"Aku sudah bilang, jangan dekati aku lagi, Raina!" seru Andra dengan nada tegas. "Kenapa? Takut jatuh cinta sama aku?" goda Raina sambil tersenyum jahil. "Berhenti sekarang, atau aku benar-benar akan marah!" Andra menggeram, rahangnya mengeras. Namun, gadis ceria itu tak pernah menyerah. Raina terus mengejar dosennya, Andra Wiratma, pria dingin yang selalu berpenampilan rapi dan kaku seperti pria tua. Sebuah permainan "truth or dare" bersama sahabat-sahabatnya membuat Raina menerima tantangan gila: mendekati dosen killer di kampus mereka. Apa yang awalnya hanya lelucon berubah menjadi perjuangan emosional. Dalam proses itu, Raina tak hanya berhasil mencuri perhatian Andra, tetapi juga memaksa pria itu menghadapi perasaannya sendiri.
Kampus Universitas Mahardika adalah salah satu kampus terkemuka di kota, dikenal dengan dosen-dosen hebat dan disiplin yang ketat. Namun, di balik gedung-gedung megah dan suasana akademis yang sibuk, ada satu nama yang membuat mahasiswa di fakultas hukum bergetar hanya dengan mendengar suaranya: Andra Wiratma.
Dosen muda berusia 34 tahun itu terkenal dingin, perfeksionis, dan tidak pernah kompromi soal kesalahan. Penampilannya rapi, rambut selalu tersisir ke belakang, dengan kemeja putih yang tak pernah terlihat kusut. Sikapnya membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, dan mahasiswa sering bergurau bahwa Andra adalah reinkarnasi "dosen kuno zaman penjajahan".
Namun, bagi Raina Sasmita, dosen killer itu adalah tantangan.
"Aku yakin bisa membuat dia tersenyum, bahkan mungkin jatuh cinta!" ujar Raina dengan suara penuh percaya diri.
Siska dan Maya, dua sahabatnya yang sudah hafal betapa impulsifnya Raina, hanya bisa saling pandang dengan ekspresi khawatir.
"Aku tahu kamu suka hal-hal aneh, Rain, tapi mendekati Pak Andra? Kamu serius?" tanya Siska sambil melipat tangan di depan dada.
Raina mengangguk sambil mengaduk kopi di depannya. "Ini bukan sekadar iseng. Kalian tahu kan tadi malam aku kalah truth or dare? Maya sendiri yang kasih tantangan ini. Jadi aku harus menjalankan!"
Maya terkekeh, merasa bersalah sekaligus tak sabar melihat hasilnya. "Iya sih, tapi aku nggak nyangka kamu bakal terima tantangan ini. Maksudku, kita ngomongin Pak Andra di sini! Dia itu dosen killer, bukan cowok kampus yang gampang diajak bercanda."
"Justru itu! Dia terlalu serius. Hidupnya pasti membosankan," sahut Raina sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Bayangin kalau aku bisa bikin dia berubah. Itu pencapaian!"
Siska menghela napas. "Kamu benar-benar gila."
Maya menepuk bahu Raina dengan senyum lebar. "Semoga berhasil, Rain. Tapi jangan sampai kamu kena masalah besar gara-gara ini."
Keesokan harinya
Raina duduk di kelas hukum perdata dengan senyum licik di wajahnya. Dia sengaja memilih kursi di barisan depan, tepat di depan meja dosen. Ketika Andra masuk ke ruangan dengan langkah tegas, suasana langsung berubah. Semua mahasiswa yang tadinya asyik mengobrol mendadak diam, seolah takut menarik perhatian sang dosen.
"Selamat pagi," ucap Andra singkat sambil menaruh map tebal di atas meja. Suaranya dalam dan penuh wibawa.
"Selamat pagi, Pak!" jawab mahasiswa serempak, kecuali Raina yang dengan santainya menatap Andra tanpa berkata apa pun.
Andra memandang kelasnya sebentar sebelum mulai menjelaskan materi. "Hari ini kita akan membahas konsep dasar dalam hukum kontrak. Buka buku kalian di halaman 120."
Saat mahasiswa sibuk membuka buku, Raina mengangkat tangannya. "Pak Andra, saya punya pertanyaan."
Andra menatapnya, alisnya sedikit terangkat. "Apa pertanyaannya, Raina?"
Raina tersenyum manis. "Kenapa Bapak selalu terlihat serius? Apa Bapak nggak pernah santai atau tertawa?"
Kelas mendadak hening. Semua mahasiswa menoleh ke arah Raina dengan tatapan kaget, bahkan beberapa berani tertawa kecil.
Andra terdiam sejenak, ekspresinya tetap datar. "Kalau tidak ada pertanyaan yang relevan dengan materi, lebih baik fokus pada buku kalian."
Raina tak menyerah. "Saya cuma penasaran, Pak. Bapak nggak pernah tersenyum di depan kami. Senyum itu sehat, lho."
Andra menghela napas panjang, jelas mencoba menahan kesabarannya. "Raina, saya tidak di sini untuk membahas kebiasaan pribadi saya. Kalau kamu tidak mau mendengarkan materi, kamu bisa keluar dari kelas."
Namun, Raina tetap duduk dengan santai, bahkan menahan senyum jahil di wajahnya. "Baik, Pak. Saya akan mendengarkan."
Andra mengabaikannya dan kembali menjelaskan materi. Tapi di sepanjang kelas, Raina terus mencoba menarik perhatian sang dosen, mulai dari memberikan komentar kecil hingga menatap Andra tanpa berkedip.
Setelah kelas berakhir
Raina menunggu di luar kelas, sengaja berdiri di dekat pintu dengan alasan ingin bertanya sesuatu. Ketika Andra keluar, dia langsung menghampiri.
"Pak, saya benar-benar punya pertanyaan, kali ini soal materi," katanya sambil berusaha terlihat serius.
Andra memandangnya dengan skeptis. "Apa?"
"Kenapa dalam kontrak ada istilah consideration? Kenapa nggak cukup dengan janji saja?"
Pertanyaannya kali ini cukup serius untuk membuat Andra berhenti sejenak dan memberikan penjelasan singkat. Namun, saat dia selesai menjelaskan, Raina kembali mengajukan pertanyaan aneh.
"Jadi, kalau janji nggak cukup di kontrak, bagaimana dengan janji cinta, Pak? Apa itu juga butuh consideration?"
Andra memejamkan mata sejenak, jelas mulai merasa terganggu. "Raina, kamu sudah cukup bertanya untuk hari ini. Jangan ganggu waktu saya lagi."
Namun, sebelum Andra pergi, Raina tersenyum lebar. "Tapi, Pak, saya serius. Janji cinta Bapak itu seperti apa?"
Andra menatapnya tajam. "Raina, berhenti sekarang juga. Saya tidak akan segan memberi teguran resmi kalau kamu terus bersikap seperti ini."
Raina Tidak Menyerah
Permainan yang awalnya hanya sebuah tantangan mulai terasa seperti obsesi kecil bagi Raina. Setiap hari, dia mencari cara untuk mendekati Andra, entah dengan pura-pura bertanya soal materi, "kebetulan" bertemu di kantin, atau bahkan meninggalkan catatan kecil di meja dosennya.
Namun, semakin dia mencoba, semakin dia menyadari sesuatu yang aneh. Meski Andra sering menunjukkan ketidaksukaan, dia tidak pernah benar-benar marah. Bahkan, ada saat-saat di mana Raina merasa tatapan Andra menjadi lebih lembut, meski hanya untuk sedetik.
"Pak Andra itu misteri," kata Raina suatu hari kepada Siska dan Maya. "Dia marah-marah, tapi dia nggak pernah benar-benar mengusirku."
"Kamu yakin itu tanda baik?" tanya Siska sambil mengangkat alis.
"Ya, aku yakin. Aku harus membuatnya membuka diri. Aku nggak akan menyerah," jawab Raina dengan senyum penuh tekad.
Malam itu, suasana di kamar kost Raina terasa ramai. Tiga orang gadis berkumpul di lantai, dikelilingi berbagai camilan, botol minuman soda, dan tumpukan buku kuliah yang terbengkalai di meja. Raina, Siska, dan Maya sedang menikmati malam bebas dari tugas kuliah yang menumpuk.
"Aku bosan," keluh Maya sambil meregangkan tubuh. "Kita perlu sesuatu yang seru malam ini."
"Main game, yuk!" usul Siska sambil membuka bungkus keripik kentang.
"Game apa? Jangan yang membosankan," timpal Raina, memutar-mutar sedotan di gelasnya.
Siska menyeringai. "Truth or Dare. Tapi... dengan aturan yang lebih ekstrem."
Maya dan Raina langsung tertarik. "Ekstrem gimana maksudmu?" tanya Maya, mendekat.
"Kita harus benar-benar menjalankan apa pun tantangannya. Kalau nggak, ada hukumannya," jelas Siska dengan mata berbinar.
Raina mendengus. "Hukuman apa? Jangan-jangan cuma suruh joget di depan kamera kayak kemarin."
"Bukan. Hukuman kali ini lebih gila," jawab Siska sambil memandangi Raina penuh arti. "Misalnya, kamu harus berani nembak seseorang yang kita tentukan."
Raina tertawa keras. "Serius? Itu tantangan anak SMA!"
"Ya, kalau kamu nggak berani, bilang aja!" tantang Siska.
Raina mengangkat alis. "Siapa takut? Ayo mulai."
Maya mengambil botol soda yang sudah kosong dan meletakkannya di tengah. "Kita pakai botol ini buat pilih siapa yang kena giliran."
Mereka memutar botol, dan ujungnya berhenti mengarah pada Siska.
"Truth or Dare?" tanya Raina.
"Dare," jawab Siska tanpa ragu.
"Okay, kamu harus kirim pesan voice note ke gebetanmu dan bilang kamu suka dia," tantang Raina.
Siska tertawa gugup. "Kamu serius?"
"Tentu. Jangan ngecut, ya," goda Maya.
Dengan wajah memerah, Siska mengeluarkan ponselnya, merekam pesan suara, dan mengirimkannya ke nomor gebetannya. Setelah selesai, mereka semua tertawa sampai perut sakit.
Botol diputar lagi, kali ini berhenti di Raina.
"Truth or Dare?" tanya Siska dengan nada penuh tantangan.
"Dare," jawab Raina tanpa berpikir.
Siska dan Maya saling pandang, lalu tersenyum jahil. "Kamu harus mendekati Pak Andra, dosen killer kita, dan bikin dia jatuh cinta padamu," tantang Siska.
Raina terdiam sejenak. Tantangan itu terdengar konyol, tapi sangat menarik. "Berapa lama aku harus melakukannya?"
"Seminggu," jawab Maya. "Kalau dalam seminggu kamu nggak berhasil bikin dia setidaknya menunjukkan perasaan suka, kamu harus belikan kita makan di restoran mahal."
"Deal," kata Raina dengan penuh percaya diri.
Keesokan paginya, Raina berdiri di depan cermin, mengenakan baju terbaiknya. Ia memilih gaun kasual berwarna pastel yang manis, berharap bisa terlihat menarik tapi tetap sopan di depan Pak Andra.
"Kamu yakin bisa?" tanya Siska yang berdiri di ambang pintu kamar Raina.
"Yakin. Dia mungkin galak, tapi aku yakin semua orang punya sisi lembut," jawab Raina sambil merapikan rambutnya.
Saat sampai di kampus, Raina langsung menuju ruang dosen, tempat biasanya Pak Andra berada sebelum kelas dimulai. Ia mengetuk pintu dengan perlahan.
"Masuk," terdengar suara berat dari dalam.
Raina membuka pintu dan melihat dosennya itu sedang sibuk mengetik di laptop. Pak Andra, dengan wajah dingin dan kacamata yang terpasang rapi, menoleh sekilas ke arahnya.
"Ada apa, Raina?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Saya mau bertanya, Pak, tentang tugas minggu lalu," kata Raina, mencoba terdengar polos.
"Tugas apa?" Andra mengangkat alis.
Raina berusaha mencari alasan, lalu berkata, "Tugas tentang perbandingan hukum perdata. Saya ingin tahu lebih dalam tentang kasus yang Bapak bahas."
Andra menghela napas, lalu menunjuk kursi di depannya. "Duduk."
Raina menurut, menatap pria di depannya dengan mata berbinar. Dalam hati, ia berpikir, Oke, tahap pertama berhasil. Sekarang tinggal cari cara buat bikin dia nyaman ngobrol sama aku.
Namun, Andra tetap terlihat dingin selama diskusi itu. Tidak ada sedikit pun senyum yang muncul di wajahnya. Meski begitu, Raina tidak menyerah. Ia tahu, ini baru awal dari misi gilanya.
Permainan Dimulai
Malam itu, di kamar kost, Siska dan Maya tertawa mendengar cerita Raina tentang pertemuannya dengan Pak Andra.
"Dia beneran kaku, ya?" tanya Maya sambil memakan popcorn.
"Banget. Tapi aku nggak akan kalah," jawab Raina dengan semangat.
