Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
"Aku akan menikahi Wina ...." Ucapan ini dikatakan oleh lelaki yang telah menjalin rumah tangga denganku selama 3 tahun lamanya.
Jdeeer!
Bagai petir yang langsung menyambar tepat di lubuk hatiku.
Mataku langsung berkaca, tetapi kualihkan dengan lagak tawaku. "Hahaha!" Aku tertawa dengan perasaan pahit. Hatiku berharap itu hanya candaannya saja. Nyatanya harapanku hanyalah fantasi di dalam khayalanku. Wajah suamiku jelas serius dan aku sadar kalau ucapannya bukanlah candaan belaka. Aku pura-pura sedang bicara dengan teman di telpon, "ada-ada aja kamu," tambahku berpura-pura.
Aku takut. Dan aku tak tahu harus bagaimana. Emosi di dadaku melonjak naik. Setelah suamiku mengatakan itu, aku memutuskan pergi keluar untuk menghindar, "Jangan banyak bercanda deh, ya udah aku ke sana," sambungku di telpon.
"Mas aku izin keluar dulu ya! Temenku lagi kena masalah katanya, haha!" Aku tertawa lagi. Tawaku adalah kebohonganku, semua perkataanku sebelumnya juga sebuah kebohongan.
Sebenarnya aku hanya ingin menghindar saja, memberi waktu pada suamiku untuk berpikir. Berharap dia mengubah pemikirannya tentang menikah lagi.
"Naina ...," Panggilnya pelan.
Ya, Naina. Itulah namaku. Entah mengapa kali ini hatiku sakit saat dia memanggil namaku. Rasanya aku tak siap mendengar ucapan selanjutnya.
Saat tanganku menyentuh pintu, Aku memejamkan mataku erat, berusaha untuk tetap tegar. Aku berbalik untuk mengatakan sesuatu padanya, "aku mencintaimu mas," ucapku dengan senyuman.
Sudah sering aku mengatakan cinta padanya, tetapi dia tak pernah sekalipun membalas cinta itu, walau hanya dengan ucapan saja. Kali ini pun sama, dia hanya diam, aku benar-benar seperti orang bodoh dibuatnya, "dah ...," sambungku seraya melambaikan tangan lalu pergi.
Di luar pintu, kupegang erat-erat dadaku. Tanpa sadar air mataku menetes begitu saja.
Sakit!
Hatiku sangat sakit!
Aku berlari cepat untuk sampai di garasi mobilku. Aku ingin pergi secepatnya. Aku ingin menjauhi kenyataan pahit ini.
Rasa cinta yang kutunggu selama ini hanyalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dia ... Tidak mencintaiku. Sungguh kenyataan yang manyakitkan.
Hah .... Aku lelah, ke mana aku akan pergi sekarang? Batinku.
Mobilku melaju dengan kencang, berkali-kali kuhapus air mataku. Aku sungguh tak bisa menahannya, air matanya tidak bisa berhenti.
Akhrinya aku memutuskan untuk pergi ke pantai, tempat yang menenangkan bagiku. "Hai," ucapku pada pantai yang kudatangi.
Indahnya pemandangan sedikit mengobati rasa sakitku, hembusan anginnya menyapu rasa lelahku, kaki yang menapak di pasir membuatku lebih dekat dengan alam di sekitarku, walau sendirian aku merasa memiliki banyak teman. Mereka adalah pasir-pasir yang menyentuh kulit kakiku, angin-angin sejuk yang menyapa kulitku, serta suara ombak yang menghilangkan kesunyianku.
"Hah ...," hembusan napas pelan. Ini benar-benar nyaman. Aku merasa lebih baik dibanding sebelumnya.
Aku memutuskan untuk duduk dan berdiam lebih lama di jembatan pantai.
Saat menatap pantai yang indah aku kembali menangis. "mengapa rasanya sangat menyakitkan." Tetesan air mataku menyentuh air pantai yang biru.
Di saat aku sedang menangis tersedu-sedu, air pantai di hadapanku terlihat sedikit aneh. Ada gelembung air di sana, aku mencoba melihatnya, tapi aku tak bisa melihat apa yang ada di dalam air itu, "apa itu ikan hiu," ucapku takut. Aku tak bisa berpikir jernih, pikiranku ke mana-mana. Dengan refleks aku berusaha untuk mundur. Di hadapan kematian, sekejap aku lupa akan semua kesedihanku, air mataku berhenti keluar.
Byuur!
Apa yang aku cemaskan keluar dari dalam air. "Aaaaa!" Sontak aku berteriak hebat. Aku refleks menutup mataku saking takutnya.