Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pengantin SMA

Pengantin SMA

Intan Scr

5.0
Komentar
3.7K
Penayangan
38
Bab

Anak SMA seperti Laura dan Kavin memang suka penasaran, selalu bilang ingin cepat dewasa, dan gemar mencoba banyak hal. Namun, pernikahan jelas bukan salah satunya. Dua manusia itu menentang habis-habisan keputusan keluarga mereka untuk menikah setelah terciduk tidur di satu kamar. Terlebih mereka memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang. Tetapi, karena tak memiliki pilihan lain, mereka terpaksa menurut dan menjalani kehidupan pernikahan di usia yang masih belia. Tidak semanis dan seindah kisah cinta dalam novel, kehidupan pernikahan rupanya lebih sulit dan menyiksa daripada menghadapi soal-soal Kimia, Fisika, dan Matematika yang digabung menjadi satu. Belum lagi fluktuasi emosi khas darah muda makin menambah kadar stres dua sejoli itu melebihi mood swing saat PMS. Satu solusi utama dari semua masalah yang terjadi adalah bercerai. Sayang, Kavin dan Laura belum punya kuasa untuk itu. Selama beberapa waktu, mereka harus berdamai dan menjalani kehidupan pernikahan tidak diinginkan sambil menantikan hari ketika mereka akhirnya bisa berpisah. Mampukah pasangan bak kucing dan anjing itu bertahan sampai akhir dalam keadaan tetap waras?

Bab 1 Tertangkap Basah

Udara dingin yang menelusup melalui jendela kamar yang terbuka membuat Laura terjaga dari tidur lelapnya. Gadis itu mengerjapkan matanya di kamar remang-remang yang dia tempati. Hal pertama yang dia rasakan ketika membuka mata adalah asing, dia tak merasa familier dengan kamar yang terkesan gelap tersebut. Karena biasanya, dia tidur dengan lampu yang menyala.

Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Laura ingat bahwa semalam dia datang ke pesta anniversary pernikahan sahabat kedua orang tuanya. Laura awalnya berniat untuk pulang karena rasa kantuk yang tak tertahankan, namun dia tak menemukan keberadaan Mama dan Papanya yang tenggelam di kerumunan para tamu yang datang.

Akhirnya, Laura asal memasuki kamar yang terletak di lantai dua. Dan kini, Laura mengerti mengapa kamar yang di tempati kini terasa begitu asing karena memang itu bukan kamarnya. Mengambil ponselnya di samping bantal, Laura melihat ada banyak panggilan masuk dari Mama dan Papanya. Juga pesan yang menanyakan di mana keberadaannya.

"Wah ... Mama sama Papa pasti khawatir banget. Mana udah jam empat gini," gumam gadis itu mulai mengetikkan balasan untuk orang tuanya.

Di tengah kesibukannya itu, tiba-tiba Laura menerima pelukan tiba-tiba dari sampingnya.

"Aaa...."

Terkejut, gadis itu menjerit keras yang membuat seseorang di sebelahnya yang entah datang dari mana berujar kesal.

"Berisik banget!"

"Lepasin! Lo siapa, sih, meluk-meluk gue?" Laura berteriak histeris seraya mendorong kepala seseorang yang tepat berada di sebelahnya. Gadis itu benar-benar terkejut dan takut. Bagaimana bisa ada orang asing yang tidur di sebelahnya? Yang bahkan, kini memeluknya dengan erat.

Lelaki di sebelah Laura akhirnya terjaga juga. Mereka sama-sama bangun dan duduk. Setelah lelaki misterius itu menyalakan lampu, keduanya melotot ketika melihat satu sama lain.

"Laura?"

"Kavin?"

Keduanya berujar bersamaan. Tampak jelas wajah mereka dipenuhi kebingungan. Terutama Laura, dia menyilangkan tangannya di depan dada ketika melihat Kavin satu ranjang dengannya.

"Lo ngapain gue, Kavin?" tanya Laura was-was. Dia kenal Kavin, dia adalah anak sahabat kedua orang tuanya sekaligus tuan rumah di sini. Namun, mereka tak seakrab itu untuk tidur bersama. Laura tak salah jika berpikiran bahwa Kavin yang melakukan hal macam-macam terhadapnya.

"Lo ngapain di sini, Laura?"

Bukannya menjawab pertanyaan Laura, Kavin malah balik bertanya. Dia pun tak tahu kenapa bisa Laura berada di sana. Dia melotot ke arah Laura yang juga menatap dirinya penuh rasa tak suka.

"Ya tidur," balas Laura apa adanya.

"Ya kenapa di sini? Gila lo ya?" omel Kavin.

"Selamam kamar ini kosong, Kavin. Desainnya juga bukan kamar cowok, gue nggak mikir kalau ini kamar lo," terang Laura tak ingin Kavin salah menilainya.

"Lancang banget jadi orang. Kal-"

"Ini kayaknya kita salah paham, deh. Tapi, bisa nggak lo pakai baju dulu? Gue risih lihatnya."

