/0/25602/coverorgin.jpg?v=f78608e96138309796e790df68c40154&imageMogr2/format/webp)
"Tolong bujuk Nazharina untuk pulang sekarang juga. Kami akan memakamkan ibunya pagi ini," ucapnya pilu.
Alicia menoleh ke belakang, tepat di mana siswi yang dimaksud sedang mencoret-coret kertas ujian sambil merebahkan kepala di atas meja.
"Ibunya meninggal?" tanyanya memastikan. Antara terkejut dan ikut berduka.
"Iya, kecelakaan tadi pagi saat pergi ke pasar untuk bekerja menjual sayuran," jawab pria itu.
"Nazharina pasti akan sangat terkejut mendengar berita ini."
"Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini," jawab pria itu dengan yakin.
Alicia terkejut. "Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!" suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan.
"Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian."
Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu.
"Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang."
Sang guru masuk. Mengambil tempat duduk di samping Nazharina. Wajah gadis itu tampak murung, namun tak terlihat air mata atau bahkan jejaknya sekalipun.
Nazharina masih asyik mencoret kertas ujiannya. Seolah-olah ia melakukan itu tanpa sadar.
"Nazh, kau boleh pulang sekarang. Ibumu... mereka... sedang menunggu," Alicia berkata dengan hati-hati.
"Aku tak mau pulang. Setidaknya sampai aku selesai mengerjakan soal ujianku," jawab Nazharina. Masih dengan kepala yang merebah dan tangan mencoret-coret kertas ujian yang sudah tak berbentuk lagi.
Sang guru tahu, bahwa Nazharina sekarang hanya sedang mencoba untuk tak menangis. Gadis itu terlihat kuat dan biasa saja di luar, namun sudah pasti sangat hancur di dalam.
"Tak apa. Kau bisa mengerjakannya besok. Ada keringanan yang diberikan untuk kejadian tak terduga seperti ini," bujuk Alicia.
Nazharina menegakkan punggung. Menatap wajah cantik di hadapannya. Kali ini, netranya mulai berkaca.
"Miss Alicia, bolehkah aku tetap di sini? Tolong jangan paksa aku pulang ke rumah," pintanya memelas.
Hati Alicia berdenyut sakit. Tak tahu apa yang menjadi penyebab Nazharina memilih untuk tetap bertahan di sekolah, alih-alih pulang untuk mengantarkan sang ibu ke tempat peristirahatan terakhir.
"Kenapa? Bisakah kau memberitahuku alasannya?" tanya Alicia.
Nazharina menunduk dalam, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang nyaris tak tertangkap telinga.
"Miss Alicia, ayahku meninggal setahun yang lalu karena sakit. Aku tak punya saudara maupun kerabat. Jadi satu-satunya yang kupunya dalam hidup ini hanyalah ibuku. Tadi pagi, dia pun meninggalkan aku. Tanpa firasat, tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal. Bisakah kau bayangkan, betapa sepinya rumah itu saat nanti aku pulang? Ibuku sudah tak ada lagi. Dia yang biasa menemaniku, kini tak lagi bisa kulihat raganya dan kudengar suaranya. Karena itu, biarkan aku di sini. Aku tak bisa membiarkan rasa sepi membunuh jiwaku secara perlahan."
Kali ini, Alicia tak mampu lagi membendung tangis. Bisa ia bayangkan nestapa yang diderita Nazharina.
Gadis kecil yang malang.
Setelah itu, secara serentak teman-teman sekelas Nazharina berdiri dan berkeliling memeluknya. Membuat gadis berusia 12 tahun itu merobohkan benteng pertahanannya.
Nazharina akhirnya menangis.
Seorang siswa lelaki merekam momen dramatis itu dengan ponsel dan menyebarkan lewat sosial media.
Kejadian itu viral.
Terdengar ke seantero kota bahkan seluruh negeri. Menarik perhatian seorang wanita yang begitu mendambakan anak perempuan.
"Malang sekali nasib anak ini," ucap Erina lirih, menoleh ke arah sang suami yang duduk di sampingnya. "Bisakah kita mengadopsinya untuk menjadi teman bagi Arian?"
Marco menghela napas, menatap istrinya yang begitu menginginkan seorang anak perempuan. "Kamu yakin, Sayang? Mengadopsi anak itu bukan perkara mudah. Dia baru saja kehilangan ibunya. Akan ada banyak hal yang perlu kita pertimbangkan."
"Aku yakin." Erina menggenggam tangan Marco. "Aku selalu ingin memiliki anak perempuan. Lagipula, Arian sendirian. Dia butuh seseorang untuk menemaninya."
Setelah melewati proses hukum yang panjang dan pertimbangan matang, akhirnya Nazharina resmi menjadi bagian dari keluarga mereka.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah barunya, Nazharina merasa takjub. Rumah ini jauh lebih besar dari yang pernah ia tempati. Tapi lebih dari itu, ia merasa sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya-kehangatan sebuah keluarga.
Erina memeluknya erat, berjanji bahwa gadis itu tak akan pernah sendirian lagi.
/0/24096/coverorgin.jpg?v=ba15898cb0498805e5afccf052638d91&imageMogr2/format/webp)
/0/6658/coverorgin.jpg?v=6ddf3846795b2e35b6aade1bd2089ce0&imageMogr2/format/webp)
/0/13043/coverorgin.jpg?v=25bacbaed5650a2e06f7fffe595456e2&imageMogr2/format/webp)
/0/16511/coverorgin.jpg?v=d4dc22f9d688777e77ddddb634b06488&imageMogr2/format/webp)
/0/13264/coverorgin.jpg?v=32f2718a46ee325ec1580f1b3bea8ed2&imageMogr2/format/webp)
/0/22021/coverorgin.jpg?v=40ba8dce77cf7c4da1bd8af23dfd3d9b&imageMogr2/format/webp)
/0/24164/coverorgin.jpg?v=f18854cb8acdbf11b515a3051a3c2689&imageMogr2/format/webp)
/0/13496/coverorgin.jpg?v=66269e7169f3ab8feb7a9dde95b22a7f&imageMogr2/format/webp)
/0/6189/coverorgin.jpg?v=46c24237008e0bad4c76e60f2d5dffb6&imageMogr2/format/webp)
/0/21447/coverorgin.jpg?v=2bae48a320ec295bdd25136279d814da&imageMogr2/format/webp)
/0/17406/coverorgin.jpg?v=ecdbd3b33f2e6747d9b6e81e9516ae3a&imageMogr2/format/webp)
/0/15870/coverorgin.jpg?v=a317703c002318a241814809524d7686&imageMogr2/format/webp)
/0/20199/coverorgin.jpg?v=e0c0b20a45916a73035c20ed8e50f00b&imageMogr2/format/webp)
/0/16546/coverorgin.jpg?v=4f27093d09fa5e7d187b392e532878a9&imageMogr2/format/webp)
/0/5461/coverorgin.jpg?v=3ac303780a237094524cb6ff4f1c3c17&imageMogr2/format/webp)
/0/20420/coverorgin.jpg?v=f3f8e9d646b8c8f4ed851d99feb9418c&imageMogr2/format/webp)
/0/15094/coverorgin.jpg?v=e47e40b3c69070a2e7c84429b1b2df6d&imageMogr2/format/webp)
/0/9153/coverorgin.jpg?v=d739cadec9e6d9f609887335587c2f88&imageMogr2/format/webp)
/0/12939/coverorgin.jpg?v=6c174984c8ef1145cdac2fdce22ee108&imageMogr2/format/webp)