/0/25091/coverorgin.jpg?v=32fc9b36aa4ede9f3eedb3c97ca99daa&imageMogr2/format/webp)
Los Angeles, California…
Sunset View Apartments…
Di depan cermin full body, Grace berdiri sambil memeriksa penampilannya. Wanita berusia 26 tahun itu menatap datar pada cermin, namun kecantikannya tidak berkurang sedikitpun, seperti yang banyak diakui oleh rekan-rekannya di kantor tempat dia bekerja sebagai sekretaris.
Pagi ini, Grace memakai rok hitam berpotongan lurus yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan blus putih berkerah, dan setelan jas hitam yang memberikan kesan profesional dan elegan.
Rambutnya dikepang rapi dan disematkan dengan peniti berhias bunga kecil, memberikan sentuhan feminin pada penampilannya yang serba formal.
Sepasang sepatu hak tinggi hitam menambah kesan anggun pada penampilannya. Sorot matanya yang tajam dan senyumnya yang ramah memberikan kesan percaya diri dan profesionalisme yang melekat padanya.
Setelah memastikan bahwa outfit yang membungkus tubuh rampingnya sudah sesuai keinginannya, Grace mundur dari depan cermin dan berjalan menuju meja rias. Ia duduk di kursi di sana dan mulai memoles wajahnya dengan riasan tipis seperti biasanya.
Tak berselang lama, ponselnya yang tersimpan di sisi meja rias tersebut berdering nyaring, membuat Grace sedikit tersentak kaget. Ia melirik pada layar yang tengah menyala terang dan sedikit memicingkan kedua mata saat melihat nama kontak yang sangat tidak diharapkannya.
Tuan Mario is calling...
Grace mendesah kasar sambil menjauhkan kuas make up dari wajahnya. "Dia ini mau apa sih, menelepon pagi-pagi begini?" gumamnya dengan suara terdengar kesal.
Grace awalnya mengabaikan panggilan tersebut, namun ponselnya kembali berdering untuk kedua kalinya. "Kamu benar-benar menyebalkan, Marimar!" kesalnya dengan sengaja melesetkan ketika menyebut nama si penelpon itu.
Mengulurkan tangan, Grace menyambar ponsel itu dan membawanya dekat ke telinga. Ia menekan tombol berwarna hijau dengan penuh kekesalan sembari berkata, “Iya, ada apa?!”
“Selamat pagi, Grace,” suara berat itu menyapa.
Grace mendesah kasar. “Selamat pagi, tuan. Ada apa, Anda menghubungi saya pagi-pagi begini? Saya sedang sibuk bersiap-siap. Seharusnya Anda paham dengan rutinitas pagi saya,” ucapnya.
Terdengar helaan nafas pelan dari pria itu. “Grace, pertama-tama, kita tidak tinggal serumah, jadi bagaimana aku bisa tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang. Kedua, aku bukan suamimu, jadi bagaimana aku bisa paham dengan kesibukanmu? Hem, atau mungkin kau ingin menjadi istriku? Apakah pernyataanmu barusan adalah bentuk sebuah kode?”
Grace seketika terbelalak dan bibirnya menganga. Kemudian dia berdecak sambil memutar malas kedua matanya. “Dasar tidak jelas!” dengusnya. Kekesalannya semakin bertambah saat mendengar kekehan menyebalkan dari pria itu.
“Apa yang anda inginkan sampai menelepon saya sepagi ini?” tanya Grace kemudian.
“Aku ingin memberitahumu bahwa aku sudah di bawah menunggumu,” jawab pria itu.
“Saya bisa berangkat sendiri, tuan. Anda tidak perlu repot-repot,” tolak Grace.
“Yah, bagaimana dong, Grace. Aku sudah di sini dan sekarang aku menuju lift.”
“Anda mau kemana?!” pekik Grace dengan suara memekik kesal.
“Naik ke atas. Aku ingin melihat Arvind sebentar. Dia pasti merindukan daddynya ini,” jawab pria itu.
Grace semakin frustasi. “Arvind masih tidur. Anda tidak perlu naik. Tunggu saja saya di bawah.” Bohongnya.
“Ck, jangan pikir aku semudah itu mempercayaimu. Dasar pembohong!” ujar pria itu.
Grace hendak membuka bibir namun urung saat panggilan berakhir. Panggilan tersebut diakhiri oleh pria itu, membuat Grace semakin kesal.
Sementara di depan pintu unit apartemen Grace, seorang pria tampan berusia 31 tahun, Mario Adisson, kakak sulung dari atasan Grace di kantor, berdiri menjulang. Ia terkekeh pelan saat membayangkan wajah kesal Grace padanya.
Mario menekan bel dan menunggu pintu dibuka. Tak berselang lama, pintu terbuka lebar menampilkan seorang wanita sepantaran dengan Grace tengah menggendong seorang balita berusia satu tahun.
“Daddyyyy…!” Balita itu dengan antusias mengulurkan kedua lengan mungilnya pada Mario, meminta pria itu agar menggendongnya.
Mario tersenyum dan mengambil alih tubuh mungil itu. “Good morning, buddy,” kata Mario sambil mencium pipi gembul Arvind. Balita itu bernama Arvind, keponakan Grace yang telah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
Mario pun membawa langkah memasuki apartemen Grace, dipersilakan oleh pengasuh Arvind, menuju ruang tengah.
“Grace belum keluar dari kamar?” tanya Mario kepada wanita yang bernama Ely itu.
/0/18915/coverorgin.jpg?v=20240730192926&imageMogr2/format/webp)
/0/23384/coverorgin.jpg?v=20250517062217&imageMogr2/format/webp)
/0/2989/coverorgin.jpg?v=6ef8556d998b3f817a9480e23208b8fe&imageMogr2/format/webp)
/0/26531/coverorgin.jpg?v=20250719183005&imageMogr2/format/webp)
/0/28714/coverorgin.jpg?v=20251105185447&imageMogr2/format/webp)
/0/11045/coverorgin.jpg?v=20c26a39a6fcfbd103538f6351776873&imageMogr2/format/webp)
/0/17276/coverorgin.jpg?v=20240328170544&imageMogr2/format/webp)
/0/7042/coverorgin.jpg?v=20250122151746&imageMogr2/format/webp)
/0/15727/coverorgin.jpg?v=20240223145320&imageMogr2/format/webp)
/0/16912/coverorgin.jpg?v=f539b6a09877af9e853a560afdfe7591&imageMogr2/format/webp)
/0/6566/coverorgin.jpg?v=e51a037ac9e4b4d252eeae327caf31c1&imageMogr2/format/webp)
/0/20880/coverorgin.jpg?v=20250124101245&imageMogr2/format/webp)
/0/15126/coverorgin.jpg?v=20250123120533&imageMogr2/format/webp)
/0/19827/coverorgin.jpg?v=20250207145217&imageMogr2/format/webp)
/0/18874/coverorgin.jpg?v=20240730192754&imageMogr2/format/webp)
/0/29128/coverorgin.jpg?v=20251107001532&imageMogr2/format/webp)
/0/15746/coverorgin.jpg?v=dd951388bf1506d99ea44810f630efd4&imageMogr2/format/webp)