Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Tawaran Gila Suamiku
Di pagi hari yang cerah membuat Elvina merasa semangat berangkat kuliah hari itu. Dengan tergesa-gesa melangkahkan kakinya di atas anak tangga membuat kakinya tersandung namun masih beruntung. Ada Sebastian sang kakak yang menopangnya.
“Makanya hati-hati kalau jalan tuh, Dek!” omel Bastian kemudian.
Pria itu menarik tangan Elvina menuruni anak tangga kemudian mendudukkannya di kursi ruang makan. “Sarapan dulu, habis itu berangkat bareng.”
“Iyaaa. Emang dari orok juga kayak gitu.”
Bastian kemudian mengacak rambut adiknya sambil mengulas senyumnya. “Pinter!”
Perempuan itu menyunggingkan bibirnya kemudian menyapa orang tuanya yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Tadi Mama dengar El teriak. Kenapa, Nak? Digendong tiba-tiba lagi, sama Kakak?” tanya Luna, sang mama.
“Nggak, Ma. Tadi El jalannya buru-buru terus kesandung sama kakinya sendiri. Hampir aja jatoh kalau nggak ada Bastian,” ujar Bastian menceritakan kenapa Elvina berteriak tadi.
“Ooh. Hati-hati, Sayang. Bisa cedera lho kalau jatoh dari tangga. Gak bisa kuliah dan ketinggalan banyak pelajaran. Gak bisa ketemu sama pacar juga.”
Mendengar kata ‘pacar’ membuat Bastian merasa canggung. Entah kenapa dia tidak suka jika Elvina memiliki pacar. Rasa cemburunya sangat kuat jika Elvina dekat dengan pria lain.
Padahal, Bastian ingin membebaskan adiknya untuk memilih siapa yang menurutnya paling cocok untuk dijadikan pendamping hidupnya.
“El gak akan pernah punya pacar sampai kapan pun kalau Kak Bastian masih ikut campur.”
“Kok Kakak sih? Emang Kakak ngapain cowok kamu?”
Elvina mengangkat bahunya kemudian menghela napas kasar. “Pokoknya, kalau El punya pacar, nggak akan awet. Biang keroknya ada di Kak Bastian. Selalu ikut campur urusan percintaan El. Semuanya diajak gelud kalau nggak adu kecerdasan. Mana ada yang berani coba.”
Lantas kedua orang tua itu tertawa mendengar ucapan anak bungsunya itu.
“Itu artinya Kakak ingin kamu punya pacar yang lebih pintar dari kamu. Dan nggak ada yang bisa nandingi kepintaran kamu kecuali Kakak sendiri," ujar Luna berasumsi.
Uhuk! Uhukk!!
Tiba-tiba Bastian terbatuk saat mendengar Luna bicara seperti itu. Elvina segera memberi segelas air putih pada sang kakak yang tersedak makanan itu.
“Hati-hati napa makannya, Kak.” Elvina menepuk-nepuk punggung kakaknya itu.
Bastian menatap orang tuanya dengan tatapan mencurigakan. Seolah tahu dengan perasaannya yang tidak biasa itu. Ada rasa mengganjal dalam diri Bastian pada Elvina. Dia mencintai adiknya itu. Adik kesayangan satu-satunya perempuan yang sangat dia sayangi setelah mamanya.
Namun, rasa sayang itu bukan sayang pada adik. Melainkan menyayanginya sebagai wanita. Itulah kenapa Bastian ingin sekali membuang perasaan itu karena tak ingin orang tuanya tahu dan kecewa padanya.
“Yuk Dek, Berangkat. Udah jam setengah delapan. Kakak ada kelas di jam sembilan nanti,” ajak Bastian pada sang adik.
Yang kemudian kedua orang itu pamit pada orang tuanya berangkat ke kampus. Bastian melanjutkan S-2 nya di kampus yang sama dengan Elvina. Ia ingin terus memantau sang adik agar tidak terjadi hal-hal yang membuatnya murka.
Setelah keduanya keluar dari rumah itu. Luna memegang paha suaminya sambil menatapnya dengan tatapan pasrah.
“Ada apa lagi, Ma? Karena Bastian melihat Elvina seperti wanita, bukan adiknya?” tanya Edwin. Seolah tahu apa yang tengah dipikirkan istrinya.