Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ikuti Saja Mau-Nya

Ikuti Saja Mau-Nya

Ny Kaktus

4.0
Komentar
248
Penayangan
5
Bab

Pernahkah kalian berpikir kalau Tuhan tidak adil dalam membuat keputusan? Ini adalah kisah seorang hamba-Nya yang bergerak mengikuti alur skenario yang Tuhan berikan tanpa banyak mengeluh. Dia yakin, waktu yang akan menjawab bahwa keputusan yang Tuhan berikan adalah jalan terbaik bagi setiap ummat-Nya.

Bab 1 Bukan Soal Jumlah

"Maaf ya, Pak. Di sini belum butuh karyawan baru," ucap seorang security yang bertugas.

Tubuhku lemas seketika, padahal menurut temanku kantor ini sedang membutuhkan seorang office boy baru, saking semangatnya aku bahkan tidak peduli meski jarak dari rumah cukup jauh.

"Iya Pak, tidak apa-apa."

Akhirnya hari ini aku kembali tanpa hasil, sudah hampir dua bulan masih juga belum ada pekerjaan baru yang kudapat.

Entah aku harus menghadapi Nayla—Istriku seperti apa, tidak tega rasanya terus membuatnya kecewa. Entah sisa berapa uang di tangannya, apakah bisa bertahan sampai aku kembali dapat pekerjaan?

Kunyalakan mesin motorku, sebaiknya hari ini kita sudahi dulu pencarian kerjanya, perutku sudah tidak bisa lagi diajak kompromi karena belum ada sebutir nasi pun yang masuk.

Aku Rahmadi, orang biasa memanggil ku Adi. Awalnya aku bekerja sebagai seorang petugas kebersihan di salah satu kantor Advokat, namun sudah dua bulan ini majikanku memecatku secara sepihak. Saat kutanya alasannya, mereka bilang usiaku sudah terlalu tua untuk pekerjaan itu. Agak aneh memang, padahal pekerjaanku selalu beres dan tidak pernah bermasalah.

Bukan tanpa usaha, dari selatan hingga ke timur sudah kulalui demi mendapatkan pekerjaan baru segera. Namun, sepertinya Tuhan masih ingin melihat seberapa besar usahaku.

Meski ada uang pesangon, tapi jumlahnya tidak seberapa dan kini pasti sudah semakin menipis, apalagi kami harus membayar uang kontrakan setiap bulannya, entah akan cukup atau tidak sampai akhirnya aku bisa kembali berpenghasilan.

Aku merasa frustrasi, jika begini terus yang ada uang kami benar-benar habis. Bagaimana nasib istri serta kedua anakku, Safa dan Marwah? Bersyukurnya Tuhan menjadikan Nayla pendamping yang sabar, meski dalam kondisi sulit sekali pun.

Sempat ingin daftar menjadi pengemudi ojek online, tapi terkendala motor yang kumiliki hanyalah motor tua peninggalan almarhum bapak.

Bukan tidak ingin membeli motor baru secara kredit saat masih bekerja dulu, tapi gajiku saat itu tidaklah cukup untuk kebutuhan diluar kebutuhan pokok.

Aku dan Nayla mengutamakan kebutuhan anak-anak terlebih dahulu, baru setelahnya akan membeli barang pendukung, itu pun kalau masih ada sisa uang gaji.

Setibanya di rumah, Nayla ternyata sedang mengajari Safa membaca, sedangkan Marwah tengah asyik bermain dengan bonekanya. Mereka bertiga langsung menyambutku dengan hangat.

Melihat senyum dan tawa mereka membuat hatiku pilu. Jika mereka tahu bahwa hari ini aku kembali menelan pahit kegagalan, pasti senyum itu akan pudar.

"Dek, maaf ...."

Nayla langsung paham dengan kata itu saja, memang ada gurat kecewa tapi dia berusaha menutupinya sebisa mungkin.

"Ayo kita makan dulu, Bang."

Nayla langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan, seperti itulah dia, selalu berpura-pura tegar demi diriku.

Aku merasa bersalah padanya, semenjak menikah belum pernah sekali pun membahagiakannya. Padahal, sudah banyak hal yang dia lakukan untukku, termasuk melahirkan kedua putri kami yang sangat lucu.

Dia rela dimusuhi ibunya saat memilih menikah denganku. Ibunya bilang dia wanita bodoh yang mau menikah dengan lelaki masa depan suram sepertiku dan masih banyak lagi cercaan serta makian yang kami terima saat memutuskan untuk menikah dulu.

Meski begitu, Nayla terus meyakinkan ibunya dengan perlahan, sampai akhirnya kami bisa menikah dengan restunya, meskipun hingga kini ibu mertuaku masih memusuhiku.

Padahal, aku sudah bertekad akan menunjukkan bahwa aku bisa membahagiakan putrinya, tapi jika dia tahu kini bahkan menantunya ini seorang pengangguran, entah ucapan menusuk apalagi yang akan dia layangkan.

Saat kami memutuskan untuk mengontrak rumah saja, ibu mertuaku sempat marah besar. Dia berpikir kalau aku tidak akan sanggup dengan gaji yang hanya sedikit, tapi Nayla yang merasa kasihan padaku karena terus mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari ibunya, berusaha keras membujuk kembali orang tuanya agar melepas kami hidup mandiri.

Kupandangi motor butut warisan bapak, benda berharga satu-satunya yang bapak wariskan untuk putranya ini. Tidak ada lagi selain motor itu, ada pun rumah tinggal sudah diambil alih oleh Mbak Nani—kakak perempuanku.

Satu tahun sebelum meninggal, bapak pernah melakukan operasi jantung, mbak lah yang menanggung semua biaya rumah sakitnya. Jadi, saat bapak meninggal, Mbak Nani rasa dia paling berhak atas rumah itu, mengingat biaya rumah sakit saat itu belum bapak ganti.

Aku hanya merasa sadar diri, selama ini biaya hidup Bapak dan segala pengobatannya Mbak Nani lah yang menanggungnya, jadi aku tidak mau berharap lebih dengan rumah warisan bapak.

Ucapan ibu mertuaku benar, masa depanku suram, tidak ada yang bisa Nayla dapatkan dariku. Aku merasa egois karena ingin memilikinya seutuhnya, sedangkan aku tidak mampu untuk membalas segala pengabdiannya padaku.

Suami macam apa aku?

***

Hari ini sementara waktu aku ingin di rumah dulu, percuma juga jika terus berjalan tanpa tujuan pasti. Lagi pula aku tidak tega untuk terus meminta uang bensin, Safa dan Marwah saja sudah libur jajan dari kemarin lusa, sepertinya memang keuangan kami sudah semakin menipis.

Kukirimkan pesan kembali pada beberapa teman, tapi mereka juga belum memiliki informasi lowongan kerja. Mencari lowongan di internet pun terlalu banyak palsunya, susah sekali mencari kerja.

Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, setidaknya aku harus melakukan sesuatu agar tetap berpenghasilan, sebelum semuanya semakin memburuk.

"Nay!" seru ku.

Dia yang baru saja selesai memandikan Marwah langsung menghampiri. "Ya, Bang?"

"Sia uang tabungan kita, ada berapa?"

"Setelah dikurangi untuk bayar kontrakan, sekitar empat ratus ribu, Bang."

"Kita punya termos air panas, kan?"

Nayla mengernyitkan dahi, mungkin bingung juga dengan pertanyaanku. "Ada. Kenapa Bang?"

"Abang mau jualan kopi keliling, pakai alat yang ada saja."

Nayla tersenyum simpul. "Nayla terserah Abang saja, kapan mau mulai?"

"Mungkin nanti malam, biasanya banyak pengemudi ojek online mangkal. Abang pinjam uangnya seratus ribu, ya?"

"Iya, Bang. Silahkan."

Benar, disaat seperti ini aku harus memutar otak untuk mencari pundi rupiah, jika menunggu dapat panggilan kerja, entah sampai kapan.

"Ini uangnya, Bang," ucap Nayla seraya memberikan selembar uang seratus ribuan padaku.

"Terima kasih, Dek. Semoga berhasil. Amiin."

"Amiin."

Inilah yang kusuka dari Nayla. Dia selalu mendukung segala.keputusan yang kubuat, tanpa banyak bertanya atau mengeluh. Saat kondisi sulit seperti ini saja,dia tetap tenang. Padahal, aku uring-uringan setengah mati karena merasa khawatir.

"Abang jalan belanja dulu, ya."

"Hati-hati, Bang. Biar Nay siapkan dulu termos dan alat lainnya."

Aku hanya mengangguk pelan lalu segera bergegas pergi. Menafkahi Istri dan anak-anak adalah harga diriku sebagai seorang Suami, aku pasti bisa.

***

Kulihat jam di dinding sudah menunjukan pukul delapan malam, waktu yang tepat untuk segera bergegas pergi berjualan karena pada jam ini banyak yang tengah beristirahat sejenak.

Berbekal termos air panas, gelas plastik, kopi dan makanan ringan yang tadi kubeli, malam ini aku bertekad harus pulang membawa uang, entah besar ataupun kecil.

Aku tidak punya gerobak motor seperti penjual kopi keliling lainnya, tapi ada bekas peti telur menganggur. Akhirnya dengan itulah aku mengangkut semuanya meski harus sedikit dimodifikasi siang tadi.

"Hati-hati ya, Bang."

"Iya, Nay. Abang jalan dulu, ya."

Dengan mengucap Bismillah, kulajukan motorku menembus dinginnya udara malam, apalagi sore harinya memang sempat hujan deras, lengkap sudah.

Kususuri sepanjang jalan, setiap ada keramaian langsung saja aku berhenti, tapi ternyata sudah banyak penjual kopi yang mangkal di sana. Namun aku tidak menyerah, terus kulanjutkan perjalananku mencari tempat yang memungkinkan.

Setelah satu jam berkeliling kesana-kemari, akhirnya kuputuskan untuk mangkal disekitar Halte Bus. Memang tempatnya agak sepi, tapi setahuku disini sering ada driver ojek online mangkal, mungkin kini mereka masih sibuk mencari orderan.

Namun ternyata perkiraan ku salah, sudah dua jam lamanya aku mangkal hanya ada dua orang pembeli, bahkan hingga hari semakin larut pun tidak ada lagi tanda-tanda pembeli datang, hanya segelintir orang yang berlalu-lalang dan pergi.

Kulihat uang hasil berjualan tadi, jumlahnya tidak lebih dari dua puluh ribu saja, tapi waktu sudah tidak memungkinkan lagi untuk terus berjualan malam ini.

Kurapikan barang daganganku, lalu lintas juga sudah mulai sepi, berbahaya jika terus berjualan apalagi kondisi sekitar begitu sepi.

Sepanjang malam kulihat banyak tunawisma yang mulai berkeliaran mencari tempat untuk tidur, ada juga yang sudah tertidur pulas meski hanya beralaskan kardus bekas, tidak peduli pada hawa dingin yang menusuk tulang.

Yang membuatku pilu, saat melihat ada anak-anak juga yang ikut tertidur pulas di sana. Bagaimana jika aku dan keluargaku yang mengalami kesulitan seperti itu? Aku tidak bisa membayangkannya, tiba-tiba saja dadaku sesak memikirkannya.

Kondisi keuangan kami memang tengah sulit, tapi sebisa mungkin aku tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi. Anak dan istriku harus punya tempat berteduh dan perut yang kenyang, meski untuk semua itu harus kugadaikan tubuh dan jiwaku.

Setibanya di rumah, ternyata Nayla masih terjaga. Sayup dari luar kudengar dia tengah membaca lantunan ayat suci Al-Quran, begitu lembut sampai mampu membuatku merasa tenang.

TOK TOK TOK

"Assalamu'alaikum, Dek. Abang pulang."

Tidak butuh waktu lama, Nayla langsung membukakan pintu untukku. "Wa'alaikum Salam," jawabnya seraya meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim.

Dia tidak bertanya apapun, dengan gesit Nayla membantuku merapikan peti tempat menyimpan termos.

"Dek, ini ...."

"Nanti saja dulu, Bang. Ngopi dulu, ya. Abang pasti capek."

MasyaAllah, lihatlah itu. Dia lah Naylaku, Istri yang begitu pengertian. Dia segera pergi kembali ke dapur, namun kini untuk membuatkanku segelas kopi.

"Kopinya, Bang."

"Makasih, Dek."

Kuseruput kopi buatannya, terasa lebih manis karena melihat senyum yang terus mengembang dari bibirnya.

"Nay."

"Ya, Bang?"

"Maafkan Abang, malam ini cuma dapat segini."

kuserahkan uang hasil berjualan yang hasilnya tak lebih dari dua puluh ribu, meski sebenarnya malu tapi aku tidak ada pilihan lain.

Nayla menerimanya dengan senyum mengembang. "Alhamdulillah."

"Maaf hanya segitu, Nay. Semoga saja besok lebih banyak lagi."

"Amiin. Abang yang semangat ya, besar maupun kecil nafkah dari Abang begitu berarti. Terima kasih sudah mau berusaha."

Tiba-tiba saja air mataku mengembun, ini adalah nafkah pertamaku untuknya setelah hampir dua bulan menganggur, meski kecil tapi dia menerimanya dengan wajah sesenang itu. Abang janji akan terus berusaha, Nay.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku