Saat Hati Tertusuk Duri Cinta
Meski aku tahu bahwa Evan adalah pria yang keras kepala, aku tetap harus mencobanya. Sebuah ide muncul di benakku. Aku memandangnya dan berkata, "Aku setuju untuk bercerai, tapi ada satu syarat. Kamu harus tinggal di sini malam ini dan menemaniku ke pemakaman besok. Aku akan menandatangani surat cerai begitu pemakaman selesai."
Kedua mata Evan yang gelap menyipit dan senyum mengejek muncul di sana. Dia menjawab, "Kalau begitu, puaskan aku."
Dia melepas cengkeramannya di daguku dan berbisik di telingaku, "Gina, jika kamu menginginkan sesuatu, kamu harus berusaha untuk mendapatkannya."
Suaranya yang jernih dipenuhi dengan hasrat dan begitu nakal. Sudah jelas apa yang dia minta. Tanpa berkedip, aku memeluknya dan mengangkat kepalaku untuk menatapnya. Dia jauh lebih tinggi dariku.
Aku tahu sungguh menyedihkan untuk menggunakan cara ini agar pria yang kucintai ini tinggal bersamaku.
Saat aku hendak menyelipkan tanganku ke balik bajunya, dia segera menghentikanku. Aku mendongak dan terkejut melihat gelora nafsu yang berkobar di matanya. Aku mendengar dia berkata, "Cukup."
Aku tidak tahu apa maksudnya. Aku menatapnya dengan bingung, sementara dia menanggalkan pakaian dan mengenakan piama abu-abunya.
Butuh beberapa detik bagiku untuk memahami tindakannya barusan. Dia tidak pergi!
Aku tersenyum lebar, tetapi kebahagiaanku hanya berumur pendek. Tiba-tiba, terdengar suara seorang wanita dari luar jendela. "Evan ...."
Untuk kesekian kalinya dalam beberapa menit terakhir, aku tertegun. Evan pergi ke balkon dan melihat ke bawah. Dalam sekejap, dia kembali masuk, lalu mengambil mantelnya dan meninggalkan kamar tanpa melirikku.
Aku penasaran sehingga aku melangkah ke balkon. Aku melihat Lia yang mengenakan gaun tipis sedang berdiri di tengah hujan. Tubuhnya menggigil, membuatnya terlihat sangat lemah dan menyedihkan.
Evan mendadak muncul. Dia menyampirkan mantelnya di pundak wanita itu. Dia hendak memarahi Lia, tetapi wanita itu sudah memeluknya dan mulai menangis seperti anak kecil. Evan hanya menepuk-nepuk punggungnya dengan penuh kasih.
Melihat adegan ini, aku tiba-tiba paham kenapa aku menemani Evan selama dua tahun, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan satu panggilan telepon dari Lia.
Evan menggendong Lia ke dalam rumah. Aku berdiri di tangga dan memelototi dua kekasih yang basah kuyup itu sambil menghalangi jalan mereka.
"Minggir!" raung Evan sambil menatapku dengan kesal.
Apa aku sedih karena dia membawa wanita lain tanpa memedulikanku? Mungkin ....
Pemandangan itu lebih menyakitkan mataku daripada hatiku. Lagi pula, wanita mana yang akan senang melihat suaminya yang dingin memperlakukan simpanannya seperti seorang ratu?
"Evan, aku tahu kamu tidak menghormatiku, tapi apa kamu akan mengingkari janjimu? Jangan lupa kamu telah berjanji pada Kakek bahwa kamu tidak akan pernah mengajak wanita lain ke sini selama aku masih tinggal di rumah ini."
Ini merupakan hinaan besar karena Evan ingin membawa Lia ke dalam rumah. Ini adalah satu-satunya tempat di mana aku tidak harus bersaing dengan wanita itu. Aku membiarkan Lia memiliki Evan untuk malam yang tak terhitung jumlahnya. Beraninya dia muncul di sini dan membuat Evan mengingkari janjinya?
"Hmph!" Evan tiba-tiba mencibir. Dia mendorongku menjauh dan berkata, "Gina, kamu pikir kamu siapa!"
Kata-kata itu seakan menancapkan seribu pisau ke dalam hatiku yang rapuh. Aku berdiri di sana seperti anak kucing yang ditinggalkan sementara Evan mengantar Lia ke kamar tamu.
Malam ini ternyata begitu sial.
Lia selalu sakit-sakitan. Dia basah kuyup karena hujan, jadi tidak butuh waktu lama sebelum dia masuk angin dan demam tinggi.
Evan benar-benar khawatir. Dia membantu Lia berganti pakaiannya dan juga mengeringkan rambutnya saat aku memperhatikan mereka setelah menyelinap masuk ke kamar tidur tamu.
Mungkin dia merasa tidak nyaman atau jijik dengan kehadiranku. Setelah menyelimuti kekasihnya di tempat tidur, dia menatapku dengan dingin dan berkata, "Kamu bisa pergi ke rumah lama dan tinggal di sana malam ini. Lia sedang demam dan malam semakin larut. Aku tidak bisa mengantarnya pulang."
Betapa kurang ajarnya pria ini! Dia tahu sekarang sudah larut malam, tetapi dia menyuruhku pergi ke rumah lama. Sebenci itukah dia padaku? Haha!
Ini memang salahku. Seharusnya aku tidak datang ke sini.
Aku hanya menatap punggung Evan untuk beberapa lama, sementara aku merenung bagaimana aku harus mengingatkannya seberapa jauh rumah lama itu dari sini dan betapa berbahayanya bagi seorang wanita untuk keluar selarut ini.
Evan sepertinya lupa bahwa aku masih berdiri di sana. Dia menyentuh pipi merah Lia saat dia menatapnya dengan mata khawatir dan penuh kasih.
Jelas saja dia tidak peduli dengan keselamatanku. Akan tetapi, aku berhasil berkata dengan tenang, "Aku akan tinggal di kamarku. Aku tidak bisa pergi ke rumah lama sekarang."
Aku tidak akan pernah membahayakan diriku hanya karena dia ingin sendirian dan mengurus Lia.
Aku memaki mereka berdua di dalam benakku, lalu aku meninggalkan kamar tamu. Di koridor, aku melihat Chaisar Bramuda bergegas mendekat. Dia mengenakan piama hitam dan sepasang sandal jepit. Tampaknya dia baru bangun dan datang dengan terburu-buru.