/0/28875/coverbig.jpg?v=20251201182530&imageMogr2/format/webp)
Alea diangkat oleh pasangan kaya, Reynald dan Marina, saat ia berusia delapan tahun. Reynald, seorang pengusaha sukses, dan Marina, wanita lembut yang lama berjuang untuk memiliki anak, menganggap Alea sebagai anugerah. Kini, di usia dua puluh dua, Alea tumbuh menjadi perempuan yang cerdas dan berparas menawan. Namun, setelah bertahun-tahun hidup bersama, hubungan keluarga itu mulai berubah arah. Reynald mulai merasa ada sesuatu yang berbeda setiap kali melihat Alea - bukan perasaan ayah terhadap anak, tapi sesuatu yang keliru dan menakutkan bagi dirinya sendiri. Alea pun bingung. Ia menghormati ayah angkatnya, tapi sejak beberapa bulan terakhir, Reynald bersikap aneh: perhatian berlebihan, tatapan yang membuatnya tak nyaman, dan alasan-alasan kecil agar mereka selalu berdua. Marina tidak tahu apa pun. Ia sibuk mengurus yayasan sosial dan terus berusaha menjalani terapi agar bisa hamil. Ia percaya keluarga mereka bahagia - tanpa menyadari badai yang diam-diam sedang terbentuk di dalam rumahnya. Namun, ketika sebuah kejadian tak terduga terjadi - sebuah video pengintai di rumah menunjukkan sesuatu yang tak seharusnya - rahasia yang mereka simpan bertahun-tahun pun mulai terbongkar satu per satu. Apakah Marina akan mengetahui kebenaran yang mengubah segalanya? Ataukah Alea akan memilih diam demi melindungi keluarga yang sudah memberinya kehidupan kedua?
Hujan turun deras sore itu. Langit kota dipenuhi abu keabu-abuan yang menggantung rendah, menekan bumi dengan hawa dingin dan sunyi.
Di depan panti asuhan kecil di pinggir kota, seorang anak perempuan berusia delapan tahun duduk di bawah beranda kayu yang sudah lapuk. Rambutnya yang hitam kusut menempel di pipi, bajunya kebesaran dan basah karena hujan.
Namanya Alea.
Sudah seminggu ini ia tahu, seseorang akan datang untuk menjemputnya. Bukan untuk dikunjungi seperti biasa oleh donatur, tapi menjemputnya. Membawanya pergi.
"Alea," suara lembut itu memanggil dari dalam ruang utama. "Nak, ayo masuk dulu. Kamu bisa pilek kalau terus duduk di situ."
Itu suara Suster Berta, pengurus panti yang selama ini menjadi satu-satunya tempat Alea bersandar.
Alea menoleh, senyumnya tipis. "Katanya hari ini mereka datang, Suster. Kalau aku masuk nanti mereka enggak lihat aku."
Suster Berta tersenyum pahit. Ia sudah mendengar cerita dari kepala panti - pasangan suami istri yang ingin mengadopsi anak perempuan. Mereka kaya, terhormat, dan tampak begitu baik. Tapi entah kenapa, ada kekhawatiran kecil di hati wanita tua itu.
"Orang baik pasti tahu caranya menemukanmu, meski kamu enggak duduk di depan pintu," katanya lembut sambil menyelimutkan jaket tipis ke bahu Alea. "Tapi kalau kamu kedinginan dan sakit, nanti mereka malah enggak bisa bawa kamu pulang."
Alea menatap jalanan yang becek dan sunyi. Ia tidak tahu seperti apa "rumah" baru yang akan menerimanya nanti. Tapi di dalam hatinya yang kecil, ia berdoa - semoga rumah itu hangat, tidak seperti panti yang selalu dingin di malam hari.
Dua jam kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di halaman panti. Dari dalam keluar dua orang dewasa - pria dengan jas abu-abu dan wanita dengan gaun pastel yang sopan.
Alea menatap mereka dari jendela.
Mereka tampak seperti dari dunia yang berbeda. Bersih, tenang, dan penuh wangi bunga.
"Selamat sore," Suster Berta menyambut ramah. "Anda pasti Tuan dan Nyonya Pradipta?"
Pria itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Ya, saya Reynald Pradipta, dan ini istri saya, Marina."
Suara Reynald tenang, dalam, seperti orang yang terbiasa memberi perintah dan dihormati.
Sementara Marina terlihat lembut, dengan mata cokelat hangat yang langsung mencari-cari sosok kecil di balik Suster Berta.
"Di mana Alea?" tanya Marina lembut. "Kami ingin bertemu."
Alea menatap mereka dari balik pintu, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin lari, tapi kaki kecilnya seolah terpaku.
Suster Berta menoleh ke arah pintu. "Alea, sini nak. Mereka sudah datang."
Perlahan, Alea melangkah keluar. Langkahnya kecil dan ragu. Matanya menatap wajah dua orang itu, dan entah mengapa, Marina langsung meneteskan air mata.
"Cantiknya..." Marina berbisik. "Tuhan... dia persis seperti yang aku bayangkan."
