Meski merupakan seorang CEO yang namanya tersohor hingga ke seluruh penjuru kota, tetapi kisah cinta Anam sama sekali tidak semulus bayangannya. Lain dengan hampir seluruh orang tua yang ingin mengambil Anam sebagai menantu, lamaran Anam justru ditolak lantaran dirinya tidak memiliki trah kiai seperti yang dikehendaki Kiai Amin-calon mertuanya. Meski sudah mengemis, lamaran itu berkali-kali tetap ditolak. Cinta yang menggebu, pikiran yang frustasi dibarengi dengan hasrat yang meletup-letup di suatu malam membuat Anam menodai Naya. Kekasihnya yang merupakan putri tunggal Pesantren Nurul Kawakib. Lantas bagaimana tanggapan Kiai Amin setelah mengetahui kehamilan putrrinya? Akankah restu itu diberikan demi menutup aib atau pertanggungjawaban dari Anam akan tetap ditolaknya mentah-mentah?
"Aku mencintaimu, Nay."
"Lamar aku, Mas."
"Harus berapa kali lagi aku tegaskan, jangan dekati putriku lagi!"
"Aku mencintaimu, Mas."
"Bagaimanapun caranya, aku akan meminta paksa restu itu dari Abahmu, Nay."
Suara-suara itu terus menggema. Tidak henti-hentinya berdenging-denging di telinga gadis yang kini bersimpuh di sudut ruangan dengan hati yang pilu. Menatap pekat malam yang semakin kelam. Menyorot gumpalan-gumpalan hitam yang sempurna dengan nyaring gelegar yang bersahut-sahutan. Semenjak sore, rintik langit itu seolah seirama dengan tangisnya yang terus berjatuhan. Hingga membanjir, tetapi masih enggan juga untuk mereda.
Ponsel dalam genggam eratnya semenjak tadi masih menyala. Memang sengaja diatur agar layar mati otomatis setelah tiga puluh menit. Nada dering juga disetel volume penuh. Berharap lekas ada notifikasi yang memang sedang ditunggu-tunggu. Namun, sudah hampir tiga jam berlalu hanya promo-promo dari berbagai aplikasi yang masuk.
Anam, denyar di kepala Naya semakin menjadi-jadi setiap detik di mana bayangan lelaki itu melintas. Entah apa yang tengah dilakukannya sekarang. Berkutat dengan data-data bisnisnya yang santer di seluruh penjuru kota, atau melayani kegandrungan ribuan gadis gila harta di luar sana.
Kehilangan Anam menjadi bayangan kelam yang tiba-tiba menghantuinya semenjak beberapa jam lalu. Bahkan selama lima tahun menautkan tali asmara, tak sedetik pun Naya resah andai takdir tidak menulis nama mereka menjadi bagian dari kisah hidup masing-masing. Mengingat Abi dan Uminya tak pernah memberi restu keinginan lelaki itu untuk mempersunting Naya.
Cibiran publik yang mencuat-cuat pun tak sedikit pun menggoyahkan keputusan sepasang suami istri sepuh itu. Hingga berita itu memanas dan menjadi trending topik di mana-mana. Seorang pengusaha muda ditolak oleh kiai pesantren. Begitu bunyi berita yang setengah tahun terakhir terus berdengung-dengung.
Semanjak hari di mana Anam pulang dari Pesantren Nurul Kawakib dengan hati remuk, satu ikrar mengakar kuat di hatinya. Bahwa dalam perjuangan restu ini, Anam tak akan mundur. Dirinya harus mendapatkan gadis yang dicintainya itu bagaimanapun caranya. Sedang Naya sendiri sempat pasrah. Didikan pesantren membentuk mind set pikirannya bahwa takdir tentulah yang terbaik.
Namun, kini dengan cepat semuanya berubah. Kejadian sore tadi mengombang-ambingkan jiwanya. Kepalanya seperti akan meledak sebentar lagi. Bingung harus melakukan apa setelah pesan yang dialamatkan pada Anam masih saja centang abu-abu. Sebenarnya masih ada opsi telepon yang sedari tadi Naya urungkan. Khawatir justru akan menganggu, pikirnya. Lagipula cuaca sedang tidak memungkinkan untuk melakukan panggilan. Namun, sepertinya tidak ada jalan lain lagi. Naya harus memencet tombol itu sekarang.
"Halo ... Assalamu'alaikum, Sayang," jawab seseorang di seberang setelah panggilan yang entah ke berapa.
"Kamu di mana, Mas?" hardik Naya tanpa basa-basi lagi. Kesabarannya telah terkikis habis. Sesibuk apa pun, tak biasanya Anam selambat itu merespon atau memberi kabar.
"Masih di kantor, Sayang. Kejebak hujan. Kamu kenapa marah-marah begi-"
"Pulang! Pulang sekarang, Mas! Cepat ke kontrakanku! Aku tunggu. Malam ini juga aku mau bicara."
Teriakan itu terdengar sangat mengejutkan di telinga Anam. Pikirannya langsung menerka-nerka berbagai kemunkinan yang membuat gadis selembut Naya sampai semurka ini.
"Ta-tapi ini hujan deras, Nay."
"Aku tidak peduli, Mas. Pokonya ke sini sekarang!"
