Cinta yang Tersulut Kembali
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Menjadi wanita berparas cantik bukan hanya sebuah anugerah buat saya, tetapi juga sebuah petaka. Contohnya sekarang, saya harus menanggung malu karena tengah dilabrak di lobi hotel oleh seorang wanita paruh baya dengan dandanan super menor. Saya menatap wanita gembul yang tengah memelotot ke arah saya. Bibir wanita itu merah menyala seperti cabe busuk, alisnya dilukis dengan sangat tebal seperti ulet bulu, dan rona merah di kedua pipi chubby-nya seperti bekas tamparan keras. Penampilannya persis seperti ondel-ondel yang biasa lewat di depan indekos saya. Kami saling tatap cukup lama.
Giginya gemerutuk seakan-akan tengah menahan amarah, sedangkan saya mencoba terlihat tenang.
"Saya harap, kamu tidak lagi menampakkan diri di depan suami saya!" hardik wanita itu. Jangan lupakan telunjuk kanannya yang menunjuk-nunjuk hidung mancung saya.
"Aduh, Bu. Bagaimana saya tidak akan menampakkan diri di depan suami, Ibu. Saya kan sekretarisnya suaminya Ibu," balas saya sedikit gemas.
Mata dan mulut wanita itu membulat sempurna, seakan-akan hendak memakan saya bulat-bulat. Ia seperti tidak memercayai ucapan saya. Bodo amat! Memang seperti itu, kok, kenyatannya. Saya sekretaris dan suaminya adalah atasan saya, bagaimana caranya kami bekerja kalau tidak boleh menampakkan diri di depan suaminya. Hantu kali, tidak menampakkan diri. Saya rasa ibu-ibu memang tidak bisa berpikir dengan jernih. Otaknya sudah diselimuti rasa cemburu yang membabi buta.
"Sekretaris? tapi kelakuan seperti jalang. Sekretaris macam apa yang janjian dengan atasannya di sebuah hotel?" Amarah wanita itu pecah.
Brengsek!
Ngadi-ngadi banget itu mulut ibu-ibu! Saya dibilang jalang? Waah, ngajak gulat ini namanya. Namun, saya tetap berusaha tenang dan tidak terpancing oleh omongannya.
"Apa? Gak suka saya bilang jalang?"
Saya sudah berusaha sabar dan menghormati beliau karena lebih tua dan juga istri dari bos saya, tapi kok mulutnya seperti petasan yang dinyalakan pas malam tahun baru. Dar! Der! Dor! Enggak karuan sampai-sampai memekakkan telinga dan membakar hati saya. Namun, lagi-lagi saya berusaha tetap menahan diri. Saya tidak mau jika saya terpancing justru membuat ibu-ibu itu makin kalap dan menjadi-jadi. Makin malu saya dibuatnya.
Saya mengelus dada sembari mengucap istighfar berkali-kali. Tuduhan macam itu memang sudah sering saya terima, tetapi tetap saja membuat dada ini sesak. Namun, melihat siapa yang sedang saya hadapi, membuat saya enggan melawan. Baru beberapa bulan saya bekerja di perusahaan suami wanita itu, masa iya harus dipecat gara-gara berantem sama istri bos. Jadi pengangguran lagi? Tidak! Susah payah saya mencari pekerjaan, masa hanya karena masalah seperti ini saja saya menyerah. Saya kuat! Saya harus kuat menjalani hinaan ini. Saya menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Berharap memberi sedikit ketenangan.
"Mau nganuan kamu sama suami saya? Merayu suami saya, biar dinaikkan gaji kamu, makanya kamu dengan suka rela mau menaikkan rok kamu yang kekurangan bahan itu?" cecarnya lagi.
Mendengar tuduhannya barusan membuat emosi saya berdesak-desakan menjebol pertahanan. Saya diam bukan berarti saya bersedia dihina dan difitnah sedemikian keji.
"Aduh, Ibu jangan sembarangan ya kalau ngomong. Memangnya saya cewek apakah? Yang mau nganuan sama atasan yang bukan suami saya. Cantik jelita begini, saya juga punya otak, Bu. Punya harga diri."
Saya tak menghiraukan lagi soal pekerjaan. Masih banyak pekerjaan di luar sana. Saya hanya butuh berusaha lagi. Wanita bertubuh gempal itu telah menginjak-injak harga diri saya dan saya wajib hukumnya membela diri. Enak saja! Saya wanita baik-baik, tetapi justru dituduh macam-macam tanpa bukti. Saya tidak terimalah. Siapa pun juga pasti tidak akan terima jika diperlukan seperti saya.
"Mana ada maling ngaku!" hardiknya lagi.
Kobaran api di dada saya semakin menyala-nyala, mata saya mulai memerah menahan tangis. Baru kali ini saya dipermalukan di depan publik dengan sedemikian kejinya. Sakit hati saya.
"Saya bukan maling, Bu! Saya ke sini karena alasan pekerjaan."
"Pekerjaan seperti apa di hotel hampir tengah malam begini? Ngelonte?"
Astaghfirullah!
Mulut ibu itu benar-benar semakin menjadi-jadi. Ingin sekali saya mengucir bibir menor itu dengan dua karet. Biar pada tahu bahwa ucapan-ucapan wanita itu sangat pedas seperti goda-gadonya Wa Casmih yang ada di samping indekos saya.
"Bu, saya wanita baik-baik."
"Mana ada wanita baik-baik dengan pakaian kekurangan bahan seperti itu masuk hotel malem-malem. Buat apa?"
Orang-orang yang lewat memerhatikan pertengkaran kami. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang berhenti. Mereka kira saya dan wanita menor itu akan melakukan atraksi jambak-jambakan mungkin. Sehingga mereka dengan sengaja menghentikan langkah dan mencari tempat yang nyaman untuk menonton. Dasar netizen negeri berflower. Mereka memang tidak ada kerjaan sama sekali! Huru-hara saja ditonton. Bedebah sekali!
"Saya ke sini atas permintaan Bapak."