Reynald menatap Alea cukup lama. Tatapannya tidak setulus Marina, tapi lebih dalam - menilai, menelusuri. Seolah sedang memastikan sesuatu.
Alea menunduk, merasa malu sekaligus takut.
"Namamu Alea?" tanya Reynald akhirnya.
"Iya, Pak."
"Mulai sekarang, kamu boleh panggil aku Papa, dan ini Mama."
Alea menatap Marina. Perempuan itu tersenyum, lalu berjongkok dan memeluknya. "Mulai hari ini kamu enggak sendirian lagi, sayang. Kami akan jadi keluargamu."
Pelukan itu... hangat. Sesuatu yang belum pernah Alea rasakan seumur hidupnya. Ia memejamkan mata, air mata kecil mengalir di pipinya.
Sore itu, hujan berhenti. Dan bersama itu pula, hidup baru Alea dimulai.
Rumah keluarga Pradipta jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Dindingnya berwarna putih bersih, dengan halaman luas dan taman bunga di belakang. Setiap langkah Alea terasa kecil di tengah kemegahan itu.
Namun, di balik kemewahan, Alea merasakan sepi yang aneh. Rumah itu terlalu hening.
Hari-hari pertamanya berjalan hati-hati. Alea belajar memanggil "Papa" dan "Mama" dengan kaku, belajar makan dengan garpu, dan tidur di kamar yang terlalu besar untuknya.
Marina selalu berusaha mendekat. Ia menyisir rambut Alea setiap pagi, menemaninya belajar, bahkan menidurkannya di malam hari.
Tapi Reynald... selalu menjaga jarak.
Pria itu sibuk bekerja, jarang berbicara banyak. Namun kadang, tatapan matanya pada Alea terasa sulit dijelaskan.
Suatu sore, ketika Alea sedang menggambar di ruang keluarga, Reynald datang dari kantor lebih awal. Marina sedang keluar bersama rekan yayasannya.
Alea tidak sadar saat Reynald berdiri di ambang pintu memperhatikannya.
"Bagus gambarnya," ucap Reynald datar.
Alea menoleh, tersenyum sopan. "Terima kasih, Pa."
Reynald berjalan mendekat, lalu jongkok di sampingnya. "Itu gambar siapa?"
"Aku dan Mama... dan Papa juga."
Reynald menatap gambar itu - tiga sosok tersenyum di bawah sinar matahari. Ada tulisan kecil di bawahnya: Keluarga Bahagia.
Senyum tipis muncul di wajah pria itu. "Kamu cepat sekali menyesuaikan diri."
Alea mengangguk. "Mama baik banget. Papa juga."
Reynald terdiam beberapa detik, lalu menyentuh kepala Alea dengan ragu. "Kamu anak yang pintar, Alea. Papa bangga."
Alea menatapnya heran. "Papa jarang di rumah, tapi aku tahu Papa sayang aku."
Reynald tersenyum samar. Ada sesuatu di hatinya yang berubah hari itu - sesuatu yang tidak bisa ia beri nama, tapi perlahan tumbuh di antara rasa iba dan kagum.
Tahun demi tahun berlalu.
Alea tumbuh menjadi remaja yang sopan dan cerdas. Ia disekolahkan di tempat terbaik, diajari seni, bahasa, dan tata krama.
Marina mencurahkan seluruh kasihnya, sementara Reynald menjadi sosok ayah yang jarang bicara tapi selalu ada di balik layar.
Namun, kehidupan mereka tidak selalu damai. Marina mulai sering jatuh sakit karena stres menjalani terapi kehamilan. Tekanan keluarga besar Reynald yang terus menuntut keturunan membuat suasana rumah kian tegang.
Suatu malam, Alea mendengar pertengkaran hebat dari kamar orang tuanya.
Ia berdiri di tangga, menahan napas.
"Berhentilah menyalahkan aku, Reynald!" suara Marina pecah. "Aku sudah mencoba bertahun-tahun. Kalau Tuhan belum memberi, apa itu salahku?"
"Aku tidak menyalahkanmu, Marina," jawab Reynald dingin. "Aku hanya... lelah. Rumah ini terlalu sunyi. Kau bahkan sibuk dengan yayasanmu sampai lupa aku ada di sini."
"Tapi aku lakukan itu untuk kita! Untuk mengisi kekosongan ini."
Alea menggigit bibir. Ia ingin turun, ingin memeluk mereka berdua. Tapi langkahnya terpaku.
Pertengkaran itu terus berlanjut, lalu sunyi.
Keesokan paginya, Marina pergi ke luar kota untuk pengobatan. Reynald tinggal di rumah, diam, nyaris tak bicara.
Hari itu hujan lagi. Alea duduk di perpustakaan, membaca buku, ketika Reynald datang dengan ekspresi lelah.
"Kamu enggak sekolah hari ini?" tanyanya.
"Aku libur, Pa."
Reynald mengangguk, duduk di kursi seberang. "Mama berangkat pagi ya?"
"Iya. Katanya seminggu baru pulang."
Sunyi beberapa saat. Reynald menatap gadis itu - rambut hitam panjang, kulit pucat, mata tenang seperti Marina di masa muda.
Ia sadar, Alea bukan lagi anak kecil. Dan itu membuat hatinya bergetar aneh.
Alea menyadari tatapan itu, tapi mencoba tetap tenang. "Papa kelihatan capek. Mau aku buatin teh?"
Reynald mengangguk pelan. "Boleh."
Alea pergi ke dapur, membuat teh hangat, lalu membawanya kembali. Saat ia menaruh cangkir di meja, jari mereka bersentuhan.
Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat keduanya saling terdiam.
Reynald segera menarik tangannya. "Terima kasih."
Alea menunduk. "Sama-sama, Pa."
Kejadian itu berlalu tanpa kata, tapi meninggalkan rasa canggung yang tidak bisa dijelaskan. Sejak hari itu, Alea mulai menjaga jarak.
Namun Reynald - semakin hari semakin sulit mengabaikan kehadirannya.
Suatu sore, beberapa tahun kemudian, Alea berusia dua puluh dua tahun. Ia baru lulus kuliah dan bekerja di yayasan milik Marina. Hidupnya terlihat sempurna: mapan, cerdas, disayangi. Tapi di balik itu, hubungan di rumah mulai terasa retak.
Marina semakin sibuk dengan program sosial, jarang di rumah. Reynald lebih sering bersama Alea, menemani rapat, menjemputnya, bahkan mengajarinya hal-hal tentang bisnis.
Suatu malam, mereka berdua makan malam di rumah karena Marina sedang di luar kota.
"Papa enggak ikut Mama?" tanya Alea sambil menata piring.
"Tidak. Aku lebih nyaman di rumah." Reynald tersenyum kecil. "Lagi pula, kalau aku pergi, siapa yang jagain kamu?"
Alea terkekeh gugup. "Aku udah dewasa, Pa. Enggak perlu dijagain."
"Tetap saja. Kamu masih putriku."
Kata itu membuat Alea terdiam. Putriku.
Tapi entah kenapa, ada nada berbeda di suara Reynald yang membuat hatinya gelisah.
Beberapa hari kemudian, Marina pulang lebih cepat dari rencana. Tapi malam itu, sesuatu membuatnya tidak bisa tidur.
Ketika ia hendak turun ke dapur mengambil air, ia mendengar suara samar dari ruang kerja Reynald.
Langkahnya berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Di dalam, Reynald duduk menatap layar komputer. Ia tidak sadar sedang direkam oleh kamera keamanan yang terpasang di sudut ruangan.
Di layar itu... tampak video lama - rekaman dari CCTV rumah, memperlihatkan Alea di taman belakang, tertawa saat bermain hujan.
Reynald menatapnya lama, tersenyum samar.
Marina terpaku. Ia tak tahu harus merasa apa. Marah? Curiga? Takut?
Tapi sesuatu di dalam dirinya berbisik: ada yang tidak beres.
Malam itu, tanpa sepengetahuan Reynald maupun Alea, Marina memanggil teknisi rumah dan meminta salinan semua rekaman dari kamera keamanan.
Dan di sanalah semuanya dimulai -
kebenaran yang selama ini tersembunyi perlahan membuka dirinya, satu demi satu, menunggu saatnya menghancurkan segalanya.
Bab 1 Di depan panti asuhan
22/10/2025
Bab 2 Marina tidak tidur sama sekali
22/10/2025
Bab 3 kenapa terasa cocok dengan suasana hati
22/10/2025
Bab 4 taman belakang
22/10/2025
Bab 5 Alea pun hidup dalam kebisuan
22/10/2025
Bab 6 pergi bukan sekadar kepergian
22/10/2025
Bab 7 kesempatan besar
22/10/2025
Bab 8 mereka ingin Alea memimpin
22/10/2025
Bab 9 Ini sudah terlalu jauh
22/10/2025
Bab 10 rumor yang disebarkan
22/10/2025
Bab 11 merusak reputasiku
22/10/2025
Bab 12 Semua orang akan tahu siapa Alea yang sebenarnya
22/10/2025
Bab 13 Aku bisa menghadapi apa pun
22/10/2025
Bab 14 kesempatan terakhirnya
22/10/2025
Bab 15 pastikan semua pihak melihatnya
22/10/2025
Bab 16 memuat tuduhan
22/10/2025
Bab 17 penyelidikan
22/10/2025
Bab 18 Di apartemen kecil
22/10/2025
Bab 19 mobil yang perlahan mati
22/10/2025
Bab 20 Kapalnya berangkat jam dua belas
22/10/2025
Bab 21 ketenangan itu menipu
22/10/2025
Bab 22 Kalian memang harus curiga
22/10/2025
Bab 23 Di luar markas
22/10/2025
Bab 24 mereka terasa rapuh
22/10/2025
Bab 25 setiap detik terasa seperti satu jam
22/10/2025
Bab 26 kekacauan
22/10/2025
Bab 27 dia berhasil melarikan diri
22/10/2025
Buku lain oleh Nurafifah
Selebihnya