Saat Hati Tertusuk Duri Cinta
Wajah mungil Lia tertegun begitu aku mengucapkan kata-kata itu. Kilatan ketidaksenangan melintas di matanya. Dia cemberut dan menoleh untuk melihat Evan. Sambil menarik ujung baju pria itu, dia berkata dengan suara sedih, "Seharusnya aku tidak menerobos masuk ke rumah ini begitu larut tadi malam. Kurasa aku sudah mengganggumu dan Gina. Apa kamu bisa membujuknya untuk sarapan bersama kita? Aku ingin menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf padanya."
Mataku membelalak karena kaget. Untuk keseribu kalinya, aku menyadari bahwa Lia adalah wanita yang beruntung. Dia adalah salah satu wanita yang bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan dalam sekejap mata hanya dengan bertingkah menyedihkan atau genit.
Evan, yang mengabaikanku sejak aku datang ke sini, tiba-tiba menatapku dan berkata, "Ayo sarapan bersama."
Nada bicaranya kasar dan memerintah. Itu sangat menyakitkan, tetapi aku sudah terbiasa dengan rasa sakit ini.
"Oke, terima kasih," jawabku sambil memaksakan senyum.
Terlepas dari segalanya, aku tidak bisa menolak Evan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama ketika bertemu dengannya. Mungkin aku tidak akan pernah bisa melupakannya selama sisa hidupku.
Jika dipikir-pikir, aku lumayan beruntung hari ini. Ini adalah pertama kalinya aku menikmati sarapan yang dibuat oleh Evan. Itu hanya sarapan sederhana berupa roti panggang, telur orak-arik dan kopi. Akan tetapi, itu sangat berarti bagiku. Aku tidak pernah menganggap Evan sebagai seseorang yang melibatkan diri di dapur. Di mataku, dia adalah pria yang diberkati dan seharusnya melakukan hal-hal luar biasa, seperti menguasai dunia. Butuh kehadiran Lia untuk membuatku sadar bahwa suamiku selama dua tahun ini sebenarnya bisa memasak. Ironis sekali!
"Gina, kamu harus mencoba telur yang dibuat Evan. Rasanya enak sekali. Dia selalu membuatnya untukku setiap kali kami bersama," ucap Lia sambil meletakkan telur tersebut di piringku.
Kemudian, dia menyajikannya untuk Evan dan berkata dengan senyum manis, "Evan, kamu sudah janji akan menemaniku melihat bunga hari ini. Jangan mengingkari janjimu, ya?"
"Oke," jawab Evan sambil menggigit roti panggangnya. Dia adalah pria yang tidak banyak bicara, tetapi dia tidak pernah gagal menanggapi Lia setiap kali wanita itu berbicara dengannya.
Chaisar sepertinya tidak terkejut dengan tingkah kedua orang ini. Dia hanya melahap sarapannya dan menonton drama ini.
Aku menurunkan pandanganku dan alisku pun berkerut. Evan dan aku sudah punya rencana. Jika dia tidak ikut denganku ke rumah lama Keluarga Korinus untuk pemakaman almarhum kakeknya, apa yang akan dikatakan anggota keluarganya?
Sulit untuk menelan makanan ini, meskipun rasanya enak. Ketika aku melihat Evan menghabiskan makanannya dan pergi ke lantai atas untuk berpakaian, aku segera meletakkan garpuku dan mengikutinya.
Kami memasuki kamar tidur satu demi satu.
"Ada urusan?" tanya Evan sambil membelakangiku.
Saat dia melepas bajunya, aku melihat punggungnya yang telanjang dan begitu gagah. Langsung saja aku berbalik membelakanginya. "Apa kamu lupa bahwa hari ini adalah pemakaman kakekmu?"
Detik berikutnya, aku mendengar suara ritsleting diikuti oleh suara gemeresik pakaian. Akhirnya, dia menjawab, "Kamu bisa menggantikanku."
"Beliau adalah kakekmu!" keluhku sambil mengerutkan alis. Sangat penting bagi Evan untuk datang. Bagaimanapun, dia adalah cucu Landra. Bagaimana mungkin dia melewatkan pemakaman kakeknya ketika semua kerabat lainnya ada di sana?
"Aku sudah menyuruh Parto untuk mengurus semuanya tentang pemakaman itu. Kamu bisa berbicara dengannya dan dia akan memberitahumu," balas Evan seolah-olah bukan kakeknya yang dimakamkan.
Tepat ketika dia hendak berjalan menuju ruang kerjanya, aku bertanya dengan suara sedih dan melengking, "Evan, apa hanya Lia yang penting di hidupmu? Apa berkumpul bersama keluargamu selama masa berkabung ini tidak penting dibandingkan wanita itu?"
Evan berhenti berjalan. Dia menoleh ke arahku dan menatapku dengan sepasang mata hitamnya yang sedikit menyipit. "Sejak kapan kamu berhak berbicara tentang urusan yang terkait dengan Keluarga Korinus?"
Setelah menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia menambahkan dengan ekspresi jijik, "Kamu tidak pantas!"
Aku bergidik sesaat, seolah-olah baskom berisi air dingin tiba-tiba dituangkan ke tubuhku. Sedetik kemudian, aku tertawa mengejek diri sendiri saat menatap sosok Evan yang semakin menjauh.
Apa dia baru saja mengatakan aku tidak pantas untuk berbicara tentang keluarganya? Haha! Lucu sekali! Selama dua tahun penuh aku telah bekerja keras untuk melembutkan hati Evan, tetapi ternyata hatinya lebih keras dari yang kuduga.
"Dulu aku mengira kamu hanya bermuka tebal. Sejujurnya, aku terkejut karena kamu juga sangat suka ikut campur." Tiba-tiba, suara tawa terdengar dari samping.
Mengikuti arah suara itu, aku berbalik dan melihat Lia yang sedang bersandar di kusen pintu dengan tangan terlipat. Ekspresi polos dan menggemaskan yang biasa tampak di wajahnya sudah tidak terlihat. Sekarang, yang tersisa hanyalah raut wajahnya yang dingin dan suram.