TWIN FLAME
craves yo
mory of ano
kki
, Kaniza. Begitu ia mendapati Kaniza yang bekerja sebagai kasir di cafe baru tersebut, Kanya langsung memeluknya dan kembali ia menangis. Kaniza yang melihat s
p sahabatnya ragu, namun anggukan ramah Kaniza membuatnya merasa aman untuk menceritakan apa yang ia rasakan belakangan ini. Ia lalu membeberkan semua yang mengganjal di hatinya, dari Asad, dari pria yang ada dalam mimpinya, dari keinginannya untuk bertemu d
ara detail berdasarkan yang ia lihat dalam mipinya. " Dia tinggi besar, pokoknya gagah gitu deh perawakkannya. Kalau dia tersenyum ada lesung pipinya. Aku tuh bisa mera
an membenarkan semua yang sahabatnya kisahkan. "Aku percaya sama kamu, Nya. Percaya banget." Ia meyakinkan Kanya dan ucapan terima kasih keluar dari bibir mungil Kanya. "Makasih , ya."Kaniza tersenyum lalu menggenggam tangan Kanya. "jadi sekarang bagaimana? " Kanya mengedikkan bahunya. "Nggak tahu" hanya itu yang mampu Kanya sebutkan. Kaniza menghela nafas. "Asad,
ek ke pantai, ke taman, ke mall. Refreshing. Pokoknya happy happy aja. Buat diri kamu jadi manusia yang bebas dan bahagia." Kaniza menjelaskan panjang lebar tentang idenya. "Mana bisa, Z
, dulu kan yang mau sama Asad juga kamu sendiri. Pas aku bilang, yakin mau sama cowok prote
ena sekarang kamu punya perbandingan" Balas Kaniza. "Nggak gitu juga" Kanya masih tidak terima tentang asum
pingsan" satu suar
pandangan lalu seremp
berteriak memanggil kawan-kawannya. Keadaan cafe jadi hiruk
anlah ia ya Allah. Hamba senang hari ini karena ia memberikan tips besar. Bantulah ia y
bagai bau minyak angin
e." Pinta Kanya. "Terus kamu ngapain?" Kaniza menanyakan apa rencana Kanya. "Aku mau lihat keadaan si tamu dan mema
agar si Bapak bisa bernafas lega." Ia lalu menarik narik dan mendorong – dorong para pengunjung untuk menjauhi si tamu. Ketika ia tiba di hadapan tamu yang pin
ambut dan kulit kepala si tamu. Ada getar getar aneh yang merasukinya hingga terasa begitu dalam ke jiwanya. "Perasaan apa ini?" Kanya masih mencoba menganalisa apa yang terjadi pada dirinya. Semakin ia memijat kepala tamu itu, sem
t Kanya. Kaniza menatap aneh ke Knya. "Kok cepat amat? Biasanya minum coklat hangat dulu, makan roti bakar dan kentang goreng." Seloroh Kaniza, namun Kanya hanya tersenyum dengan terpaksa. "Perasaanku lagi
an di tandatangani, Mbak " tambahnya yang membuat Kaniza jadi bingung menghadapi situasi seperti itu. "Lah, kenapa nomorku?" protesnya. Namun, demi memikirkan keselamatan tamu cafenya, akhirnya ia mengangguk setuju . "Iya Pak, terserah Bapak aja. Pokoknya, Bapak yang pingsan ini segera ditangani dengan baik." Ia lalu membu