Dari sofa ruang tamu, gadis dengan piyama yang sudah acak-acakan lantas bangkit dari perjalanan alam mimpi. Dua tahun lebih bersama di bawah satu atap kontrakan cukup membuat mereka dekat dan tertaut. Tanpa menunggu lagi, gegas Rofi merengkuh tubuh rekan mahasiswa keguruan yang telah berguncang hebat itu. Dapat dirasa tetes-tetes tangis deras membanjir. Sedang gadis yang Rofi tak tahu kenapa itu hanya terus mengisak dan bersandar lemas.
"Tenanglah, Nay. Kamu kenapa?" bisik Rofi lirih sembari mengelus-elus punggung hangat Naya.
"Aku ... Aku ...."
Hanya jawaban tersendat-sendat itu yang Rofi dengar semenjak sore. Masih dapat diingatnya benar, ia yang sudah kelelahan dan kehabisan cara menenangkan Naya lantas tertidur di sofa.
"Kumohon jangan begini, Nay. Katakanlah aku harus bagaimana?" Rofi mulai jengah dan frustasi. Cukup lama sampai layar ponsel Naya mengalihkan perhatiannya. Tertulis nama hubbi di bagian atas layar. Sedetik kemudian, Rofi sudah berpikir yang bukan-bukan.
Tok ... Tok ....
Ketukan itu sontak membuat Naya berdiri. Meraih gagang pintu lantas melempar tatap nyalang pada lelaki yang tampil begitu pintu terbuka. Tubuhnya basah kuyup. Dapat diperhatikan air mengucur deras dari lengan dan bagian bawah jas yang ia kenakan.
Plak ....
Tanpa penjelasan, satu tamparan keras tiba-tiba melayang ke pipi Anam. Lelaki itu hanya meringis. Memegangi bekas perih di sana sambil menatap gadis yang deru napasnya sudah memburu. Sedangkan Rofi terperangah. Meredam debar jantungnya sembari menutup mulut yang sempat menganga lebar. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Kamu kenapa, Nay? Apa salahku?"
Beruntunglah gemuruh petir masih meraung-raung. Kalau tidak mungkin saja tetangga satu kompleks akan keluar akibat teriakan itu. Terutama ibu-ibu penggosip yang suka mau tahu urusan orang. Terlebih berkaitan urusan Anam dengan Naya. Bisa-bisa berita tentang pengusaha muda kota dan putri kiai itu akan kembali mengudara.
"Bahkan kamu masih bertanya apa salahmu, Mas?"
"Sungguh aku tidak tahu, Nay. Katakan dengan jelas!"
Cengkeram tangan Naya kemudian menyasar pada pergelangan tangan Anam. Namun, lelaki itu bergeming. Tak mengindahkan tarikan yang seolah menuntunnya paksa untuk berjalan.
"Mau kau apakan aku, Nay?"
"Apa kau ingin semua orang mendengar
kebejatamu, Mas? Masuk sekarang!"
Kali ini Anam hanya menurut saja sampai Naya membanting tubuhnya yang masih kuyup pada sofa. Selepas mengunci pintu, Rofi pun samar memegangi tangan Naya. Takut kalau-kalau gadis itu benar-benar hilang kendali.
"Lepaskan aku, Rof!"
Sejenak perhatiannya beralih. Gadis yang sama kebat-kebitnya dengan Anam itu justru kembali memeluk Naya erat. Isakan tangis menggema ke seluruh ruangan. Belum reda sengalan napas itu, Anam bangkit. Menggamit lengan Naya yang kemudian menatapnya lekat dengan mata yang sudah sembab memerah.
"Jangan menangis begini, Sayang. Tolong berhentilah. Katakan aku harus bagaimana? Apa salahku?"
"Harusnya aku yang bertanya apa salahku, Mas? Apa salahku sampai kau tega melakukan ini padaku."
"Melakukan apa? Ini apa?"
Naya lekas berlalu. Meninggalkan Anam dan Rofi yang masih berdiri dengan tanda tanya besar. Dengan rekaan-rekaan kemungkinan yang tumpang tindih memenuhi pikiran masing-masing.
Beberapa menit kemudian, debam langkah tadi terdengar mendekat dari salah satu ruangan di dalam. Penampilannya semakin berantakan. Bagian bawah gamisnya basah. Ditambah dengan jilbab motif bunga-bunganya yang lecek dan sama sekali tak simetris lagi.
"Nay ... Naya ...."
Gadis itu bergeming. Mengarahkan kembali tatapan nyalangnya pada Anam. Dengan kobaran api yang seolah tampak pada kedua lensa matanya. Dengan dada yang kembang kempis. Dengan lava murka yang seolah akan menyembur sebentar lagi.
"Kenapa lagi ini, Nay?" tanya Anam ketika gadis itu kembali mengardik. Mencengkeram kerah jas yang masih basah kemudian membantingnya lagi. Begitu tubuhnya mendarat di sofa, sebuah benda kecil panjang dilempar oleh Naya tepat mengarah pada mukanya.
"I-ini ... a-apa?"
"Lihat!"
Deg ....
Debar jantung Anam menghebat kala kedua netranya menatap benda yang suah di tangan. Kali ini bahkan rasanya hendak meledak. Wajah putih bersih itu semakin pucat pasi begitu menatap sesuatu di sana. Dua garis biru.
Buku lain oleh Ila Rofiqoh
Selebihnya