Bersama Kita Bangkit Dari Abu

Bersama Kita Bangkit Dari Abu

Gavin

5.0
Komentar
338
Penayangan
10
Bab

Aku dan kakakku terdampar di jalanan sepi. Kandunganku sudah delapan bulan, dan ban mobil kami kempes. Tiba-tiba, sepasang lampu truk menyorot tajam, menyilaukan mata kami. Truk itu tidak berusaha menghindar. Truk itu sengaja mengincar kami. Tabrakan itu adalah simfoni kehancuran. Saat rasa sakit yang mengerikan merobek perutku yang hamil, aku menelepon suamiku, Kian. Suaraku tercekat oleh darah dan ketakutan. "Kian... kecelakaan... bayinya... ada yang salah dengan bayinya." Tapi aku tidak mendengar kepanikan. Yang kudengar hanyalah suara saudari tirinya, Florence, yang merengek di latar belakang karena sakit kepala. Lalu terdengar suara Kian, sedingin es. "Jangan drama. Kamu mungkin cuma menyerempet trotoar. Florence lebih membutuhkanku." Dia menutup telepon. Dia memilih Florence daripada aku, daripada kakak iparnya, bahkan daripada calon anaknya sendiri. Aku terbangun di rumah sakit dengan dua kenyataan pahit. Kakakku, seorang pianis terkenal di dunia, tidak akan pernah bisa bermain piano lagi. Dan putra kami, bayi yang kukandung selama delapan bulan, telah tiada. Mereka pikir kami hanyalah korban sampingan dalam kehidupan sempurna mereka. Mereka akan segera tahu, kami adalah pembalasan mereka.

Bab 1

Aku dan kakakku terdampar di jalanan sepi. Kandunganku sudah delapan bulan, dan ban mobil kami kempes. Tiba-tiba, sepasang lampu truk menyorot tajam, menyilaukan mata kami.

Truk itu tidak berusaha menghindar. Truk itu sengaja mengincar kami.

Tabrakan itu adalah simfoni kehancuran. Saat rasa sakit yang mengerikan merobek perutku yang hamil, aku menelepon suamiku, Kian. Suaraku tercekat oleh darah dan ketakutan.

"Kian... kecelakaan... bayinya... ada yang salah dengan bayinya."

Tapi aku tidak mendengar kepanikan. Yang kudengar hanyalah suara saudari tirinya, Florence, yang merengek di latar belakang karena sakit kepala.

Lalu terdengar suara Kian, sedingin es.

"Jangan drama. Kamu mungkin cuma menyerempet trotoar. Florence lebih membutuhkanku."

Dia menutup telepon. Dia memilih Florence daripada aku, daripada kakak iparnya, bahkan daripada calon anaknya sendiri.

Aku terbangun di rumah sakit dengan dua kenyataan pahit. Kakakku, seorang pianis terkenal di dunia, tidak akan pernah bisa bermain piano lagi. Dan putra kami, bayi yang kukandung selama delapan bulan, telah tiada.

Mereka pikir kami hanyalah korban sampingan dalam kehidupan sempurna mereka.

Mereka akan segera tahu, kami adalah pembalasan mereka.

Bab 1

Gloria Wijaya POV:

Panggilan pertamaku ke suamiku masuk ke pesan suara. Panggilan kedua juga sama. Pada panggilan ketiga, saat lampu depan itu membesar menjadi matahari yang menyilaukan dan menjepit kami di pinggir jalanan sepi, aku akhirnya mengerti.

Pernikahanku adalah sebuah kebohongan.

Baru beberapa jam yang lalu, Chintya dan aku adalah pusat perhatian di halaman majalah sosialita Jakarta. Wijaya bersaudari, objek iri setiap wanita yang memimpikan akhir cerita dongeng. Kami menikahi si kembar Adhitama, Kian dan Cakra, pewaris kerajaan bisnis yang bisa membeli negara kecil. Hidup kami seharusnya sudah terjamin, terkurung dalam sangkar emas yang nyaman dan penuh puja-puji.

Malam ini, lapisan emas itu terkelupas, menampakkan besi murah yang berkarat.

"Mereka tidak berhenti, Glo," bisik Chintya, suaranya tegang karena ketakutan yang sama denganku. Tangannya, tangan berbakat yang diasuransikan miliaran rupiah dan bisa membuat piano menangis, mencengkeram setir mobil kami yang mogok.

Aku menggenggam ponselku, ibu jariku melayang di atas nama Kian. Gelombang mual yang tajam dan asam naik ke tenggorokanku, sama sekali tidak berhubungan dengan kehamilan delapan bulan yang membuat gerakanku canggung. Bayi di dalam diriku, sebuah denyut kehidupan kecil yang gigih, menendang rusukku seolah merasakan kepanikanku.

Angkat, Kian. Kumohon, angkat saja.

Ikatan batin di antara kami, yang dulu merupakan arus getaran pikiran dan emosi yang sama, kini hening. Dulu tidak seperti ini. Pada awalnya, pikirannya adalah buku yang terbuka untukku, penuh dengan kepastian dan cinta posesif yang ganas, yang kusalahartikan sebagai pengabdian. Tapi belakangan ini, terutama sejak saudari tirinya, Florence, kembali, hubungan itu mulai renggang, lalu sunyi, dan sekarang... tidak ada apa-apa. Rasanya seperti berteriak di ruangan kosong.

Truk itu menambah kecepatan. Tidak membanting setir untuk menghindari kami. Truk itu mengincar kami.

Napas ku tercekat. "Coba hubungi Cakra lagi," desakku pada Chintya, suaraku nyaris tak terdengar.

Dia menggelengkan kepala, buku-buku jarinya memutih. "Sudah. Dia bilang hal yang sama seperti Kian. Mereka sedang sibuk."

Sibuk. Kata itu terasa seperti tamparan. Sibuk menenangkan Florence karena dia baru saja bertengkar kecil dengan mantan pacarnya. Suara Kian dari panggilan singkatnya yang terakhir, yang penuh kejengkelan, bergema di telingaku. "Ya Tuhan, Gloria, apa kamu tidak bisa mengurus ban kempes? Florence sedang serangan panik. Kebutuhannya yang utama sekarang."

Kebutuhannya. Kuku patah adalah tragedi bagi Florence. Jadwal belanja yang batal adalah krisis. Dan suamiku, serta suami kakakku, memperlakukan drama sepele Florence seolah-olah itu masalah keamanan negara, sementara istri-istri mereka yang sedang hamil terdampar di jalan raya yang gelap dan terlupakan.

Lampu depan itu kini tak terhindarkan, deru mesinnya memekakkan telinga dan bergetar melalui lantai mobil kami. Tidak ada waktu untuk keluar, tidak ada waktu untuk melakukan apa pun selain bersiap menghadapi apa yang tak terelakkan. Chintya meneriakkan namaku, suara tajam dan ketakutan yang ditelan oleh derit ban dan dentuman dahsyat dari logam yang remuk.

Kepalaku membentur kaca samping. Rasa sakit yang panas dan menyilaukan meledak di belakang mataku. Dunia miring, berputar, dan kemudian segalanya hanyalah simfoni kehancuran-pecahan kaca, erangan baja yang bengkok, dan desahanku sendiri saat sebuah kekuatan dahsyat melemparku ke sabuk pengaman. Tali itu menusuk perutku yang membuncit dengan kejam.

Rasa sakit baru yang mengerikan merobek tubuhku, rendah dan dalam. Kram yang begitu hebat hingga merenggut napasku.

"Bayinya," aku tercekik, tanganku terbang ke perutku. Perutku sekeras batu. "Chyn... bayinya."

Tapi Chintya tidak menjawab. Dia terkulai di atas setir, diam tak wajar. Noda gelap menyebar di lengan bajunya, dan tangannya yang indah dan berbakat terpelintir pada sudut yang membuat perutku mual.

Truk itu, setelah menyelesaikan tugasnya, melesat pergi ke dalam kegelapan tanpa menoleh sedikit pun.

Kami sendirian. Berdarah. Hancur.

Dan keheningan dari ujung ikatan batin suamiku lebih keras daripada suara kecelakaan itu sendiri.

Aku meraba-raba mencari ponselku, jari-jariku licin oleh sesuatu yang hangat. Layarnya retak, tapi masih menyala. Aku menekan nomor Kian lagi, berdoa kepada Tuhan yang tak lagi kuyakini.

Berdering sekali. Dua kali.

Lalu, suaranya. Bukan khawatir. Jengkel. "Gloria, sudah kubilang aku sedang bersama Florence. Apa yang begitu penting sampai kamu terus menelepon?"

Isak tangis keluar dari tenggorokanku, serak dan putus asa. "Kian... kecelakaan... kami ditabrak... Chintya terluka, kurasa dia pingsan. Dan bayinya... ada yang salah dengan bayinya."

Ada jeda. Sepersekian detik, bagian diriku yang bodoh dan naif berharap mendengar kepanikan, mendengarnya meneriakkan perintah, merasakan gelombang kekhawatirannya melalui ikatan kami.

Sebaliknya, aku mendengar suara Florence di latar belakang, rengekan menyedihkan dan manipulatif. "Kian, kepalaku sakit sekali. Rasanya aku mau muntah."

Nada suara Kian langsung melembut, gumaman lembut yang hanya ditujukan untuknya. "Tidak apa-apa, Flo. Aku di sini. Tarik napas saja." Dia kembali bicara padaku, suaranya sedingin es. "Dengar, jangan drama. Kamu mungkin cuma menyerempet trotoar. Panggil saja mobil derek. Aku tidak bisa meninggalkan Florence sekarang. Dia membutuhkanku."

"Drama?" Kata itu begitu absurd, begitu kejam, rasanya seperti pukulan lain. "Kian, mobilnya hancur! Aku berdarah! Tolong, kamu harus bantu kami!"

"Kamu ini selalu saja egois, ya? Florence itu rapuh. Tidak sepertimu. Urus saja sendiri. Dan jangan telepon lagi kecuali dunia benar-benar kiamat."

Sambungan telepon terputus.

Dia menutup telepon.

Dia memilih Florence. Daripada aku. Daripada kakak iparnya. Daripada calon anaknya sendiri.

Kenyataan itu menyelimutiku, dingin dan seberat kain kafan. Ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah pengabaian yang disengaja. Kami bukan prioritasnya. Kami bahkan tidak ada dalam daftarnya.

Gelombang penderitaan, lebih tajam dari rasa sakit fisik mana pun, menghantamku. Aku menatap Chintya, yang begitu diam dan sunyi, lalu ke perutku yang kaku di mana denyut panik itu telah berhenti. Cairan basah yang mengerikan membasahi gaunku. Merah. Begitu banyak darah.

Anak yang kukandung selama delapan bulan, anak yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku, sedang menjauh dariku. Dan ayahnya tidak peduli.

Air mata mengalir di wajahku, panas dan sia-sia. Aku mencoba meraih Chintya, melakukan sesuatu, apa saja, tapi tubuhku terasa seperti dipenuhi timah. Kesadaranku mulai memudar di tepian, kegelapan memanggil.

Pada saat itu, terbaring di reruntuhan mobilku, kakakku, dan hidupku, aku bersumpah. Jika aku selamat dari ini, Kian Adhitama akan membayarnya. Mereka semua akan membayarnya.

Pikiran sadar terakhirku bukanlah tentang suamiku, tetapi tentang anak yang akan hilang dariku. Putra kecilku. Jeritan tanpa suara menggema di reruntuhan hatiku. Dunia akhirnya menjadi hitam.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya
Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

xuanhuan

5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Romantis

5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Miliarder

5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku