubah serius. Ia kemudian menatap lekat wajah pucat itu. "Hm, tentu saja," jawab Elora akhirnya.
"Tapi, tunggu sebentar. Sebentar lagi dia akan datang."
Kening Elora mengkerut dalam. Ia tidak paham maksud ucapan suaminya. Dia? Dia siapa yang Aaron maksud?
Belum juga Elora bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri. Pintu ruang rawat Aaron terbuka dari luar. Suara derit pintu ruang yang terbuka itu berhasil menarik perhatian Elora dan membuat perempuan itu menoleh langsung ke belakang. Seseorang yang sangat Elora kenali muncul dari balik pintu. "Hesta," ucap Elora dengan suara berbisik dan hanya dirinya yang mendengar suaranya.
Hestama Pandya Danurdara. Laki-laki yang merupakan salah satu partner kerja Elora sebagai model di agensi yang sama. Selain itu, Hesta juga merupakan salah satu pebisnis muda yang menjabat langsung sebagai CEO di salah satu perusahaan besar dan kini mulai menggurita hingga mancanegara. Hesta juga merupakan laki-laki yang berteman baik dengan Aaron sejak menikah dengan Elora.
"Maaf aku sedikit lama. Di jalan macet," ucap Hesta saat ia sudah berdiri di samping patient bed yang ditempati Aaron dan bertepatan sekali posisinya juga tepat di samping Elora. Hesta menurunkan pandangan dan menatap Elora yang juga tengah menatapnya. Ia kemudian mengulum senyum tipis pada perempuan itu. Lalu, membuang pandang pada Aaron. Takut-takut jika Aaron marah dengan sikapnya. "Bagaimana kondisimu?"
Aaron tersenyum tipis. Aaron paham arti senyuman dan tatapan Hesta pada Elora. Paham sekali. Namun, ia berusaha untuk tidak memasukkan hati akan hal itu. "As you can see. Tidak ada yang berubah menjadi lebih baik," jawab Aaron dengan santai. "Dan kurasa mungkin waktuku sudah tidak lama lagi."
"Aaron."
Suara Elora dan Hesta terdengar bersamaan. Hal itu membuat Aaron tertawa kecil melihat apa yang terjadi. Sedang Elora dan Hesta hanya memilih diam melihat tingkah Aaron.
Aaron yang posisinya berbaring di atas ranjang pesakitan yang tipis itu mencoba untuk menggerakkan tubuhnya. Ia berusaha untuk merubah posisi menjadi duduk. Namun, jelas ia gagal. Tubuhnya terlalu lemah untuk dipaksa bergerak. Lantas, hal itu membuat istrinya langsung bergerak cepat. Begitu juga dengan Hesta.
"Kau mau ngapain, Aaron? Kau bisa katakan padaku dan aku akan membantumu. Jadi, kau tidak perlu memaksa diri," ucap Elora dengan nada suara lirihnya. Bagaimana tidak? Hati Elora selalu tercabik melihat kondisi Aaron yang makin hari makin tidak stabil sebab kanker yang terus menggerogoti paru-paru laki-laki itu. Padahal, sudah berbagai usaha pengobatan dilakukan. Namun, belum juga ada yang membuahkan hasil.
Aaron meraih tangan istrinya. Lalu, digenggam dengan erat. Ditatapnya sepasang bola mata bulat milik Elora. Dan Aaron tersenyum. "El," panggilnya setengah berbisik dan Elora hanya menjawab dengan gumaman singkat. "Apa aku boleh mengatakan sesuatu padamu?"
Elora hanya mengangguk.
Aaron mencoba mengirup napas dalam-dalam meskipun susah. Lalu, mengembuskannya pelan. "Aku mencintaimu, El. Tapi, sepertinya aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi untuk membesarkan Sean."
"Apa maksudmu, Aaron?" Elora marah mendengar ucapan Aaron. Ia mencoba untuk menepis tangan Aaron. Namun, gagal. Tangan Aaron terlalu erat menggenggam tangannya.
"Waktuku sudah tidak banyak lagi, El. Penyakit ini sudah melumpuhkan kekuatanku. Aku lelah," ucap Aaron dengan jujur. Aaron lelah dengan rasa sakit yang tiada henti menyerangnya setiap detik.
"Tidak, Aaron! Kau akan sembuh."
Aaron menarik tangan Elora sampai perempuan itu berhenti memberontak. "Meskipun aku pergi. Aku tidak akan membiarkanmu membesarkan Sean sendiri." Aaron menatap Hesta yang sejak tadi hanya memilih diam. "Hes," panggilnya sampai Hesta mengangkat pandangan. "Kemarilah!"
Hesta manut. Ia mengikis jarak.
"Aku titip Elora dan Sean, ya. Hanya kau yang bisa aku percaya untuk menggantikanku menjaga mereka berdua."
Hesta terdiam. Ia masih tidak bisa mencerna dengan baik apa yang dikatakan Aaron. Sedang Elora sudah menatap nyalang suaminya. Kendati Aaron sendiri tidak begitu mempedulikan Elora saat ini.
"Aku ingin kau menikahi Elora dan menjadi ayah untuk Sean."
"Kau gila, Aaron!" pekik Elora.
"El, please," pinta Aaron. Lalu, ia memejamkan mata dengan erat. Sedang tangannya yang menggenggam erat tangan Elora langsung terlepas. Dan tangan itu langsung mencengkram dadanya. Rasa sakit itu berkali-kali lipat dari sebelumnya datang menghampiri. Aaron meringis dan sukses membuat Elora serta Hesta panik.
"Aaron, kau kenapa?" Elora mendadak panik.
Aaron membuka mata. Ia menatap istrinya. "El, apa yang aku katakan tadi adalah permintaan terakhirku. Dengan begitu, aku bisa tenang meninggalkanmu dan Sean. Jadi, kumohon jangan menolak permintaanku, El."
Elora masih mencoba menolak. Namun, Aaron terus memaksa. Sampai suara Hesta terdengar dan langsung membuat pasangan suami istri itu terdiam.
"Aku akan melakukannya untukmu, Aaron."
Hening sejenak.
"Tidak! Kau juga jangan gila, Hes!" bentak Elora. "Kau jangan memanfaatkan kondisi suamiku agar kau bisa memenuhi keinginan hatimu untuk memiliku!"
Ya, Elora tahu bahwa Hesta mencintainya. Sebelum Elora menikah dengan Aaron. Hesta sudah bersusah payah mendekati Elora, tetapi Elora hanya menganggap Hesta sebagai partner kerja dan teman biasa.
"Jangan bicara seperti itu, El!" Aaron meninggikan suaranya. Ia tatap serius wajah istrinya yang merah padam. Aaron tahu Elora marah. "Ini adalah permintaan terakhirku dan akan menjadi wasiatku," putus Aaron.
"Terserah kau saja," ucap Elora dan berlalu pergi membawa luka hatinya. Air mata juga sudah tak ayal terjun bebas dari sepasang mata bulatnya.
"El! Elora!" panggil Aaron. Namun, tak diindahkan oleh Elora. Dan Aaron pasrah. Ia tidak punya daya untuk mengejar Elora. Lantas, ia beralih pada Hesta yang terdiam. "Hes, maafkan ucapan Elora."
Hesta hanya tersenyum tipis. Bohong jika ia tidak sakit hati mendengar perkataan Elora tadi. Ya, Hesta memang masih mencintai Elora. Sangat. Namun, untuk berniat merebut perempuan itu dari tangan Aaron tidak pernah terlintas di dalam benaknya. Melihat elora bahagia di dalam pelukan Aaron cukuplah bagi Hesta. Lalu, yang membuat Hesta mengiyakan adalah karena murni itu permintaan Aaron, teman baiknya.
"Tolong jaga Elora dan Sean, Hes. Aku hanya bisa mengharapkanmu."
"Aku akan menjaga mereka, Aar. Tapi, ayo berusaha lebih lagi."
Aaron menggelengkan kepala. "Aku sudah tidak kuat lagi, Hes. Aku terlalu lelah. Kasihan juga Elora yang setiap hari merasa khawatir dan bersedih dengan kondisiku."
Helaan napas panjang Hesta terdengar. "Aar, kau harus berjuang. Ada Sean yang juga menunggu kesembuhan ayahnya."
Belum juga Aaron menjawab. Rasa sakit di dadanya kembali terasa. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Aaron mengerang. Namun, hanya sebentar. Sampai erangan itu mendadak hilang dan ruangan menjadi hening.
"Aar! Aaron!" Hesta mengguncang tubuh Aaron. Namun, tidak ada respons dari laki-laki itu. "Aaron, jangan bercanda!"
Buku lain oleh haiyulia
Selebihnya