Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Bukan Pernikahan Impian

Bukan Pernikahan Impian

Permata S

5.0
Komentar
541
Penayangan
22
Bab

Kisah sepasang anak manusia yang harus menjalin hubungan pernikahan tanpa rasa cinta karena sebuah tragedi yang tidak disengaja. Zaura Mazna Maziya, gadis manis yang ceria harus bertemu dengan Ezar Shafar Dhiaurrahman, seorang pria yang gila kerja dan sangat tegas serta keras kepala. Bagaimanakah kisah pernikahan mereka? Mampukah cinta hadir di antara keduanya? atau perpisahan menjadi jalan terakhir? Ikuti terus kisah mereka!

Bab 1 Rahasia yang Disembunyikan Ayah dan Ibu

Hari ini merupakan hari yang sibuk untuk gadis berusia dua puluh empat tahun. Dia sedang menyiapkan segala keperluan untuk berkunjung ke rumah Kakek dan Neneknya di desa Cisande, Kabupaten Sukabumi untuk menghadiri acara pinangan saudara sepupunya, Marini Naisha. Tangan gadis itu dengan cekatan memasukkan pakaian yang hendak dipakai pada acara spesial sepupunya itu. Setelah memastikan semua barang yang diperlukan masuk ke koper biru muda, ziya-sapaan akrab gadis dengan bibir merah muda itu pun bersiap tidur. Kebiasaan Ziya sebelum tidur adalah berwudu terlebih dahulu.

Dia tak sabar ingin berjumpa dengan Kakek dan Neneknya serta Marini karena sudah tiga tahun keluarga Ziya tak mengunjungi kampung halaman.

"Ziya!" panggil wanita berusia dua kali lipat dari Ziya yang tak lain adalah wanita yang telah melahirkan Ziya.

Ziya yang sudah menutupi setengah tubuhnya dengan selimut bermotif doraemon pun kembali terbangun. Dia dengan segera membuka pintu kamar dengan mata yang menahan kantuk. Sang Ibu merasa bersalah karena telah mengganggu waktu istirahat putrinya, tetapi wanita yang hanya mengenakan daster motif floral itu tak punya pilihan lain karena ada hal penting yang harus disampaikan kepada putri tunggalnya itu.

"Ada apa, Bu?" tanya Ziya dengan tangan yang mengusap air mata akibat kantuk yang menyerang.

"Maaf kalau Ibu mengganggumu, tetapi ibu ingin menyampaikan kalau besok kamu berangkat duluan, ya."

Ziya menautkan kedua alis mendengar perkataan wanita di depannya. Dia menatap penuh tanya. Perkataan sang Ibu membuatnya bingung karena rencana awal mereka akan pergi bersama ke desa Cisande yang merupakan tempat kelahiran sang Ibu. Namun, saat ini dia mendegar langsung jika sang Ibu memerintahkan dirinya pergi lebih dulu dan yang lebih membingungkan adalah sang Ibu memberi tahu perihal ini saat ini juga, sehingga Ziya merasa ada hal penting yang perlu diketahui.

"Besok mendadak Ayah ada urusan penting, sehingga baru bisa berangkat lusa. tidak papa, ya, kamu berangkat duluan? Sampaikan pada Kakek dan Nenek kalau kami menyusul." Naditya menjelaskan.

"Masalah apa, Bu? Sampai menyampaikannya malam ini juga." Ziya tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Karena besok pagi Ayah dan Ibu harus berangkat untuk mengurus urusan itu, sehingga menurut Ibu disampaikan sekarang lebih baik. Ibu harap kamu mengerti." Naditya mengusap pundak putrinya lembut. Kemudian, dia meninggalkan Ziya dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Setelah kepergian Naditya, Ziya kembali menutup pintu. Kemudian, kembali ke pembaringan dengan mata yang menerawang langit-langit kamar berwarna putih. Ada banyak pertanyaan di kepala gadis itu mengenai perkataan sang Ibu, tetapi raganya sudah minta istirahat, sehingga dia menunda rasa penasarannya itu. Lalu memilih memjamkan mata.

Suara azan Subuh membangunkan Ziya dari tidur nyenyak. Dia segera menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Kemudianan, berjalan pelan keluar kamar menuju kamar kecil untuk berwudu. Wajahnya terlihat lebih segar setelah air menyentuh permukaan kulit wajah. Dia menyelesaikan wudu, lalu melaksanakan salah satu kewajiban wanita muslim di pagi hari.

Ziya membentangkan sajadah bermotif Masjid Aya Sofia. Dia penyuka sesuatu yang berhubungan dengan negara dua benua itu. Salah satu mimpinya adalah dapat berkunjung ke kota yang banyak sejarah islam di sana. Gadis ceria penyuka sejarah itu senang mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Baginya sejarah adalah napas kehidupan karena mengetahui asal-usul setiap peristiwa dapat menjadi pembelajaran sendiri agar tidak mengalami kejadian yang tidak menyenangkan yang pernah dialami orang-orang terdahulu.

