Aruna terpaksa menikah dengan Wisnu demi melunasi hutang keluarganya. Pernikahan yang dijalani keduanya hanyalah pernikahan kontrak yang akan berakhir setelah Wisnu mendapatkan keturunan dari wanita itu. Kehidupan pernikahan Aruna juga Wisnu begitu berliku seiring dengan kehamilan juga perlakuan Wisnu pada Aruna. Lalu bagaimana jadinya jika pada suatu hari, Diandra yang merupakan Istri sah Wisnu datang ke mansion yang dihuni Aruna dan menuntut cerai dari Wisnu. Apa yang akan dilakukan Wisnu selanjutnya? Apakah ia akan menuruti permintaan Diandra untuk bercerai dan menjalani pernikahan seutuhnya dengan Aruna. Ataukah pria itu lebih memilih untuk mempertahankan Diandra dan meninggalkan Aruna juga perasaannya pada wanita itu?
Beberapa perabot rumah tangga nampak tergeletak sembarangan di depan pelataran sebuah rumah.
Sepasang suami istri tengah berlutut sambil memohon dan menangis pada seorang pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang rentenir yang akan menyita rumah mereka sebagai pembayaran hutang beserta bunga.
"Ku mohon, Tuan. Jangan ambil rumah kami, hanya ini harta kami satu-satunya," ucap sang istri dengan dua tangannya yang terkatup di depan dada memohon.
Sang rentenir hanya mendecih, ia menghisap sebatang rokok yang sejak tadi ada di mulutnya sebelum kemudian menghembuskan asapnya dengan perlahan.
"Jika kau tidak ingin aku menyita rumahmu, maka lunasi dulu hutangmu. Dasar sialan," maki sang rentenir dengan nada sinis.
Sang kepala keluarga maju, ia memegang kaki sang rentenir dan kembali memohon dengan masih berlinang air mata.
"Kami akan melunasinya secepatnya, kami janji. Tapi tolong berikan kami waktu," ujarnya memohon.
Kekehan kecil terdengar dari sela bibir si pria paruh baya. Wajahnya yang mulai berkerut nampak memicingkan mata saat netra nya tidak sengaja bersitatap dengan dua anak gadis sang kepala keluarga yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Aku bisa saja memberikan kalian waktu," ucapnya terjeda.
Sekali lagi ia menarik dalam-dalam sebatang rokok sebelum kemudian menghembuskan asap dan merunduk. Mengatakan sesuatu kepada sang kepala keluarga dengan seringai yang masih nampak jelas di wajah tuanya.
Setelah mendengar apa yang dibisikkan oleh sang rentenir, sang kepala keluarga membelalakkan matanya lebar. Ia menoleh ke arah dua putrinya yang tengah ketakutan dengan wajah yang sulit untuk dijelaskan.
"Kau bisa mempertimbangkannya sekarang. Semua pilihan ada ditanganmu," ucap sang rentenir.
Sang kepala keluarga menunduk, ia mengabaikan sang istri yang sejak tadi memanggilnya untuk bertanya apa yang sudah dikatakan oleh sang rentenir.
"Apa tidak ada cara lain, Tuan? Saya berjanji akan melunasinya dengan segera. Anda bisa meminta jaminan apa saja selain putri kami," ucap sang kepala keluarga lagi-lagi memohon.
Raut terkejut jelas terlihat di wajah semua anggota keluarga. Terlebih dua puteri mereka yang masih saja nampak ketakutan.
"Semua pilihan dan keputusan ada di tanganmu. Aku akan memberimu waktu 3 hari, kau bisa melunasi hutangmu atau menjadikan salah satu Puteri mu sebagai jaminan," kata sang rentenir final.
Pria paruh baya itu kemudian meninggalkan rumah tersebut bersama beberapa anak buahnya setelah sebelumnya memberikan senyum nakal yang sebenarnya nampak begitu menjijikan.
***
Suasana ruang tamu saat itu begitu hening. Empat orang yang ada di sana hanya saling terdiam dengan pemikiran mereka masing-masing.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya sang istri dengan wajah bingung juga khawatir.
Tidak ada jawaban yang terdengar, sampai kemudian sebuah kursi tertarik diiringi dengan teriakan yang cukup keras dari salah satu puteri mereka.
"Aku tidak mau menjadi jaminan. Aku tidak mau menjadi jaminan untuk kakek tua itu!" seru seorang gadis dengan tubuh ramping.
Sementara seorang gadis lainnya hanya diam, ia yang semula melihat ke arah saudara perempuannya kemudian menunduk dan berujar.
"Aku juga tidak mau!" ucapnya pelan namun penuh penekanan.
Sang kepala keluarga terdengar menghela napas. Ia mengusap wajahnya sendiri juga memijat keningnya yang terasa berdenyut bukan main.
"Kami juga tidak mau menjadikan kalian sebagai jaminan. Tapi apa yang bisa kami lakukan untuk melunasi hutang pada Tuan Hendra?!" ujar sang kepala keluarga dengan nada frustasi.
"Tapi kita tidak bisa menjadikan Kinan ataupun Marsha sebagai jaminan. Tuan Hendra pasti akan menjadikan mereka sebagai istri muda!"
"Aku juga tahu, tapi apa kita punya solusi lain? Kau punya uang untuk melunasi hutang pada Tuan Hendra?"
Belum sempat ada yang menjawab pertanyaan sang kepala keluarga, lebih dulu terdengar suara pintu terbuka.
Semua perhatian teralih pada seorang gadis yang baru saja datang dengan tas ransel yang tersampir di pundaknya.
Gadis dengan rambut hitam gelap itu terdiam mematung saat seluruh anggota keluarganya melihat ke arahnya dengan wajah yang cukup sulit ditebak.
"Bagaimana jika kita jadikan Aruna sebagai jaminan Tuan Hendra?" celetuk tiba-tiba dari sang Ibu membuat Aruna mengernyitkan alisnya bingung.
Apa yang sebenarnya dimaksud? Jaminan? Untuk apa?
"Ibu benar. Kita bisa menjadikan Aruna sebagai jaminan untuk Tuan Hendra, dan dengan begitu kita juga punya waktu untuk membayar hutang. Atau bahkan hutang kita juga bisa dianggap lunas," sahut Kinan dengan wajah antusias.
"Kalian benar. Aruna, maafkan kami," ucap sang kepala keluarga kemudian.
Aruna yang masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya tengah dibicarakan oleh keluarganya kemudian menyahut.
"Jaminan apa? Kenapa aku?" tanya nya dengan suara lirih.
"Kau akan menjadi jaminan untuk Tuan Hendra. Dengan begitu kita memiliki waktu untuk membayar hutang atau malah bisa jadi hutang keluarga kita akan dianggap lunas," terang sang kepala keluarga.
Aruna yang mendengar hal tersebut hanya bisa terdiam. Otaknya masih tidak bisa mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh sang Ayah.
"Kalian, menjual ku?" tanyanya dengan suara lirih.
"Tidak. Kau hanya akan menjadi jaminan supaya kami memiliki waktu untuk melunasi hutang, hanya itu," sahut sang saudara perempuan dengan entengnya.
"Bukankah selama ini aku sudah memberikan uang untuk mencicil hutang? Apa itu masih belum bisa untuk membayar hutang-hutang kita?" tanya Aruna dengan suara parau.
Jujur saja ia sakit hati. Selama ini ia sudah bekerja keras dengan bekerja paruh waktu bahkan hingga larut malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga hutang mereka.
Bahkan tidak jarang ia juga harus pulang pagi buta guna mendapatkan uang tambahan meski ia tidak pernah merasakan hasil kerja kerasnya sendiri.
Iya. Aruna tidak pernah merasakan pundi-pundi uang yang sudah ia hasilkan dari bekerja siang dan malam.
Semua uang yang selama ini ia hasilkan selalu diambil secara keseluruhan oleh sang Ibu dengan berdalih untuk mencicil hutang keluarga mereka pada Tuan Hendra.
"Apa kau pikir hasil pekerjaanmu yang tidak seberapa itu bisa melunasi semua hutang? Tidak! Kau harusnya berterima kasih karena aku sudah mau mengatur uangmu yang tidak seberapa itu," ucap sang ibu dengan nada meremehkan.
Aruna memejamkan matanya sejenak, rasanya sakit, sangat sakit.
"Itu akan cukup jika saja Ibu benar-benar membayar hutang dan tidak menggunakan semua uang itu untuk memanjakan Kak Kinan!" ujar Aruna dengan tangan yang terkepal di samping tubuh.
Memang, selama ini hasil kerja keras yang dikatakan sang Ibu untuk membayar hutang justru wanita itu gunakan untuk memanjakan sang anak tengah. Kinan Wulandari.
Hampir setiap Aruna memberikan –terpaksa- uang hasil kerja kerasnya, maka malam harinya sang ibu juga sang kakak perempuannya akan berbelanja banyak makanan siap santap tanpa merasa bersalah.
Nyonya Rini meradang. Dengan cepat wanita itu berjalan ke arah sang puteri bungsu dan menatapnya nyalang sebelum kemudian wanita itu melayangkan sebuah tamparan keras di pipi kanan Aruna hingga membuat sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah.