Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
[Nisa, mas pulang besok. Mau jemput di Bandara?]
[Boleh, Mas. Jam berapa?] balasku.
Jari-jariku gemetaran saat membalas text demi text. Sakit luar biasa, mengingat Mas Barry baru saja menghabiskan seminggu bersama selingkuhannya di Bangkok. Dan hari ini, ponselnya baru diaktifkan.
Lelah, aku sangat lelah dan sakit hati.
Taktiknya dengan memintaku berhenti kerja agar fokus urus anak-anak, berhasil. Kini aku tergantung padanya. Termasuk untuk pengobatan ibuku yang menderita penyakit stroke dan ayah yang menderita sakit ginjal sejak beberapa tahun terakhir.
Barry menguasai hidupku dan keluargaku.
"Biar mas aja yang kerja, Nisa urus anak-anak."
"Tapi, Mas. Nisa harus membantu pengobatan ayah ibu."
"Ah, biar mas aja. Mereka 'kan orangtuaku juga. Penghasilan mas sudah lebih dari cukup untuk membiayai kita semua."
Sesaat kupikir Mas Barry suami sempurna, aku dengan sukarela mengikuti keinginannya agar mengundurkan diri dari jabatan strategis di sebuah perbankan.
"Biaya kuliah Andre besar, Mas. Kalau Nisa tidak bekerja, bisa-bisa gagal kuliahnya."
"Sudah, jangan dipikirin, Nisa. Mas bisa membiayai semua kebutuhan kita dan keluarga kamu. Kita atur saja sebaik mungkin supaya cukup. Percaya saja."
Tak pernah kami kekurangan uang, pengobatan ayah ibu, semua ditanggung Barry, tanpa pernah aku mendesaknya. Begitupun biaya kuliah Andre—adikku—yang baru menginjak semester tiga.
Aku bahagia, sangat bahagia.
Tapi, seperti kata pepatah, tidak ada kebahagiaan yang abadi. Begitu pula hidupku.
Kebahagiaan itu, hanya bertahan enam bulan sejak aku resign.
"Lo mesti pintar, Bro. Gue suruh Nisa berhenti kerja, supaya dia tergantung sama gue. Nggak apa-apa gue keluar uang buat biaya pengobatan orangtuanya, buat kuliah adeknya, yang penting gue leluasa jalan sama si Amanda." Tawa itu menggema, berbanding terbalik denganku. Tubuhku luruh ke lantai, jantungku berdegup kencang.
Mas Barry?!
Percakapan tanpa sengaja kudengar, saat dirinya berbicara di sambungan telepon dengan seseorang yang kuduga adalah temannya, mengingat Barry selalu memanggil teman dengan kata 'Bro'.
"Nisa sekarang terpaksa di rumah saja, urus anak-anak, urus keluarganya. Gue bisa sering nginap di luar dengan alasan kerja, ke luar kota bahkan ke luar negeri. Bebas." Lagi-lagi ia terbahak, semakin lama dan nyaring. Kepuasan terdengar jelas dari tawanya yang panjang.
Rupanya, itu sebabnya Mas Barry ngotot aku resign. Supaya bisa menguasai secara keuangan dan mengikatku diam di rumah. Mas Barry, kenapa engkau bisa berubah sejahat itu? Tak kuasa kutahan air mata yang menganak sungai. Sakitnya luar biasa!
Aku diam tepekur di balik pintu kamar. Bila tak mengingat keadaan sudah terlanjur, akan kulabrak Mas Barry saat itu juga. Tapi, kesehatan ayah ibu tergantung dirinya. Andre mungkin bisa cuti kuliah, tapi mempertaruhkan nyawa orangtua untuk sebuah rasa sakit hati? Aku harus mempertimbangkan matang-matang.
Dengan diamku, Mas Barry semakin menjadi-jadi. Herannya, uang gaji selalu utuh diserahkannya padaku. Apakah ia punya sampingan pekerjaan?
Entah.
Setiap sebulan sekali pasti Mas Barry ijin menginap ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Rata-rata tiga hari, kadang seminggu. Aku menahan diri, dengan berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhannya. Seperti kali ini, ia ijin berangkat ke Bangkok, dengan alasan pekerjaan.
"Kantor mengirimku ke sana, Nisa. Seminggu. Sebentar lagi mas naik jabatan, kamu doakan saja semua lancar. Jaga anak-anak ya, nanti mas pulang kita liburan ke Bali."
Begitulah Barry, setiap kali selesai bepergian bersama selingkuhannya, ia akan memanjakan aku dan anak-anak. Aku mulai muak! Mengetahui kebohongannya tapi terpaksa diam dulu.
Aku tau ia pergi bersama selingkuhannya karena salah satu rekan kantornya, Adam, ternyata teman SMA-ku. Aku mengetahuinya tak sengaja, saat reuni SMA. Kepadanya aku berpesan agar tidak usah memperkenalkan diri sebagai temanku kepada Mas Barry. Tanpa bertanya kenapa, Adam menurutinya.
Adam menjadi pengintai gerak-gerik Mas Barry.
"Nggak, Nis. Kantor nggak kirim Barry. Sudah ku-cek. Dia ijin mengurus ayahmu operasi."