Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tidak Percaya Cinta

Tidak Percaya Cinta

Aditya

5.0
Komentar
538
Penayangan
26
Bab

Fahri tidak pernah mempercayai konsep cinta, apalagi pada wanita. Baginya, semua perempuan hanya mengejar kekayaan dan status, tidak lebih dari itu. Setelah mengalami patah hati yang mendalam di masa muda, Fahri menutup hatinya untuk segala bentuk hubungan. Namun, suatu malam, ia bertemu dengan sosok wanita yang mampu mengguncang keyakinannya, membuatnya mempertanyakan kembali pandangannya tentang cinta.

Bab 1 Fahri duduk seorang diri di sebuah bar mewah di pusat kota

Fahri duduk seorang diri di sebuah bar mewah di pusat kota, mengenakan setelan jas hitam yang serasi dengan suasana malam itu. Suasana restoran bergaya klasik ini dipenuhi dengan cahaya redup dan musik jazz lembut yang mengalun di latar belakang. Semua hal ini tidak menghalangi perasaan kosong yang menggerogoti dadanya. Pikirannya, seperti biasanya, penuh dengan penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan dan emosi.

Ia mengangkat gelas wiski yang telah setengah habis, menatap cairan cokelat kemerahan itu dengan mata kosong, seolah mencari jawaban dalam setiap tetesnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi, sebuah konsep yang diciptakan untuk menipu orang-orang yang terlalu naif untuk menyadari kenyataan. Wanita, khususnya, tidak lebih dari sekadar makhluk yang mencari keuntungan dari pria kaya seperti dirinya. Setelah mengalami pahitnya patah hati di masa lalu, ia menutup hatinya rapat-rapat. Cinta tidak ada tempat di dalam hidupnya, dan ia tidak berniat memberinya tempat.

"Satu lagi, Fahri?" kata seorang bartender muda dengan wajah ramah, memecah lamunannya.

Fahri hanya mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Bartender itu mengisi ulang gelasnya, lalu melangkah pergi, meninggalkannya kembali dalam kesendirian yang menjadi sahabatnya sejak lama. Di sekelilingnya, suara obrolan para tamu lainnya terasa begitu jauh, seperti gema yang hanya memantul tanpa memberi arti. Ia merasa asing di dunia ini, seperti seseorang yang terjebak di tempat yang salah, dikelilingi oleh orang-orang yang tidak pernah bisa memahami dirinya.

Namun, tiba-tiba, langkah kaki yang mantap dan ringan terdengar semakin dekat. Fahri menoleh tanpa banyak berharap, tetapi matanya langsung terkunci pada sosok wanita yang baru saja memasuki ruangannya. Wanita itu mengenakan gaun hitam elegan yang memancarkan aura misterius dan penuh percaya diri. Setiap gerakannya seolah terukur, penuh keanggunan yang membuat para pria di sekitarnya melirik dengan penasaran.

Wanita itu berhenti beberapa langkah di depannya dan menatap kursi kosong yang ada di meja Fahri. Tanpa ragu, ia melangkah maju, duduk dengan anggun, dan meletakkan tas kecil di sampingnya. Dengan gerakan lembut, ia mengatur posisi tubuhnya dan memandang Fahri dengan mata yang penuh dengan ketenangan yang kontras dengan kegelisahan yang sedang dirasakannya.

"Apakah tempat ini kosong?" tanya wanita itu dengan suara yang lembut namun tegas, seolah meminta izin, tetapi di saat yang sama seakan menunjukkan bahwa ia sudah tahu jawabannya.

Fahri menatapnya sebentar, merasa ada sesuatu yang berbeda tentang wanita ini. Biasanya, wanita sepertinya akan duduk dengan malu-malu atau lebih cerewet, tapi wanita ini tidak. Dia hanya duduk dengan tenang, menatap sekeliling dengan pandangan yang hampir tenang dan penuh pemahaman.

"Ya, silakan," jawab Fahri, akhirnya membiarkan wanita itu duduk di hadapannya. Ia merasa aneh, karena tidak pernah merasa begitu tertarik pada seseorang hanya dengan sekilas pandang seperti ini.

Wanita itu tersenyum kecil, senyuman yang tampaknya menyimpan banyak rahasia. "Terima kasih," katanya, kemudian melirik ke arah bartender yang lewat. "Aku akan pesan satu gelas anggur putih."

Setelah bartender pergi, suasana kembali hening di antara mereka. Fahri menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap wanita itu dengan rasa ingin tahu yang tak terduga. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa ingin tahu lebih banyak tentang wanita ini, tentang siapa dia, dan mengapa ia duduk di sana, menemani kesendirian Fahri malam itu.

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa lama, Fahri membuka percakapan, meskipun ia sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk berbicara. "Nama saya Fahri," katanya, sambil sedikit tersenyum tanpa semangat. "Dan kamu?"

Wanita itu menatapnya sejenak, lalu menjawab, "Lia."

Fahri mengangguk, mencoba untuk tetap menjaga sikapnya yang biasa-dingin dan tak terpengaruh. "Kamu sering ke sini?" tanyanya, walaupun ia tidak berharap banyak dari jawaban tersebut. Sebuah pertanyaan basa-basi, seperti yang selalu ia lakukan saat berbicara dengan orang lain.

Lia tersenyum, sedikit lebih lebar kali ini, seolah mengerti maksud di balik pertanyaan tersebut. "Baru pertama kali," jawabnya, matanya tidak berpaling sedikit pun dari Fahri. "Aku suka mencari tempat yang bisa memberikan ketenangan."

Ketenangan. Kata-kata itu langsung mengingatkan Fahri pada dirinya sendiri, pada kesunyian yang selalu dia pilih. Namun, dia juga merasa aneh, seperti ada sebuah dinding tak terlihat yang menghalangi dia untuk benar-benar memahami maksud wanita ini.

"Ketika orang seperti kamu mencari ketenangan di tempat seperti ini," Fahri berkata, mencoba tetap terdengar skeptis, "apakah itu benar-benar ketenangan, atau hanya cara untuk melupakan sesuatu?"

Lia menatapnya dalam-dalam, seolah membaca setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Mungkin keduanya," jawabnya, suaranya tenang. "Tapi kadang, ketenangan bukan berarti melupakan, Fahri. Kadang, itu hanya berarti menerima."

Fahri merasa sedikit terkejut dengan jawabannya, namun ia tetap mempertahankan ekspresinya yang tidak terpengaruh. "Menerima?" ia mengulang, suaranya sedikit lebih rendah. "Menerima kenyataan bahwa semua wanita pada dasarnya sama. Mereka hanya tertarik pada uang. Tidak lebih."

Lia hanya diam sejenak, seolah mencerna kata-kata Fahri. "Kamu benar," jawabnya akhirnya, suara lembutnya tidak kehilangan ketegasan. "Tapi mungkin, kamu belum bertemu dengan wanita yang bisa menunjukkan padamu bahwa ada hal lain selain uang yang bisa membuat seseorang merasa hidup."

Fahri tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa tertarik. Kata-kata Lia, meskipun terdengar seperti sebuah tantangan, juga menyentuh sesuatu yang dalam dalam dirinya. "Mungkin kamu benar," katanya, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Lia. "Tapi sampai sekarang, aku belum pernah melihatnya."

Lia tersenyum lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lembut, lebih penuh makna. "Jangan terlalu cepat menilai, Fahri," katanya, seolah memberi petunjuk tentang sebuah rahasia yang hanya bisa dipahami setelah waktu berjalan.

Malam itu, mereka duduk dalam keheningan yang penuh arti, sementara Fahri mulai merasakan getaran yang tidak bisa dijelaskan. Sesuatu tentang Lia membuatnya merasa seperti ada bagian dari dirinya yang telah lama terkunci, yang perlahan mulai terbangun kembali. Sesuatu yang selama ini ia sembunyikan di balik tembok skeptisisme dan kekecewaan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Fahri merasa sedikit tidak pasti.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Aditya

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku