Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Hari ini merupakan hari yang sibuk untuk gadis berusia dua puluh empat tahun. Dia sedang menyiapkan segala keperluan untuk berkunjung ke rumah Kakek dan Neneknya di desa Cisande, Kabupaten Sukabumi untuk menghadiri acara pinangan saudara sepupunya, Marini Naisha. Tangan gadis itu dengan cekatan memasukkan pakaian yang hendak dipakai pada acara spesial sepupunya itu. Setelah memastikan semua barang yang diperlukan masuk ke koper biru muda, ziya-sapaan akrab gadis dengan bibir merah muda itu pun bersiap tidur. Kebiasaan Ziya sebelum tidur adalah berwudu terlebih dahulu.
Dia tak sabar ingin berjumpa dengan Kakek dan Neneknya serta Marini karena sudah tiga tahun keluarga Ziya tak mengunjungi kampung halaman.
"Ziya!" panggil wanita berusia dua kali lipat dari Ziya yang tak lain adalah wanita yang telah melahirkan Ziya.
Ziya yang sudah menutupi setengah tubuhnya dengan selimut bermotif doraemon pun kembali terbangun. Dia dengan segera membuka pintu kamar dengan mata yang menahan kantuk. Sang Ibu merasa bersalah karena telah mengganggu waktu istirahat putrinya, tetapi wanita yang hanya mengenakan daster motif floral itu tak punya pilihan lain karena ada hal penting yang harus disampaikan kepada putri tunggalnya itu.
"Ada apa, Bu?" tanya Ziya dengan tangan yang mengusap air mata akibat kantuk yang menyerang.
"Maaf kalau Ibu mengganggumu, tetapi ibu ingin menyampaikan kalau besok kamu berangkat duluan, ya."
Ziya menautkan kedua alis mendengar perkataan wanita di depannya. Dia menatap penuh tanya. Perkataan sang Ibu membuatnya bingung karena rencana awal mereka akan pergi bersama ke desa Cisande yang merupakan tempat kelahiran sang Ibu. Namun, saat ini dia mendegar langsung jika sang Ibu memerintahkan dirinya pergi lebih dulu dan yang lebih membingungkan adalah sang Ibu memberi tahu perihal ini saat ini juga, sehingga Ziya merasa ada hal penting yang perlu diketahui.
"Besok mendadak Ayah ada urusan penting, sehingga baru bisa berangkat lusa. tidak papa, ya, kamu berangkat duluan? Sampaikan pada Kakek dan Nenek kalau kami menyusul." Naditya menjelaskan.
"Masalah apa, Bu? Sampai menyampaikannya malam ini juga." Ziya tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Karena besok pagi Ayah dan Ibu harus berangkat untuk mengurus urusan itu, sehingga menurut Ibu disampaikan sekarang lebih baik. Ibu harap kamu mengerti." Naditya mengusap pundak putrinya lembut. Kemudian, dia meninggalkan Ziya dengan tanda tanya besar di kepalanya.
Setelah kepergian Naditya, Ziya kembali menutup pintu. Kemudian, kembali ke pembaringan dengan mata yang menerawang langit-langit kamar berwarna putih. Ada banyak pertanyaan di kepala gadis itu mengenai perkataan sang Ibu, tetapi raganya sudah minta istirahat, sehingga dia menunda rasa penasarannya itu. Lalu memilih memjamkan mata.
Suara azan Subuh membangunkan Ziya dari tidur nyenyak. Dia segera menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Kemudianan, berjalan pelan keluar kamar menuju kamar kecil untuk berwudu. Wajahnya terlihat lebih segar setelah air menyentuh permukaan kulit wajah. Dia menyelesaikan wudu, lalu melaksanakan salah satu kewajiban wanita muslim di pagi hari.
Ziya membentangkan sajadah bermotif Masjid Aya Sofia. Dia penyuka sesuatu yang berhubungan dengan negara dua benua itu. Salah satu mimpinya adalah dapat berkunjung ke kota yang banyak sejarah islam di sana. Gadis ceria penyuka sejarah itu senang mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Baginya sejarah adalah napas kehidupan karena mengetahui asal-usul setiap peristiwa dapat menjadi pembelajaran sendiri agar tidak mengalami kejadian yang tidak menyenangkan yang pernah dialami orang-orang terdahulu.
Selesai melaksanakan kewajibannya, Ziya segera bersiap untuk pergi ke kampung halaman di Kabupaten Sukabumi. Dia tidak ingin terjebak macet di perjalanan, sehingga berinisiatif untuk berangkat lebih pagi dengan menggunakan bus jadwal terpagi. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal wanita berpakaian tunik biru muda dengan celana kulot putih itu pun menarik kopernya. Sebelum mengunci kamar, dia memastikan jilbab pashmina birunya tidak berantakan dengan bercermin menggunkan kamera depan ponsel.
"Hai, Sayang. Sudah siap?" tanya Nataprawirya yang merupakan ayah gadis itu.
"Sudah, Yah," jawab Ziya sambil duduk di depan ayahnya yang terhalang meja makan.
"Sayang, maafkan ayah dan ibu tidak bisa pergi bersama. Kamu enggak papa kan pergi duluan?" Nataprawirya memastikan putri tunggalnya akan baik-baik saja meskipun berangkat sendiri.
"Ayah, aku ini sudah terbiasa pergi sendiri, jadi enggak perlu khawatir." Ziya tersenyum manis ke Ayahnya.
Kemudian, Ziya mengambil sepotong roti yang sudah disiapkan ibunya. Dia memakan dengan lahap roti selai cokelat kesukannya. Naditya mendekat ke putrinya. Dia senang karena Ziya tidak bertanya lebih lanjut masalah apa yang sedang dihadapi ayahnya. Naditya memberi kode dengan mengangguk ke suaminya. Nataprawirya yang mengerti arti anggukkan istrinya pun segera bangkit dari duduk, lalu memeluk putrinya dari samping.
"Ayah dan Ibu berangkat dulu, ya. Besok kami menyusul. Jaga dirimu baik-baik." Nataprawirya juga mengecup kening sang putri.
"Ibu sudah menyiapkan nasi goreng sosis kesukaanmu untuk bekal di jalan. Dimakan, ya, Sayang. Kami berangkat." Naditya memeluk putrinya.
"Hati-hati, Yah, Bu. Kabari aku kalau urusan kalian udah selesai." Tak lupa Ziya mencium tangan kedua orang tuanya.
Tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya, Ziya menyimpan banyak tanya di kepalanya. Namun, dia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir, sehingga dia berpura-pura untuk tidak mempermasalahkan hal yang disembunyikan kedua orang tuanya. Ziya berusaha untuk berpikir yang baik-baik dengan mendoakan urusan kedua orang tuanya diberikan kelancaran. Hanya itu yang dapat dilakukan Ziya saat ini.
Setelah selesai dengan sarapanya, Ziya memesan taksi online untuk membawanya menuju terminal Pulogadung. Dia juga sudah mengabari sepupunya kalau dirinya akan berangkat untuk memenuhi undangan itu.
Perjalanan dari Jakarta menuju rumah Kakek dan Neneknya menggunakan bus memakan waktu kurang lebih dua jam tiga puluh menit. Menurut Ziya itu bukan perjalanan yang lama karena dirinya terbiasa melakukan perjalanan menapaki jejak sejarah. Ziya tidak sabar ingin berjumpa dengan kakek dan nenek serta Marini. Dia juga penasaran dengan calon suami Marini. Siapa sosok laki-laki yang berhasil membuat gadis yang digandrungi oleh laki-laki sedesa itu jatuh cinta. Ziya tak sabar mendengar langsung dari mulut Marini.