Saat Hati Tertusuk Duri Cinta
Koridor tidak luas dan ketika Chaisar bertemu denganku di sini, dia sedikit tertegun. Dia menggaruk bagian belakang kepalanya dan berkata dengan canggung, "Nona Gina, aku datang untuk memeriksa Lia."
Katanya, jika seorang wanita ingin mengetahui apakah seorang pria menganggapnya serius atau tidak, dia hanya perlu mengamati bagaimana sikap teman-temannya terhadapnya.
Chaisar adalah teman baik Evan. Dari caranya memandang dan berbicara padaku, aku tidak membutuhkan siapa pun untuk memberitahuku bahwa dia tidak menganggapku sebagai istri temannya. Dia tidak memanggilku Bu Gina atau Gina. Dia tetap memanggilku Nona Gina.
Panggilan itu memang sopan, tetapi menjaga jarak.
Yah, itu adalah hal yang paling tidak aku khawatirkan saat ini. Bukan salah Chaisar jika temannya tidak peduli padaku. Dengan senyum yang dipaksakan, aku memberi jalan untuknya dan berkata, "Oke, mereka sedang menunggumu."
Ini adalah salah satu saat ketika aku iri pada Lia. Dia hanya merajuk atau meneteskan air mata dan Evan akan segera menemuinya, mengajak teman-temannya atau siapa pun yang dapat membantu. Akan tetapi, tak ada satu hal pun yang kulakukan pernah berhasil menggugah kepedulian Evan.
Alih-alih tidur, ketika aku kembali ke kamar, aku mengeluarkan sepasang baju dan celana yang tidak pernah dikenakan Evan. Lalu, aku turun.
Chaisar adalah seorang dokter terkenal di dunia. Dalam waktu singkat, dia selesai mengukur suhu tubuh Lia dan meresepkan beberapa obat.
Di tengah tangga, dia melihatku yang sedang berdiri di ruang tamu. Dia tersenyum canggung dan berkata, "Ini sudah tengah malam. Nona Gina, apa kamu belum tidur?"
"Ya, aku akan tidur sebentar lagi." Aku mengulurkan pakaian padanya dan berkata, "Pakaianmu basah kuyup dan di luar masih hujan. Ganti baju dengan ini agar kamu tidak masuk angin."
Chaisar menganga lebar saat dia melihat pakaian itu. Tentu saja dia tidak mengira aku akan berbaik hati seperti ini padanya. Setelah beberapa detik, dia tersenyum dan menjawab dengan sopan, "Tidak, terima kasih. Aku jarang jatuh sakit. Tidak masalah jika aku masih mengenakan pakaian ini sampai aku kembali ke rumah."
Aku tidak menerima alasannya, lalu aku meletakkan pakaian di tangannya dan memaksa. "Evan belum pernah mengenakannya. Ukuran kalian berdua hampir sama. Aku sudah membawakannya, jadi kenakan saja."
Kemudian, aku naik dan kembali ke kamar tidurku.
Sikap baikku itu tidak berasal dari dalam hatiku. Chaisar adalah seorang ahli bedah terkenal, yang hanya mengoperasi mereka yang mampu membayar jasanya. Jika bukan karena Keluarga Korinus, dia tidak akan setuju untuk melakukan operasi pada nenekku. Aku merasa berutang budi padanya sejak saat itu. Sekarang, aku melihat pakaian kering itu sebagai balasan atas bantuannya.
Sisa malam berjalan dengan lancar.
Matahari pagi terbit lebih awal dan bersinar terang, seolah-olah tidak ada hujan lebat semalam. Aroma tanah yang lembap meresap ke udara segar.
Aku bangun pagi seperti biasanya. Ketika aku turun setelah mandi, aku mendengar suara berisik dari dapur.
Aku berjingkat ke pintu dapur dan mendapati Lia sedang berdiri di dekat Evan, yang mengenakan celemek hitam. Evan sedang membuat telur orak-arik dengan sangat terampil. Sepertinya dia adalah orang yang sama sekali berbeda. Dia bukanlah raja es yang kukenal, melainkan suami yang begitu lembut.
Lia terus memandangnya, seolah ingin melahapnya sebagai sarapan, alih-alih telur yang dibuatnya. Sepertinya, dia sudah pulih dengan baik. Pipinya sedikit merah dan wajah mungilnya tampak cerah, membuatnya terlihat lebih menarik.
"Evan, aku ingin telur orak-arik yang garing." Lia mengambil stroberi, memasukkannya ke mulut Evan dan melanjutkan, "Tapi, jangan sampai gosong, nanti rasanya pahit."
Evan tersenyum sambil mengunyah stroberi. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, matanya tampak bersinar dengan penuh kasih.
Mereka adalah pasangan yang sempurna!
Pemandangan seperti ini dan interaksi hangat serta romantis di antara keduanya cukup manis.
"Mereka benar-benar pasangan yang cocok, bukan?" Tiba-tiba, dari belakangku terdengar suara seorang pria. Aku tertegun. Ketika aku berbalik, aku melihat bahwa itu adalah Chaisar. Baru sekarang aku sadar bahwa Evan tidak bisa membiarkan teman dokternya itu pergi tadi malam saat Lia demam tinggi.
"Selamat pagi," sapaku sambil tersenyum dan menatapnya. Dia mengenakan pakaian yang kuberikan tadi malam.
Menyadari tatapanku, dia mengangkat alisnya dan membalas, "Pakaian ini pas, terima kasih."
"Sama-sama," jawabku sambil menggelengkan kepala. Sepasang pakaian ini adalah beberapa dari sekian banyak pakaian yang kubeli untuk Evan. Akan tetapi, dia tidak pernah menyentuhnya, apalagi mengenakannya.
Begitu Lia mendengar suara kami, dia berbalik dan berkata, "Selamat pagi, Gina dan Chaisar. Kuharap kalian tidur nyenyak tadi malam. Omong-omong, Evan membuat telur orak-arik. Ayo sarapan bersama kami!"
Dia terdengar seperti nyonya rumah.
"Tidak perlu. Di kulkas ada roti dan susu yang kubeli kemarin. Aku makan itu saja. Omong-omong, kamu harus minum susu. Itu akan membantumu pulih dengan cepat," ucapku sambil menekan amarah yang muncul di dalam diriku.
Jika aku harus menerima undangan wanita simpanan di rumah yang aku tinggali selama dua tahun, langkahi dulu mayatku! Aku menikah secara resmi dengan Evan. Namaku dan dia tertulis di sertifikat rumah ini.
Meskipun aku patuh pada Evan dan tidak ingin menyinggung perasaannya, aku tidak bisa diam saja dan membiarkan Lia bertingkah seenak hati di rumah ini.