Ucapan Kavin terpotong oleh Laura, dan karenanya dia menunduk dan melihat tubuhnya yang shirtless.

"Tunggu! Kenapa lo nggak pakai baju? Jangan-jang-"

"Nggak usah ngarang! Gue emang gini kalau tidur nggak pakai baju!" sela Kavin lantas bangkit untuk mencari kausnya yang semalam dia lepas karena gerah.

Sementara Kavin mengambil kausnya, Laura pun mengikat rambutnya yang berantakan. Bersamaan dengan itu, kamar yang mereka tempati terbuka dari luar. Keduanya menoleh dan mendapati seorang wanita berumur tengah menatap mereka dengan wajah terkejut yang menyertai.

"Laura? Kavin? Apa yang kalian lakukan?"

•••

Samira, pelaku utama yang membuka kamar Laura dan Kavin, dan merupakan Nenek dari Kavin yang keberadaannya sangat dihormati di dalam keluarga itu. Setelah memergoki cucu satu-satunya yang kini dia miliki tengah berduaan dengan seorang gadis di dalam kamar, Samira menyeret keduanya untuk menghadap kedua orang tua mereka.

Dan di sini lah kedua remaja itu berada. Di ruang tamu, dihadapkan dengan wajah tak ramah dari lima orang dewasa yang telah memarahi mereka. Laura, gadis itu menunduk ketakutan tanpa berani menatap Mama dan Papanya, Renata dan Hans.

"Kamu nggak tahu aja gimana khawatirnya Mama kamu waktu kamu hilang semalaman, Laura. Kamu udah ngecewain Papa." Hans menatap putrinya dengan wajah yang membuat Laura merasa bersalah.

Walaupun begitu, Laura tak bisa tinggal diam dan terima begitu saja disalahkan. Dia harus melawan. "Pa, ini sem-"

"Kamu juga, Vin. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai berbuat kayak gitu sama Laura? Di kamar Karin. Mikir enggak?" Kali ini Rusdi yang bersuara, selaku Papa dari Kavin. Di sampingnya, Vei, istrinya mencoba untuk menenangkan pria itu.

"Pa! Berapa kali harus kita jelasin? Ini salah paham! Aku nggak tahu kalau ada Laura di kamar itu," desah Kavin hampir menyerah karena orang tua mereka tak kunjung percaya dengan apa yang mereka katakan.

"Setelah kejadian setahun yang lalu, kamu pikir Oma percaya sama yang kamu katakan?" Samira berujar penuh dengan nada kekecewaan.

Mendengar itu, Kavin merasa tersinggung. Amarah mulai menghampirinya, dan dia dengan keras mencoba untuk menahannya.

"Ini sama sekali nggak ada hubungannya sama Karin, Oma! Oma nggak usah bahas masalah yang udah lalu!"

"Udah-udah! Semua alasan yang kalian lakukan sama sekali nggak masuk akal. Kalian harus bertanggung jawab atas apa yang telah kalian perbuat," kata Rusdi.

"Maksud Om gimana?" Laura meminta penjelasan. Tangannya tak melepas genggamannya pada baju yang Mamanya pakai. Dia sangat takut saat ini dan berharap Mamanya akan membantu.

"Kalian harus menikah."

Suasana hening setelah itu, Kavin dan Laura sama-sama menoleh ke arah Samira yang baru saja membuka suara. Keduanya terlihat semakin terkejut, lebih tepatnya syok. Apalagi sekarang? Menikah? Di usia mereka ini? Benar-benar gila.

"Nggak mau!" tolak keduanya bersamaan.

"Kavin ... bener apa yang Oma kamu katakan. Kamu harus menikahi putri Om buat bertanggung jawab," sambung Hans mengundang tatapan tak terima dari Laura.

"Papa! Papa nggak bisa kayak gitu, dong!" rengek Laura menggoyangkan lengan Papanya. Namun, pria itu tak memedulikan Laura yang sudah hampir menangis.

"Ini nggak bener, Ma, Pa, Om, Tante, Oma! Kita nggak melakukan apapun!" Kavin memohon kepada Samira.

"Karin dulu juga bilang kayak gitu, Kavin! Nggak ada maling yang ngaku!" sentak Samira sekali lagi membuat Kavin marah.

"Oma nggak berhak ngomong kayak gitu!" tekan Kavin kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan itu.

Suasana tegang itu bertahan beberapa saat hingga Laura akhirnya juga angkat kaki dari sana. Gadis itu melangkah ke arah Kavin pergi tadi. Gadis itu berpikir tak mungkin untuk mereka melawan kehendak orang tua.

Dia, bersama-sama dengan Kavin harus memiliki rencana untuk menghadapi bencana ini. Mau tak mau, suka tidak suka, dia dan Kavin harus bekerja sama agar mimpi buruk ini tak akan menjadi nyata.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku