
/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
Malam itu, langit gelap dan berawan, seakan merasakan kepedihan yang menyelimuti hati Alina. Angin malam yang dingin menderu melalui lorong-lorong sempit apartemennya di pusat kota, seakan berbisik tentang kekecewaan dan penyesalan. Di balik jendela, siluet kota bercahaya dengan gemerlap lampu yang seolah menertawakan kesedihannya.
Alina memandang cermin di hadapannya, melihat wajahnya yang pucat, mata yang bengkak karena menangis, dan rambut yang berantakan seperti tak peduli lagi. Malam itu, seharusnya menjadi malam yang penuh kebahagiaan-hari di mana ia seharusnya merayakan ulang tahunnya bersama orang-orang terdekat. Namun, semua itu hanyalah mimpi buruk yang tak pernah ingin ia alami.
"Ini semua salahku," gumamnya, suaranya seperti angin yang merintih. Namun, saat ia mengingat wajah tunangannya, Dimas, bersama sahabatnya yang ia anggap saudara, Pratama, yang berusaha mendekapnya di dalam pelukan pria itu, amarahnya meledak, meluap seiring air mata yang kembali mengalir.
Malam itu, saat ia memutuskan untuk keluar dari apartemen kecilnya, dunia seolah berhenti. Langkahnya yang terhuyung-huyung menapaki jalanan basah di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Ia tak tahu harus kemana, tak tahu harus berbuat apa. Pikiran-pikiran gelap menyelimuti, menghantui, dan menuntut jawaban atas kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya.
Hingga malam yang semakin larut, langkahnya berhenti di sebuah taman kecil yang terletak di ujung jalan. Bangku kayu yang sudah usang di taman itu menantangnya untuk duduk, menunggu apapun yang akan terjadi. Ia memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan di antara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan.
Tiba-tiba, suara derap langkah kaki yang berat mendekat, menyadarkannya. Alina membuka matanya perlahan, memandang ke arah sumber suara. Seorang pria berdiri di hadapannya, mengenakan jas hitam yang rapi, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya yang tajam dan mata sehitam malam, penuh dengan misteri.
"Maaf, apakah kamu baik-baik saja?" Suara pria itu, dalam dan serak, membawa sesuatu yang aneh. Entah apa itu-rasa perhatian, kekhawatiran, atau mungkin hanya rasa ingin tahu yang kosong.
/0/21529/coverorgin.jpg?v=ba769898226d749118ed7754d2af4424&imageMogr2/format/webp)
/0/26512/coverorgin.jpg?v=af2827c41ec076f199f1f6529fc039fc&imageMogr2/format/webp)
/0/26965/coverorgin.jpg?v=1b3de6715b009bf56a2a6fcc84b66056&imageMogr2/format/webp)
/0/16949/coverorgin.jpg?v=7e3b9e7a6ce7e81d5304f7071e96f64d&imageMogr2/format/webp)
/0/13191/coverorgin.jpg?v=e704587927df107bbc544a47921dac46&imageMogr2/format/webp)
/0/15950/coverorgin.jpg?v=509021433262d5a333b93286ab8868d6&imageMogr2/format/webp)
/0/19179/coverorgin.jpg?v=e247542b41ba980e2273d0e92daa010e&imageMogr2/format/webp)
/0/27977/coverorgin.jpg?v=0968e8b5527c6f6ef206c7938937141a&imageMogr2/format/webp)
/0/14914/coverorgin.jpg?v=c06b91a92410edccaee2387dc6f8d05b&imageMogr2/format/webp)
/0/16900/coverorgin.jpg?v=dc44248f1eddbf3ec2f3185d5a9341b9&imageMogr2/format/webp)
/0/5638/coverorgin.jpg?v=ac6e1142b93103ee1ef1cb162c971dc1&imageMogr2/format/webp)
/0/21617/coverorgin.jpg?v=d83e73ead6cd0559dde32b5af84cbd83&imageMogr2/format/webp)
/0/23628/coverorgin.jpg?v=aa00cb521fffa8c6f930180bf76937e1&imageMogr2/format/webp)
/0/16427/coverorgin.jpg?v=73d7cc3ea0bb732e2639d63352fa609b&imageMogr2/format/webp)
/0/3272/coverorgin.jpg?v=08468a21c0b5f1dd7299039659a6d360&imageMogr2/format/webp)
/0/23723/coverorgin.jpg?v=464023131ef63f7e4423296e448da571&imageMogr2/format/webp)
/0/28803/coverorgin.jpg?v=cab87dccf8c2ff24e3c01ccd2cd8fe1c&imageMogr2/format/webp)
/0/22491/coverorgin.jpg?v=b226bf8c8c8eb75f83759b3311dca1bb&imageMogr2/format/webp)