Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Zafira Hasna Nafisah tidak pernah mengira kalau keputusannya untuk melanjutkan sekolahnya di luar kota ditentang keras oleh kedua orang tuanya, bahkan kedua kakaknya pun ikut mendukung keputusan papanya.
“Hasna pengin mandiri, Pa. Sekali ini saja kabulkan permintaan Hasna.” Papanya menggeleng sambil menahan amarahnya. Bukan karena tidak sayang, tapi sebagai orang tua mana tega seorang papa membiarkan putrinya ada di luar kota tanpa ada pengawasan dari kedua kakak atau keluarganya.
“Boleh ya, Ma. Hasna bisa kok jaga diri. Lagian Hasna mau kuliah sambil mondok juga. Jadi nanti Hasna tinggalnya di pondok bukan di kost-an,” rayu Hasna bergelanjut manja ke mama sambil menatapnya. Sama seperti papa, mamanya pun menolak keinginan Hasna dengan menggelengkan kepalanya. Membuat Hasna reflek melepaskan tangannya dari lengan mamanya.
“Ma, Pa, Hasna pengin mandiri. Selama ini kemana pun Hasna pergi selalu saja ada Kak Hasan atau Kak Husein yang menemani. Kalau begitu terus, kapan Hasna bisa maju Pa Ma? Sekali ini saja biarkan Hasna mewujudkan cita-cita Hasna di luar tanpa harus dikawal Kak Hasan dan Kak Husein.”
“Papa tetap tidak setuju. Di sini kan ada universitas yang sesuai dengan jurusan yang kamu inginkan. Ada pondok pesantren juga kalau kamu pengin mondok, jadi tidak perlu kuliah di luar kota,” tegas sang Papa membuat Hasna diam tanpa bisa menjawab apa yang dikatakan papanya. Sebenarnya ada benarnya juga papa melarangnya untuk melanjutkan kuliahnya di luar kota. Tapi kalau dia masih tetap di satu kota yang sama dengan kedua kakaknya, sampai kapanpun dia akan selalu merasa tertekan dengan sikap kedua kakaknya yang otoriter terhadap dirinya.
“Mau ke mana? Papa belum selesai ngomong?” Hasna yang sudah bersiap beranjak dari sofa pun menatap papanya dengan kesal, kemudian balik duduk di sofa kembali dengan muka ditekuk.
Kakek Bramantyo yang sedang istirahat siang pun merasa terganggu dengan percakapan antara anak dan cucunya. Beranjak keluar kamar, kemudian ikut bergabung mengobrol di ruang tengah. “Ada apa sih ribut-ribut?” tanyanya saat sudah berada di tengah-tengah anak dan cucunya.
Hasna menoleh ke arah kakeknya, kemudian berlari serta memeluk sang Kakek, “Hasna pengin kuliah ke luar kota, Kek. Tapi Papa sama Mama tidak setuju,” ucap Hasna terlihat sedih. Kakek hanya manggut-manggut kemudian tersenyum penuh arti, menatap anak dan menantunya, “Biarkan Hasna meraih cita-citanya.”
“Tapi, Yah.” Kakek Bramantyo mengangkat tangan kanannya, saat anaknya Pramono mau mengajukan protes tapi tidak dengan Hasna yang langsung memasang wajah ceria ketika sang Kakek memperbolehkannya kuliah di luar kota.
“Beneran, Kek? Hasna boleh melanjutkan kuliah di luar kota?” tanyanya dengan senyum tersungging di bibirnya. Kakek Bramantyo ikutan tersenyum juga sambil menganggukkan kepalanya.
“Tapi ada syaratnya?” ucap sang Kakek kemudian, membuat Hasna bingung dengan kening berkerut.
“Syarat apa Kek?” tanya Hasan yang tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu, meletakkan tas kantornya di meja kemudian duduk di samping mamanya sambil menarik dasinya ke bawah. Begitu juga dengan Husein melakukan hal sama seperti yang Hasan lakukan dan duduk di samping papanya.
Papa menarik napas panjang, mengatakan kalau adiknya Hasna berkeinginan untuk melanjutkan kuliahnya di luar kota. Ucapan papanya membuat Hasan dan Husein serentak menggelengkan kepalanya.
“Kalau mau melanjutkan kuliah, ngapain harus ke luar kota? Di sini juga ada kok universitas yang sesuai dengan jurusan yang kamu inginkan,” ucap Hasan tegas sambil menatap wajah Hasna yang terlihat murung kembali.
“Terus yang diajukan Kakek tadi syarat apa?” tanya Husain yang penasaran dengan kata-kata syarat yang diucapkan kakeknya barusan.
“Kakek kalian mengijinkan Hasna kuliah di luar kota tapi dengan syarat,” ucap papa Pramono terdengar tidak rela kalau Hasna melanjutkan kuliah di luar kota, karena bagaimana pun juga Hasna adalah putri semata wayangnya, mana tega dia membiarkan putrinya jauh dari dirinya.
“Syarat,” ucap Hasan dan Husain bersamaan dengan wajah agak terkejut, menatap wajah sang Kak Kakek yang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Bagaimana Hasna?” tanya sang Kakek, menoleh ke arah Hasna yang masih kelihatan bingung. Namun tak lama Hasna terlihat tenang, berusaha menyakinkan dirinya bahwa syarat yang diajukan kakeknya tidak terlalu sulit untuknya.
“Memang apa sih Kek syaratnya? Insyaallah Hasna terima,” tantang Hasna menyakinkan, kakeknya tersenyum begitu mendengar jawaban yang diucapkan Hasna. Kakek Bramantyo segera merogoh telepon selularnya yang ada di dalam saku. Kemudian menghubungi seseorang, “Nanti malam ajak putra dan istrimu ke sini,” ucap kakek di dalam telepon tanpa basa basi, kemudian langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak.
“Fat, tolong kamu persiapkan perjamuan untuk nanti malam. Sudah semua bubar, saya mau istirahat, jangan ada yang ganggu,” ucapnya kepada Fatma mamanya Hasna. Kemudian beranjak berdiri, sebelum kakek melangkahkan kakinya, tangannya dicekal Hasna yang memintanya untuk mengatakan syarat apa yang harus Hasna terima.