Selesai melaksanakan kewajibannya, Ziya segera bersiap untuk pergi ke kampung halaman di Kabupaten Sukabumi. Dia tidak ingin terjebak macet di perjalanan, sehingga berinisiatif untuk berangkat lebih pagi dengan menggunakan bus jadwal terpagi. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal wanita berpakaian tunik biru muda dengan celana kulot putih itu pun menarik kopernya. Sebelum mengunci kamar, dia memastikan jilbab pashmina birunya tidak berantakan dengan bercermin menggunkan kamera depan ponsel.

"Hai, Sayang. Sudah siap?" tanya Nataprawirya yang merupakan ayah gadis itu.

"Sudah, Yah," jawab Ziya sambil duduk di depan ayahnya yang terhalang meja makan.

"Sayang, maafkan ayah dan ibu tidak bisa pergi bersama. Kamu enggak papa kan pergi duluan?" Nataprawirya memastikan putri tunggalnya akan baik-baik saja meskipun berangkat sendiri.

"Ayah, aku ini sudah terbiasa pergi sendiri, jadi enggak perlu khawatir." Ziya tersenyum manis ke Ayahnya.

Kemudian, Ziya mengambil sepotong roti yang sudah disiapkan ibunya. Dia memakan dengan lahap roti selai cokelat kesukannya. Naditya mendekat ke putrinya. Dia senang karena Ziya tidak bertanya lebih lanjut masalah apa yang sedang dihadapi ayahnya. Naditya memberi kode dengan mengangguk ke suaminya. Nataprawirya yang mengerti arti anggukkan istrinya pun segera bangkit dari duduk, lalu memeluk putrinya dari samping.

"Ayah dan Ibu berangkat dulu, ya. Besok kami menyusul. Jaga dirimu baik-baik." Nataprawirya juga mengecup kening sang putri.

"Ibu sudah menyiapkan nasi goreng sosis kesukaanmu untuk bekal di jalan. Dimakan, ya, Sayang. Kami berangkat." Naditya memeluk putrinya.

"Hati-hati, Yah, Bu. Kabari aku kalau urusan kalian udah selesai." Tak lupa Ziya mencium tangan kedua orang tuanya.

Tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya, Ziya menyimpan banyak tanya di kepalanya. Namun, dia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir, sehingga dia berpura-pura untuk tidak mempermasalahkan hal yang disembunyikan kedua orang tuanya. Ziya berusaha untuk berpikir yang baik-baik dengan mendoakan urusan kedua orang tuanya diberikan kelancaran. Hanya itu yang dapat dilakukan Ziya saat ini.

Setelah selesai dengan sarapanya, Ziya memesan taksi online untuk membawanya menuju terminal Pulogadung. Dia juga sudah mengabari sepupunya kalau dirinya akan berangkat untuk memenuhi undangan itu.

Perjalanan dari Jakarta menuju rumah Kakek dan Neneknya menggunakan bus memakan waktu kurang lebih dua jam tiga puluh menit. Menurut Ziya itu bukan perjalanan yang lama karena dirinya terbiasa melakukan perjalanan menapaki jejak sejarah. Ziya tidak sabar ingin berjumpa dengan kakek dan nenek serta Marini. Dia juga penasaran dengan calon suami Marini. Siapa sosok laki-laki yang berhasil membuat gadis yang digandrungi oleh laki-laki sedesa itu jatuh cinta. Ziya tak sabar mendengar langsung dari mulut Marini.

Ziya sangat menikmati perjalanan ini meskipun dirinya juga tidak memungkiri rindu dengan wajah-wajah polos anak-anak didiknya di PAUD Ceria. Namun,Ziya juga butuh relaksasi untuk mengisi energi kembali agar nanti ketika berjumpa dengan wajah-wajah polos itu dirinya bisa kembali bergembira.

"Assalamualaikum, Dek," sapa Ziya di telepon.

"Waalaikumsalam, Teh. Teh Ziya sudah di jalan?" tanya suara di seberang sana.

"Alhamdulillah sudah. Mungkin satu jam lagi sampai terminal Sukabumi." Ziya menjawab sambil memandang ke luar jendela menikmati pemandangan hijau di sisi jalan.

"Punten, Teh. Marini enggak bisa jemput di terminal, kumaha atuh?" Suara marini terdengar tidak enak hati karena sebelumnya sudah berjanji untuk menjemput.

"Enggak papa, Dek. Teteh bisa ke sana sendiri, enggak usah khawatir. Kamu fokus aja dengan acara lamaranmu." Ziya menanggapi dengan santai. Dia sudah terbiasa melakukan perjalanan sendiri lagipula dirinya masih ingat jalan menuju rumah Kakek dan Neneknya.

"Teteh kabari, ya, kalau sudah sampai terminal. Teteh hati-hati."

"Iya, kamu enggak usah mikirin teteh. Teteh baik-baik aja." Ziya berusaha menenagkan adik sepupunya itu.

Tak lama kemudian bus yang ditumpangi Ziya sudah sampai terminal Sukabumi. Ziya dengan segera turun. Kemudian, dia mencari angkutan untuk membawanya ke desa Cisande. Kedatangan Ziya ke Sukabumi disambut dengan gerimis yang perlahan menjadi hujan deras disertai angin yang cukup kencang. Ziya berlari mencari tempat untuk berteduh, celana kulot putihnya mulai terkena percikan air bercampur degan tanah, sehingga menimbulkan warna kecokelatan. Dia tidak memperdulikan itu.

Ziya melihat ponselnya untuk megabari Marini. Namun, sinyal tidak ada. Dia pun mengetik pesan melalui aplikasi berwarna hijau, berharap ketika sinyal kembali pesan itu terkirim. Dia menunggu hujan reda, tetapi langit masih terus menumpahkan kesedihannya. Sudah satu jam Ziya menunggu, tetapi hujan masih setia membasahi bumi. Ziya pun nekat untuk menerjang hujan. Dia menghampiri seorang pria paruh baya yang sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi.

"Permisi, Pak. Apakah ada ojek di sekitar sini?"

"Saya ojek, Neng. Neng mau ke mana? masih deras hujannya." tanya pria itu sambil mempersilakan Ziya duduk di sampingnya.

"Saya mau ke desa Cisande, Pak. Bapak bisa antar?" Ziya berharap pria seusia ayahnya itu mau membantunya.

"Hujan, Neng. Jalannya licin."

"Saya bayar dua kali lipat, Pak. Bantu saya, ya." Ziya tak bisa menunggu lebih lama lagi, dia khawatir kakek dan neneknya akan khawatir jika dia tak juga sampai.

Pria seusia ayahnya itu berpikir sejenak. Kemudian, mengangguk. Sebelum berangkat dia menghambiskan kopi yang tersisa setengah itu. Ziya mengucap syukur dalam hati. Dia pun tersenyum senang. Jarak dari terminal menuju desa Cisande tidak terlalu jauh, sehinga dia optimis sebelum ashar dirinya sudah sampai.

Tukang ojek itu mengendarai motor dengan hati-hati karena jalanan yang licin. ketika sampai menuju pintu masuk desa jalanan semakin licin dengan terlihat orang-orang yang putar balik. Ziya bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga pengendara motor memilih putar balik.

"Jembatannya putus, Mang." Suara pengendara lain memberi tahu.

Motor yang ditumpangi Ziya pun berhenti. Ziya pun mengerti, dia tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan ojek. Ziya memilih turun. Kemudian, membayar jasa ojek sesuai kesepakatan.

"Hatur nuhun, ya, Pak."

"Neng, enggak mau kembali ke terminal aja? Masih hujan, Neng. Jalannya licin."

"Enggak papa, Pak. Ini sudah dekat saya bisa jalan kaki sembari mencari jalan lain siapa tahu ada." Ziya tetap pada keputusannya.

"Kalau begitu hati-hati, ya, Neng." Ojek itu pun pergi meninggalkan Ziya dengan pakaian yang sudah basah.

Ziya menarik kopernya sambil bertanya kepada warga sekitar yang berada di dekat jembatan untuk bertanya jalan yang bisa dilalui. Dia mendapat informasi ada jalan lain, tetapi memutar, sehingga lebih jauh dan hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Ziya pun senang mendengar informasi itu. Setelah mengucapkan terima kasih, dia melanjutkan perjalanan sesuai arahan warga tersebut. Dia menelusuri jalan yang licin karena air hujan sambil menahan dingin karena kehujanan. Beruntung tubuhnya kuat karena sering melakukan perjalanan yang tidak mudah. Sesekali Ziya mengangkat kopernya karena roda tidak mau berputar akibat terlalu banyak tanah yang menempel.

Jalan yang licin dan tubuh yang lelah membuat Ziya kehilangan keseimbangan tubuh, sehingga dirinya terpeleset. Kemudian, terjatuh dengan terguling karena jalanan menurun. Kakinya terkilir. Dia berusaha bangkit meskipun badan terutama kakinya terasa sakit. Koper yang dipegangnya pun ikut terjatuh. Beruntung kopernya kuat, sehingga tidak rusak. Namun, penampilan Ziya sangat kacau karena pakaiannya kotor akibat dirinya terguling.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku