Saat Hati Tertusuk Duri Cinta
Aku menahan napas sambil menunggu di bawah selimut. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan Evan melangkah masuk dengan basah kuyup. Dia langsung menuju kamar mandi tanpa menatapku. Beberapa detik setelah itu, terdengar suara gemericik air.
Sekarang, aku benar-benar terjaga. Aku berdiri dan mengenakan daster untuk menutupi gaun tidur sutraku. Setelah itu, aku mengeluarkan piama Evan dan meletakkannya di lemari samping pintu kamar mandi. Kemudian, aku pergi ke balkon.
Saat ini sedang musim hujan dan hujan hari ini diawali oleh gerimis. Sekarang, suara hujan lebat yang menghantam jendela dan dinding yang tertutup bisa terdengar. Aku melihat sebatang pohon bergoyang, seakan sedang menari.
Tiba-tiba, aku mendengar suara di belakangku. Aku berbalik dan melihat Evan berjalan keluar dengan handuk di pinggangnya. Air menetes dari rambutnya ke tubuhnya. Dadanya yang bidang dan perutnya yang berotot tampak berkilau. Dia terlihat seperti dewa. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya.
Evan menyadari bahwa aku sedang menatapnya, lalu dia balas menatapku sambil merengut. "Sini!" Nada suaranya datar, tanpa emosi.
Aku berjalan mendekatinya dengan patuh. Dia melemparkan handuk kecil ke arahku dan memerintahkan dengan suara pelan, "Keringkan rambutku."
Di kamar mandi ada alat pengering rambut, tetapi Evan tidak suka menggunakannya. Dia selalu memintaku untuk mengeringkan rambutnya dan aku sudah terbiasa.
Dia duduk di atas tempat tidur. Aku segera naik ke tempat tidur, berlutut di belakangnya dan mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Besok pemakaman Kakek, jadi kita harus pergi ke rumah lama lebih awal." Aku tidak berniat untuk memulai percakapan dengannya. Namun, karena Evan hanya memikirkan Lia, aku khawatir dia akan melupakan pemakaman kakeknya jika aku tidak mengingatkannya.
"Baiklah." Dia mengangguk dan kembali terdiam.
Aku memahami petunjuk ini dan berhenti berbicara. Aku hanya melakukan apa yang diminta dan kemudian berbaring di tempat tidur, bersiap untuk terlelap.
Belakangan ini aku merasa sangat mengantuk. Aku menguap dan meringkuk di sisi tempat tidurku. Biasanya Evan akan tinggal di ruang kerjanya sampai tengah malam setelah mandi. Akan tetapi, entah kenapa, dia hanya mengganti piamanya dan berbaring di sampingku.
Saat aku mencoba memikirkan alasannya, tahu-tahu dia menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku dengan bergairah.
Aku terengah-engah dan menatapnya bingung. "Evan, aku ...."
"Apa? Apa kamu tidak bersedia?" tanyanya, sepasang matanya yang hitam pekat seperti malam, tampak dingin dan liar.
Aku mengalihkan pandanganku dengan tidak nyaman. Meskipun aku tidak ingin melakukan itu dengannya, aku tidak berhak untuk menolaknya.
"Apa kamu bisa agak lembut?" Bayi kami baru berusia enam minggu. Jika Evan kasar seperti terakhir kali, mungkin dia akan melukai bayi kami.
Evan mengerutkan kening tanpa mengatakan apa-apa.
Detik berikutnya, hujan turun semakin deras. Guntur sesekali melanda, disertai kilat yang menerangi seluruh ruangan. Erangan dan suara tubuh yang saling beradu dengan keras berlangsung cukup lama. Pikiranku begitu kacau balau. Sebelum aku sadar, Evan sudah bangun dan pergi ke kamar mandi, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Perut dan bagian pribadiku begitu sakit sehingga aku berkeringat dingin. Aku meraih laci samping tempat tidur untuk mengambil obat penghilang rasa sakit. Namun, aku teringat akan bayi di perutku dan langsung mengurungkan niatku untuk menelan obat.
Tiba-tiba, suara berdengung memecah kesunyian di kamar. Ponsel Evan bergetar di meja samping tempat tidur. Aku menatap jam di dinding dan melihat bahwa sudah pukul sebelas malam.
Tidak ada yang akan menelepon Evan selarut ini kecuali Lia.
Suara gemercik air di kamar mandi segera berhenti. Evan melangkah keluar dengan jubah mandinya, menyeka tangannya, lalu menjawab panggilan itu. Aku berusaha untuk mendengarkan apa yang dikatakan penelepon, tetapi tidak mendengar apa-apa.
"Lia, jangan bertingkah seperti anak kecil," ucap Evan sambil agak cemberut.
Detik berikutnya, dia menghela napas dalam-dalam dan menutup telepon. Dia mengenakan pakaiannya, lalu bersiap untuk pergi seperti yang kerap dia lakukan. Biasanya aku tidak peduli dengan aktivitasnya pada malam hari. Akan tetapi, hari ini ada sesuatu yang mendorongku untuk meraih tangannya dan memohon, "Jangan pergi, bisakah kamu tinggal di sini malam ini?"
Evan mengerutkan kening. Sedetik kemudian, sedikit rasa dingin dan ketidaksenangan muncul di wajahnya yang tampan. "Apa kamu mulai lancang hanya karena kita melakukannya barusan?"
Kata-katanya terdengar dingin dan menyindir.
Pertanyaan itu membuatku tercengang dan untuk sesaat, aku pun merasa lucu. Aku menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi dan berkata, "Besok adalah pemakaman Kakek. Kamu harus ingat bahwa kita harus berangkat lebih awal. Kalaupun kamu sangat mengkhawatirkannya, kamu tahu apa yang harus dilakukan."
"Apa ini ancaman?" Kedua mata Evan menyipit. Tiba-tiba, dia memegang daguku dan menatap mataku. Lalu, dia berkata dengan suara dingin, "Gina Hanavi, kamu menjadi semakin berani."