/0/16821/coverorgin.jpg?v=12a7363d56d48ac65197b270d1e45d7e&imageMogr2/format/webp)
Fajar di Dataran Tinggi Nareth tidak membawa harapan. Ia membawa asap.
Gunung-gunung terbakar tanpa suara di kejauhan, kobaran api abadi yang tak seorang pun coba padamkan. Itu adalah penghormatan kepada Api Besar, kata mereka. Tak seorang pun tahu kapan itu dimulai. Tak seorang pun ingat masa tanpa asap.
Asha berlutut di samping ranjang ibunya, yang desahannya serapuh abu yang dibawa angin melalui gubuk. Wajah wanita itu, yang layu karena demam dan usia, masih cantik bagi Asha, bukan karena apa yang ditunjukkannya, tetapi karena apa yang diingatnya: tawa yang kuat, tangan yang tahu cara menyembuhkan, suara yang bercerita di dekat api.
"Kau tidak harus melakukannya," bisik ibunya. Bibirnya nyaris tak bergerak.
"Ya, Ibu. Aku harus melakukannya." Asha memegang tangannya, menggigil dan lembap. Ia telah mengompresnya sepanjang malam, tetapi panasnya tidak kunjung reda. Bukan karena ramuan herbal. Bukan karena doa. Tidak ada yang cukup. "Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kami. Untuk menyelamatkanmu." Ibunya ingin menangis, tetapi dia tidak meneteskan air mata. Hanya abu di tenggorokannya, seperti semua orang di Nareth.
Di luar, terompet ritual mulai dibunyikan.
Asha menggigil.
"Mereka datang," gumam ibunya. Dia memejamkan mata. Matahari hampir tidak muncul di atas puncak-puncak gunung, tetapi asap mewarnainya dengan warna merah darah.
Dia berdiri dengan tangan yang teguh. Dia bukan anak-anak. Tetapi dia juga belum sempat menjadi wanita. Kemiskinan di Dataran Tinggi melahap tahun-tahun seperti bara api melahap kayu-kayu tua.
Dia mengambil jubah cokelat milik para penyembah. Itu tidak cantik. Itu tidak dimaksudkan untuk menjadi seperti itu. Jubah dimaksudkan untuk menutupi tubuh, menghapus bentuk, dan menghapus identitas. Api Besar tidak mengambil individu. Itu mengambil abu manusia.
Ibunya membuka matanya dengan susah payah. Dia mengangkat tangan kurusnya, dan di dalamnya dia memegang kepang rambut. Tua. Cokelat. Ditenun dengan kawat tembaga.
"Pita gadismu," katanya. Suaranya lebih seperti asap daripada suara.
Asha mengambilnya. Dia mengikatkannya di lehernya. Merasakan luka bakar yang tak terlihat. Beban yang tak terukur.
"Jangan lupa siapa dirimu. Bahkan jika mereka mengambil namamu."
Asha tidak menjawab. Dia mencium dahi yang panas itu dan pergi. Tidak ada waktu untuk menangis.
Di alun-alun, penduduk desa sudah berkumpul. Seratus orang muda, semuanya berusia tepat, semuanya diam. Anak-anak kelaparan, asap, ketakutan.
Setiap tahun, Kekaisaran mengirim salah satu Penjaganya untuk memilih upeti. Seorang pemuda. Atau seorang wanita muda. Tidak seorang pun tahu mengapa mereka diambil. Beberapa mengatakan mereka diubah menjadi pelayan api. Yang lain, bahwa mereka dibakar hidup-hidup sebagai persembahan untuk menyalakan api suci yang membuat dunia terus berputar. Asha tidak mempercayai semua cerita itu. Dia hanya percaya pada satu kebenaran: siapa pun yang pergi, tidak akan pernah kembali.
Dan jika dia mempersembahkan, keluarganya menerima roti. Rempah-rempah. Arang. Obat-obatan. Selama setahun penuh.
Itu bukan pengorbanan. Itu adalah sebuah tawaran.
Terompet berhenti berbunyi. Sebuah kolom api melintasi langit seperti luka yang menyala-nyala. Dan dari langit turunlah sosok Sang Penjaga.
Dia tinggi, mengesankan, mengenakan jubah hitam berhias tembaga. Wajahnya ditutupi oleh topeng obsidian. Tidak ada mulut. Tidak ada mata. Tidak ada jiwa.
Dia berjalan tanpa berbicara. Para tetua desa membungkuk hingga mereka menyentuh tanah. Sang Penjaga berhenti di hadapan pemuda itu. Udara menjadi pekat. Suhu meningkat seolah-olah matahari tiba-tiba terbenam.
Satu per satu, dia menatap mereka. Atau begitulah kelihatannya. Meskipun tidak seorang pun tahu apa yang ada di balik topeng itu. Beberapa orang mengatakan bahwa para Penjaga itu bukan lagi manusia. Bahwa mereka telah dikonsumsi oleh kenangan akan api.
Ketika dia mencapai tengah barisan, Asha melangkah maju.
"Aku menawarkan diriku," katanya. Suaranya membelah udara seperti pisau. Suaranya tidak bergetar. Dia tidak ragu-ragu.
Sang Penjaga berhenti. Perlahan, dia mengangkat tangan dan menunjuk ke arahnya. Orang-orang itu mengembuskan napas bersamaan. Bergumam. Hening. Desahan.
/0/25390/coverorgin.jpg?v=4bc0514c04923053f16a991ff8cd7cd2&imageMogr2/format/webp)
/0/16090/coverorgin.jpg?v=74b9387fb8c57892d679de5c35374ace&imageMogr2/format/webp)
/0/6454/coverorgin.jpg?v=f214c22b5ea6341bf14b594f0482615b&imageMogr2/format/webp)
/0/14152/coverorgin.jpg?v=efdc21e45b5252f06d5cabf6bc2cffcf&imageMogr2/format/webp)
/0/17906/coverorgin.jpg?v=f85d1f9f960abba4700b41ac71c64601&imageMogr2/format/webp)
/0/12243/coverorgin.jpg?v=faf79a956ba42c47b23c877c308739e7&imageMogr2/format/webp)
/0/28646/coverorgin.jpg?v=26cd7df2b7b3c2006171a25b098ba4c8&imageMogr2/format/webp)
/0/29096/coverorgin.jpg?v=1de7e8449717e3b573f48b3fa22475c7&imageMogr2/format/webp)
/0/8954/coverorgin.jpg?v=01563f5e95e67a006cad0986e0903e43&imageMogr2/format/webp)
/0/9999/coverorgin.jpg?v=a0e9c1c980d7a85f8bf71726e2aafcb8&imageMogr2/format/webp)
/0/29142/coverorgin.jpg?v=b38885164abdd30fd131766a0b284955&imageMogr2/format/webp)