"Kamu harus buat langkah yang lebih berani," usul Siska. "Mungkin mulai ajak dia ngobrol soal hal-hal di luar kuliah."
Raina mengangguk. "Besok aku coba. Aku akan cari tahu apa yang dia suka."
Keesokan harinya, Raina sengaja menunggu di taman kampus, tempat biasanya Pak Andra berjalan melewati untuk menuju ruang kelas. Ketika melihat pria itu dari kejauhan, Raina melambai sambil tersenyum lebar.
"Selamat pagi, Pak!" sapanya ceria.
Andra terlihat bingung, tapi akhirnya mengangguk. "Pagi, Raina. Ada perlu?"
"Nggak, cuma mau menyapa saja. Bapak kelihatan sibuk terus," jawab Raina santai.
Andra tidak menjawab dan terus berjalan, tetapi Raina mengikutinya.
"Pak, boleh tanya sesuatu?"
Andra menghela napas, lalu berhenti. "Apa lagi, Raina?"
"Apa Bapak pernah punya hobi? Maksud saya, selain kerja dan mengajar," tanya Raina dengan senyum penuh rasa ingin tahu.
Andra menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, "Saya suka membaca."
"Wow, buku apa yang Bapak suka?"
"Novel klasik," jawab Andra singkat, lalu melanjutkan langkahnya.
Raina tersenyum puas. Itu mungkin percakapan singkat, tapi setidaknya ia berhasil membuat dosennya itu berbicara lebih dari biasanya.
Bab 1 Tantangan Berbahaya
01/12/2024
Bab 2 setelah berhasil menggali sedikit informasi
01/12/2024
Bab 3 Ada sesuatu dalam tatapan pria itu
01/12/2024
Bab 4 Mungkinkah dia tunangan Andra
01/12/2024
Bab 5 Raina merasa terpojok oleh pertanyaan Andra
01/12/2024
Bab 6 Karina menatap Raina dengan tatapan sinis
01/12/2024
Bab 7 Andra dipanggil oleh pihak rektorat
01/12/2024
Bab 8 Pilihan mereka akan menentukan masa depan
01/12/2024
Bab 9 Hari-hari setelah percakapan mereka di ruang tamu
01/12/2024
Bab 10 biasanya sangat tenang dan terkendali
01/12/2024
Bab 11 kecemasan
01/12/2024
Bab 12 Pagi hari yang cerah tidak mengurangi ketegangan
01/12/2024
Bab 13 Malam semakin larut, namun di apartemen Andra
01/12/2024
Bab 14 Andra menghabiskan banyak waktu di kantornya
01/12/2024
Bab 15 Konferensi pers dimulai dengan suasana tegang
01/12/2024
Bab 16 matanya menatap ke luar
01/12/2024
Bab 17 membuat jantungnya berdegup lebih cepat
01/12/2024
Bab 18 Raina merasa lebih terjaga dari biasanya
01/12/2024
Bab 19 Darren telah memberikan mereka informasi
01/12/2024
Bab 20 Pintu ruangannya terbuka
01/12/2024
Bab 21 situasi semakin memanas
01/12/2024
Bab 22 Keputusan yang diambil Alif di ruang pertemuan
01/12/2024
Bab 23 ia tahu satu hal yang pasti
01/12/2024
Bab 24 Alif dan timnya bergerak lebih dalam
01/12/2024
Bab 25 Melangkah keluar dari klub malam
01/12/2024
Bab 26 Alif menatap layar laptop dengan mata yang semakin terfokus
01/12/2024
Bab 27 ampaknya merasakan ketegangan yang sama
01/12/2024
Bab 28 Alif dan Fajar keluar dari ruang pertemuan
01/12/2024
Bab 29 Fajar akhirnya berbicara
01/12/2024
Bab 30 Perjalanan mereka semakin tegang seiring waktu berlalu
01/12/2024
Bab 31 Suara pria itu begitu menggetarkan
01/12/2024
Bab 32 Mereka bertiga berjalan keluar dari gedung itu
01/12/2024
Bab 33 Alif terbangun lebih awal dari biasanya
01/12/2024
Bab 34 matanya menatap kosong ke arah cangkir kopi di meja
01/12/2024
Bab 35 Saat tiba di lantai dua
01/12/2024
Bab 36 Alif menatap Arjuna dengan mata penuh tekad
01/12/2024
Bab 37 langit kota yang gelap dan berawan
01/12/2024
Buku lain oleh Aditya
Selebihnya