Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Binar di Mata Arga

Binar di Mata Arga

Donat Cantik

5.0
Komentar
23
Penayangan
10
Bab

Dijodohkan dengan Binar, putri bos di tempatnya bekerja mestinya jadi sebuah keberuntungan. Namun, tidak bagi Arga yang sudah telanjur cinta mati kepada Melia, cinta pertamanya. Dia terus mengejar Melia, padahal terus ditolak. Masalah jadi makin pelik ketika pacar Binar akhirnya muncul. Tidak disangka, Melia pun ikut berbalik arah dan menerima cinta Arga. Berbagai kepentingan campur aduk menjadi satu. Semua orang punya tujuan masing-masing. Rahasia masa lalu orang tua mereka juga mulai terkuak. Benang merah takdir yang tidak mungkin diingkari. Meski tak kasat mata, bukan berarti jalinan itu tidak ada. Dia tetap mengikat, erat, kukuh, pagan mengunci.

Bab 1 Loving You

Aku tak tahu mana yang lebih melelahkan

kaki yang terus mengejar

atau hati yang terus berharap?

***

Arga Eka Putra, demikian Ayah memberiku nama. Kata "Putra" di belakang adalah nama beliau. Sosok tenang, penyabar, tetapi sangat tegas dalam memegang prinsip hidup. Setidaknya itu yang menjadi ciri khas dalam sifat dan karakter Ayah.

Awal SMA, aku jatuh cinta pada teman sekelas. Namanya Melia Irawati. Ayah tersenyum saat aku bercerita tentang dia. Masih teringat jelas pesannya kala itu.

"Kalau kamu sungguh-sungguh suka sama dia, perjuangkan. Diterima, alhamdulillah. Kalau ditolak, maju lagi. Ditolak itu biasa. Ayah dulu ditolak sama ibumu berkali-kali. Nggak kehitung. Buktinya, kena juga, kan? Wong lanang kuwi menang milih, wong wedok kuwi menang nolak, Ga," tutur Ayah saat itu.

Ayah menegaskan bahwa seorang pria memang punya kuasa untuk memilih, perempuan mana yang akan dia nyatakan cinta. Sedangkan wanita, mereka punya ranahnya sendiri untuk kuasa menolak lamaran yang tidak mereka suka. Sudah kodratnya demikian. Jadi, sebagai seorang pria, tak boleh takut ditolak dan tak boleh mudah menyerah.

Hal itu juga yang aku lakukan pada Melia. Aku mencoba kesampingkan rasa malu dan minder untuk mencoba mendekatinya. Beruntung, aku diberkahi otak cemerlang sehingga Melia sering meminta bantuanku untuk memahami beberapa pelajaran.

Dan itu adalah momen indah bagiku. Aku bisa duduk berdekatan, memandang paras ayu yang hanya beberapa jengkal dari wajahku, bahkan aku bisa mencium aroma rambutnya yang unik, berbeda dari teman-teman lainnya.

Aku memang bukan tipe lelaki romantis, juga bukan tipikal pemuda gaul. Secara penampilan, bukannya tidak tampan. Kata teman-temanku sih, cukup menarik. Hanya saja, aku tipikal cowok rapi dan standar, baik untuk pilihan baju maupun aksesoris. Nothing special, pokoknya.

Pertama kali menyatakan cinta kepada Melia, aku hanya berani lewat tulisan saja. Selembar kertas yang aku tulis dengan penuh kesederhanaan. Tak ada kata indah, romantis, apalagi puitis.

Melia, mau nggak jadi pacarku? Arga.

Lebih parahnya lagi, aku bahkan tak berani memberikan langsung kepadanya. Aku menyisipkan kertas itu di buku pelajaran Melia. Beberapa hari menunggu jawaban, sepertinya dia belum menemukan kertas itu. Sampai suatu malam, tiba-tiba dia mengirimiku pesan via whatsapp.

[Ngaca, Ga! Gak usah lagi lo deket-deketin gw!]

Pesan itu teramat singkat, tetapi cukup untuk membuat seisi kamarku seolah berguncang terkena gempa. Begini rasanya ditolak. Seperti ini rasanya patah hati. Aku mengalaminya sekarang.

Aku tak punya cukup keberanian untuk membalas pesan tersebut. Kubiarkan saja. Sengaja kuendapkan dalam sepi dan sedihku.

~

Hadirmu adalah sebuah kenyataan,

mengenalmu mungkin ketidaksengajaan

mencintaimu bukanlah keharusan

memilikimu hanyalah angan

Bukan salah Tuhan menciptamu

salah diriku memujamu

mata harusnya tertutup

seperti hati layak terkunci

~

Beberapa hari mataku sulit terpejam. Makan pun terasa tak enak. Semua jadi hambar. Kondisi seperti lagu dangdut, tetapi memang itu yang aku rasakan. Bukan salah Melia menolakku. Mungkin, aku yang terlalu tidak tahu diri.

Di kelas, aku tak berani mendekati Melia sedikit pun. Bahkan, untuk sekadar menyapa saja, aku tetap tidak berani. Sungguh, tidak nyaman berada di situasi seperti ini. Sudah lebih dari seminggu kami terjebak suasana tidak mengenakkan.

Tiba-tiba, aku teringat pesan Ayah untuk tidak mudah menyerah. Pagi itu aku memberanikan diri menyapa Melia lagi, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.

"Hai, Mel. Sudah kerjakan PR Biologi?" Aku bertanya dengan nada yang aku buat sebiasa mungkin, walau sedikit gemetar sebenarnya.

Melia hanya memandang sekilas, tanpa menjawab. Dia lalu beranjak dari kursi dan meninggalkan kelas.

Aku lega. Setidaknya, aku sudah bisa memulai percakapan. Semoga suasana bisa segera mencair lagi. Setiap hari, akan aku sempatkan untuk menyapa, walau mungkin tidak dia jawab seperti hari ini. Semangat!

Benar kata Ayah. Setelah tiga hari aku memberanikan diri untuk menyapa, Melia mulai memberikan respon. Secara perlahan, hubungan kami kembali seperti dulu lagi. Dia mulai menanyakan beberapa hal tentang pelajaran dan aku bisa mencium aroma rambut khas itu lagi saat duduk di sampingnya. Anugerah dari Tuhan!

Cintaku tak pernah berkurang, bahkan terus bertambah setiap hari. Penolakan Melia aku anggap sebagai bentuk ketidaksiapan dia untuk memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman saja denganku. Aku akan memberi dia waktu untuk bisa lebih mengenalku.

Hari ini Melia lebih cantik dari biasanya. Dia terlihat berbeda dengan cardigan rajut berwarna merah yang dia kenakan. Sering terbersit tanya dalam hatiku, kenapa gadis secantik ini belum punya pacar, ya? Padahal, yang naksir dia pasti banyak. Atau dia memang belum mau pacaran?

Dua bulan setelah ditolak, aku mencoba lagi menyatakan perasaanku. Kali ini aku ingin mengatakannya secara langsung. Jadi, bisa lebih meyakinkan dia.

"Mel, nonton bioskop yuk," ajakku pagi itu.

"Serius, lo ngajakin gue nonton?" tanya Melia, tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.

"Iya, serius. Kalau kamunya mau sih, Mel," jawabku ringan.

"Ya udah, tapi gue yang traktir, ya. Kan, lo udah banyak bantu gue soal pelajaran yang gue nggak ngerti. Jadi, itu syarat dari gue. Gimana?" Gadis itu mengacungkan jari kelingking.

Duh, masa cowok dibayarin sama cewek, sih. Lagian, aku kan mau nembak dia, kataku dalam hati. Namun, ya sudahlah. Daripada batal.

"Ya udah, deh. Tapi, beneran nggak papa? Aku yang ngajak, aku juga yang ditraktir," kataku sambil mengaitkan kelingking.

"Woles aja sih, Ga. Jam empat sore di Ambara Mall, ya," ucap gadis itu sambil tersenyum dan memberi kode dengan jarinya, menunjukkan angka empat.

"Ashiaaaaap!" jawabku penuh semangat. Akhirnya!

Hari ini pikiranku entah ke mana. Pelajaran yang diberikan oleh guru seolah hanya deretan kata tanpa makna, hanya barisan bunyi tanpa arti. Tak satu pun bisa aku mengerti. Aku tak sabar, menanti pukul empat sore nanti.

Pukul satu siang, bel sekolah berbunyi. Semua siswa bergegas meninggalkan ruang kelas. Beberapa orang buru-buru ke kantin karena sudah kelaparan. Ada yang tergesa-gesa karena jadwal les, sementara yang lain mungkin sepertiku, punya agenda nongkrong dan kegiatan santai lainnya.

Aku hanya ingin segera pulang dan beristirahat supaya nanti terlihat fresh saat berkencan dengan Melia. Kencan? Aku tersenyum sendiri memikirkan kata itu. Sebenarnya ini belum layak untuk disebut kencan karena status kami hanyalah teman.

"Sampai ketemu nanti ya, Mel." Aku sempatkan menghampiri Melia. Sebetulnya, untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa ini memang bukan mimpi.

"Oke." Gadis itu tersenyum dan segera berlalu bersama teman-temannya yang memandang penuh selidik ke arah kami, bergantian.

"Mo ngapain kalian? Kencan?" tanya Freya, sahabat Melia.

Mereka sudah menjauh dari tempatku berdiri. Jadi, aku tidak tahu lagi, apa yang mereka bicarakan selanjutnya.

***

"Assalamu 'alaikum," seruku setiba di rumah.

"Wa'alaikumsalam. Tumben, ceria banget, Ga?" tanya Ibu, penasaran.

"Ah, biasa saja kok, Bu. Arga makan ya, terus mau rebahan. Oh ya, Arga nanti mau pergi sama teman jam empat ya, Bu," kataku.

"Iya. Sama Melia?" tanya Ibu sambil menyodorkan piring dan segelas air putih untukku.

"Kok, Ibu bisa tahu?" Aku heran, Ibu bisa menebak dengan sangat tepat. Padahal, aku belum bercerita apa-apa.

"Tahu, dong. Kamu belum pernah seceria ini pulang sekolah. Teman mana yang bisa membuatmu semringah seperti ini kalau bukan Melia," jawab Ibu sambil tersenyum.

Ah, Ibu. Bisa saja ....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku