Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Lila duduk di sofa ruang tamunya, menyandarkan punggungnya pada bantal empuk. Di tangannya, secangkir teh yang sudah dingin. Ia menatap kosong layar televisi yang menayangkan berita, tetapi pikirannya melayang jauh, jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Suasana di rumah terasa sepi, bahkan lebih sepi dibandingkan dengan suara dentingan jarum jam yang terus berdetak.
Suaminya, Adrian, belum pulang. Sejak beberapa bulan terakhir, Adrian terjebak dalam rutinitas kerjanya yang padat, seolah dunia di luar kantor tidak pernah ada. Lila merasa seolah ia tinggal di sebuah apartemen dengan satu orang penghuninya, sementara Adrian lebih memilih bekerja lembur dan menghadiri pertemuan-pertemuan yang membuat mereka semakin jauh.
"Kenapa semua ini terasa begitu dingin?" Lila bergumam pada dirinya sendiri.
Lila mengeluarkan ponselnya dari saku. Beberapa pesan singkat dari teman-temannya mengingatkannya akan momen-momen bahagia yang pernah ia nikmati. Ia membuka salah satu pesan dari sahabatnya, Maya.
Maya: Lila, kita sudah lama tidak hangout! Ayo, kita jalan-jalan besok!
Lila tersenyum sejenak, tetapi senyumnya segera pudar saat mengingat betapa sulitnya ia meminta waktu dari Adrian. Tidak ada jawaban dari ponselnya yang terasa kosong. Lila meletakkan ponsel itu kembali ke meja dan menatap jendela. Malam sudah datang, dan langit gelap memeluk kota.
Tak lama kemudian, suara kunci yang diputar di pintu menarik perhatian Lila. Adrian masuk dengan penampilan yang lelah. Kemeja putihnya sudah kusut, dan dasinya terlepas, menggambarkan betapa lelahnya ia setelah seharian bekerja.
"Hey, sayang," Adrian menyapa, suaranya terdengar datar. Ia tidak menyadari raut wajah Lila yang tidak bahagia.
"Selamat malam, Adrian," jawab Lila pelan, berusaha menyembunyikan rasa kesepian di dalam hatinya.
Adrian melangkah masuk dan meletakkan tasnya di meja. "Maaf, aku terlambat. Ada banyak hal yang harus diselesaikan," ujarnya sambil melepas jasnya.
"Seperti biasa," Lila mengangguk, suara hatinya penuh dengan kesedihan. "Kau tahu, aku merasa kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama."
Adrian menatapnya sejenak, lalu melanjutkan langkahnya ke dapur. "Ya, aku tahu. Tapi ini penting untuk pekerjaan. Kita butuh uang, Lila."
Kata-kata Adrian menyakiti hati Lila. "Tapi, bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan pernikahan kita?"
Adrian menghela napas, tampak frustrasi. "Aku sudah berusaha, Lila. Aku melakukan ini untuk kita. Aku ingin memberikan yang terbaik."
Lila merasa air mata menggenang di matanya, tetapi ia berusaha menahan diri. "Tapi aku juga ingin perhatianmu. Rasanya, aku sudah menjadi bayangan di rumah ini."
Adrian terdiam, tampak bingung. "Kau tahu aku mencintaimu, kan? Ini hanya fase."
"Tapi fase ini sudah terlalu lama," Lila berkata, suaranya bergetar. "Aku merasa sendirian. Aku merindukan kita yang dulu."
Adrian berpaling, menatap Lila dengan sorot mata yang seolah mengerti. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?"
Lila merasa harapannya mulai pudar. "Aku tidak tahu, Adrian. Mungkin kita perlu lebih banyak waktu bersama, berbicara seperti dulu."
"Baiklah," Adrian berkata, suara ragu. "Kita bisa mencoba makan malam bersama akhir pekan ini."
"Ya, kita lihat saja," jawab Lila, tetapi di dalam hatinya, ia meragukan apakah itu cukup.
Malam itu, Lila berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Ia merasa pernikahannya terputus dari kenyataan, seolah mereka berdua terjebak dalam dunia masing-masing. Ia merindukan cinta yang dulu pernah menghangatkan hatinya, tetapi sekarang hanya ada dingin yang mengisi ruang kosong di antara mereka.
Saat Lila terlelap, ia tidak tahu bahwa keputusan kecil di hari-hari mendatang dapat mengubah arah hidupnya selamanya.
Hari-hari berlalu, dan Lila mencoba beradaptasi dengan rutinitas barunya yang monoton. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Adrian, dan berharap bisa menghabiskan beberapa menit bersamanya sebelum ia berangkat kerja. Namun, harapannya sering kali sirna ketika Adrian terburu-buru meninggalkan rumah, menyisakan Lila dengan perasaannya yang semakin kosong.
Pada suatu sore, saat Lila pulang dari pekerjaan, ia mendapati Adrian masih belum pulang. Dengan rasa jenuh, ia mengalihkan perhatian dengan memeriksa media sosial. Foto-foto teman-temannya yang berlibur dan merayakan momen bahagia membuat hatinya semakin teriris. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, dan sebuah pesan dari Maya muncul.
Maya: Hei, Lila! Bagaimana kalau kita pergi ke kafe baru di pusat kota malam ini? Butuh teman, nih!
Lila mengernyit. Meskipun rasa bersalah menghantuinya karena meninggalkan Adrian di rumah, ia merasa terjebak dan butuh ruang untuk bernapas.
Lila: Baik, itu terdengar menyenangkan!
Setelah merencanakan pertemuan, Lila bersiap-siap. Ia mengenakan gaun sederhana, sedikit makeup, dan merapikan rambutnya. Saat melihat cermin, ia merasa sedikit percaya diri-sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.