RAHASIA KELUARGA TERLARANG
ah Hamidah. Menyayangkan tindakan warganya yang di luar batas. Dan leb
tas kejahatan Waluyo. Sanira, istri adiknya itu meninggal setelah be
ga yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan lebat yang jarang dimasu
masih di kuburan? Rasanya sudah tidak masuk akal kalau Waluyo enggan meninggalkan pusara Sanira.
dia. Kondisi jiwanya pasti masih terpukul itu " Susi, istri Andro sambil m
n setapak menuju rumahnya yang terlihat suram.
cari dia sampai ketemu. Perasaanku tidak tenang sama sekali." Andro berdiri dan
um mau melihat anaknya. Aku khawatir kalau-kalau Wal
lam gendongannya. Dia juga ikut meras
rang, lihatlah, istri yang ia bangga-banggakan itu pergi untuk selamanya. Akh, kalau kuturutk
agi. Dia sudah tidak bersama kita. Sekarang, tugas kita membesarkan anak ini. Mungkin
u menciumi lembut
g dia masih bel
u Waluyo masih belum memberinya nama, biar kita
rang, aku ke kamar dulu, ya, Mas. Aku buatin
Susi. Dia kembali tenggelam dalam kesunyian
irnya siuman dari tidur yang terasa begitu panjang. Hal perta
segera menenangkannya. Hamidah tidak terkontrol, dia berusah
ronta-ronta sampai akhirnya salah satu dari perawat itu memanggil dokter. Tidak la
sejenak dari bumi ini. Alam bawah sadarnya terus
at ketakutan itu perlahan-lahan memud
gar cerita suaminya, rumahnya terbakar, dan dia melahirkan di rumah tersebut,
aku khawatir
nap
irup asap, dia bakalan berma
edek bayinya bisa selamat
Kita hanya b
prihatin. Memang, mereka akui, Hamidah sangatlah cantik
jang rumah sakit. Dia sudah sedikit tenang da
empuan itu merasa haru yang teramat sangat. Bayinya t
mendekatkan bayi mungil itu ke dadanya. Terdengar
sa meny
rawat tersebut lal
midah memejamkan mata, merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan.
hi bunga-bunga. Ter
bayi itu sudah dikembalikan ke ruang bayi, Hamidah kemb
ku tidak bisa menyelamatka
nemukan tengkorak ibunya yang terbakar? Atau dibiarkan saja
sekali cobaan yang Engkau berikan." Hamidah terisak-isak. Hatinya sangat gelisah. Ia juga
rang memegang bahunya. Hamidah
au
terse
ku. Kam
percaya, "apa kau yang telah
lai lembut kepala Hamidah yang
kau meno
aki itu seakan-akan hendak menyelami
aku menc
melotot. "Jangan bercanda! Aku sedang tidak ingi
amidah. Namun, Hamidah kembali melotot. Dia ben
long hargai aku dengan tidak memegang tubuhku!" Ham
amidah! Apa kau benar lupa dan
memindai pria di depannya itu. Be
rapa bulan yang lalu, kan? Yan
berat. Dia berjalan
ku akan pergi ke kampungmu. Memastikan ka
muruh begitu mende
gi. Selepas itu, kau akan
bantah, tapi Arif
cukup familiar, tapi kenapa
ng terasa teramat letih. Memejam
*
kesal ketika sampai di rumah Hamidah, puing-puing kebakaran masih teronggok seperti itu. Dan ya
mpahkan ke tubuh Waluyo yang
an lapuk di dalam hutan. Rumah yang sud
n pinang. Di sanalah Waluyo terikat. Sementara Arif mengh
a kau sud
uyo. Rasa sakit seketika menyergap. Teria
u mohon!" Waluyo merata
a mulai. Coba beritahu abang, mata kirimu
angis, mem
ni dulu? Waktu itu, mungkin kau tidak benar-benar sanggup karena masih tak
Teriakan Waluyo ditindihi oleh kekehan Arif yang terl
a. Jeritan demi jeritan, seakan b
ghentikan kegilaan Arif. Akan
mbung