/0/29060/coverbig.jpg?v=097c917dfde2503fd73b66ae586e64f1&imageMogr2/format/webp)
Pada akhirnya, cinta mampu menundukkan bahkan hati yang paling beku sekalipun. Arden Valez-seorang pria yang dikenal tak punya belas kasih, keras, dan penuh luka masa lalu-tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena kehadiran seorang perempuan yang dulu ia remehkan. Semua bermula dari kepura-puraan. Dari kebencian yang ia rawat, dari amarah yang ia pelihara, dan dari dendam yang semula ia anggap sebagai pelindung dari rasa sakit. Namun takdir punya cara aneh dalam mengajar manusia. Penyesalan Arden atas dosa-dosa di masa lalunya kini menjadi bayang-bayang yang tak pernah berhenti menghantuinya. Setiap malam, setiap hembus napasnya, selalu dipenuhi ketakutan akan kehilangan satu-satunya hal yang pernah membuatnya merasa hidup- Seren Ayandra. Sejauh apa pun Seren mencoba melarikan diri, sejauh apa pun langkahnya menjauh dari pria yang dulu menghancurkan hidupnya, hatinya selalu kembali ke tempat yang sama: ke pria yang membuatnya mati rasa. Karena entah bagaimana, luka itu justru menjadi jembatan yang mengikat jiwa mereka. Arden-dengan segala kesalahan, keangkuhan, dan amarahnya-adalah badai yang dulu membuat hidup Seren porak-poranda. Namun badai yang sama pula yang kini memberinya arah untuk kembali pulang. Bahkan ketika raganya mungkin telah hancur, bahkan ketika dunia tak lagi berpihak pada mereka, jiwa Seren akan selalu menemukan jalannya kembali menuju pria itu. Ke dalam dada yang dulu membakarnya habis-habisan, tapi kini menjadi satu-satunya tempat di mana ia merasa aman. Dua jiwa yang bertolak belakang, dipertemukan semesta bukan untuk saling melengkapi-melainkan untuk saling menyembuhkan. Arden yang menolak takdir, dan Seren yang pasrah pada kepedihan hidupnya, dipaksa waktu untuk menua bersama dalam keterikatan yang tak dapat dijelaskan. Cinta mereka lahir dari kehancuran, tumbuh dari luka, dan bertahan di antara rasa bersalah serta pengampunan. Namun pada akhirnya, mungkin itulah bentuk cinta yang paling murni- Cinta yang tidak sempurna, tapi nyata.
Hujan baru saja berhenti ketika langkah sepatu pria itu terdengar di koridor marmer yang panjang. Dentingnya berat, teratur, dan dingin-seolah setiap pijakan mengirimkan gema peringatan kepada siapa pun yang cukup berani menatapnya terlalu lama.
Arden Valez.
Nama itu sudah cukup membuat siapa pun di lingkungan bisnis internasional menggigil. Ia bukan hanya kaya. Ia berkuasa. Pria itu bukan sekadar pemilik perusahaan Valez Group-sebuah imperium yang mencakup properti, senjata, dan perdagangan laut-tapi juga simbol ketakutan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa mengubah hidup seseorang... atau mengakhirinya.
Namun sore itu, di antara aroma tanah basah dan sisa embun yang menempel di kaca besar ruang kantornya, pria itu terlihat tidak sedang memikirkan kekuasaan. Tatapan matanya kosong menatap kota di bawah sana-metropolis yang berdenyut dalam kebisingan.
Tangannya menggenggam segelas bourbon, namun belum disentuh. Jari-jarinya yang panjang, dingin, dan berurat menatap pantulan dirinya di kaca-mata kelam, rahang kaku, dan ekspresi yang sulit diartikan.
Semuanya terasa begitu sunyi.
Sampai suara ketukan lembut memecah diam.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk," suaranya berat, dalam, tanpa intonasi.
Seorang pria paruh baya melangkah masuk, menunduk sopan.
"Tuan Valez, orang yang Anda minta sudah tiba."
Arden menoleh setengah, cukup untuk menatapnya sekilas. "Suruh dia menunggu di ruang bawah."
"Baik, Tuan."
Setelah pintu tertutup, Arden menegakkan tubuhnya, menghela napas panjang, lalu meletakkan gelas bourbon itu di meja kaca. Tangannya terulur ke arah laci, mengambil selembar foto yang warnanya sudah sedikit pudar.
Wajah di foto itu membuat rahangnya menegang.
Seren Ayandra.
Perempuan yang dulu ia anggap hanya alat. Sebuah permainan dalam strategi kekuasaan. Ia yang memulai semua ini-dan kini, bertahun-tahun setelah kehilangan gadis itu, Arden mulai memahami makna kehilangan yang sesungguhnya.
Ia menatap foto itu lama, lalu menutup matanya.
Di sisi lain kota, di sebuah rumah sederhana di tepi sungai kecil, Seren sedang menjemur cucian sambil mengusap sisa air di pipinya. Hujan yang turun sejak subuh membuat udara lembap, tapi setidaknya sinar matahari sudah mulai muncul dari balik awan kelabu.
Sudah tiga tahun sejak ia pergi dari kehidupan yang dulu.
Tiga tahun sejak ia meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pria bernama Arden Valez.
Kini hidupnya tenang-atau setidaknya terlihat begitu. Ia bekerja di sebuah klinik kecil milik yayasan amal, membantu anak-anak korban konflik. Hidupnya sederhana, tapi cukup.
"Seren, tolong ambilkan berkas pasien pagi tadi," suara lembut seorang perempuan memanggil dari ruang depan.
"Ya, Ibu!" jawabnya cepat, menyeka tangannya pada kain lalu berlari kecil masuk ke dalam.
Langkahnya ringan, tapi ada getaran aneh dalam dadanya hari itu. Sejak pagi, entah mengapa, pikirannya gelisah. Seperti ada sesuatu yang mendekat, sesuatu yang lama, gelap, dan berbahaya.
Ia tak tahu bahwa pada saat yang sama, di menara kaca raksasa itu, seseorang sedang memerintahkan orang-orangnya untuk menemukan dirinya.
Malam hari, kota kembali tenggelam dalam cahaya lampu. Jalanan basah berkilau memantulkan sinar merah lampu lalu lintas. Di lantai tiga puluh delapan, ruang pertemuan Valez Group masih menyala terang.
"Tuan, tim kami sudah melacak lokasi yang Anda minta," ujar pria berpakaian hitam di hadapan Arden.
Arden duduk di kursinya, tubuh tegapnya membungkuk sedikit ke depan. "Dan?"
"Dia ada di pesisir utara. Hidup dengan identitas baru atas nama Seren Alvarine. Kami temukan melalui catatan medis."
Sekilas, sesuatu bergetar di mata pria itu. Antara keterkejutan, rasa bersalah, dan ketakutan yang tak ingin diakuinya. "Berapa lama kau tahu ini?"
"Baru dua hari, Tuan."
"Dan kau baru melapor sekarang?"
"Tuan, kami memastikan dulu identitasnya-"
"Pastikan dia tidak tahu kalau aku mencarinya," potong Arden dingin. "Belum saatnya."
"Baik, Tuan."
Begitu pria itu keluar, Arden memijit pelipisnya. Nafasnya berat. Satu sisi dirinya ingin segera pergi menemuinya-memastikan Seren benar-benar hidup, memohon maaf, dan mungkin... memulai sesuatu yang baru. Tapi sisi lain tahu bahwa bagi Seren, kehadirannya hanya berarti luka lama yang kembali berdarah.
Arden meneguk bourbonnya habis-habisan, menatap langit malam di balik kaca.
Ia tidak tahu, bahwa pada detik yang sama, Seren sedang menatap bintang yang sama dari balkon kecil rumahnya, menggenggam kalung yang sudah berkarat-kalung yang pernah diberikan pria itu padanya bertahun-tahun lalu.
Pagi berikutnya.
Klinik tempat Seren bekerja mulai ramai. Anak-anak berlarian, tawa mereka memenuhi udara. Seren menunduk membantu seorang bocah laki-laki mengikat tali sepatunya.
"Kau tahu, kamu hebat hari ini. Tidak menangis waktu disuntik," ujarnya lembut.
Anak itu tersenyum lebar. "Bu Seren, kalau aku sembuh, aku bisa main bola lagi?"
"Tentu saja bisa," jawab Seren sambil tersenyum-senyum yang menenangkan, tapi menyimpan luka di baliknya.
Namun sebelum ia sempat berdiri, sebuah suara berat terdengar di belakangnya.
"Masih suka menenangkan orang lain, bahkan setelah kau sendiri tidak pernah sembuh?"
Tubuh Seren menegang. Ia membeku. Tangannya gemetar sebelum ia perlahan menoleh.
Dan di sana, berdiri pria yang tak pernah ia pikir akan muncul lagi dalam hidupnya.
Arden Valez.
Pria itu mengenakan jas hitam, berdiri tegap di ambang pintu dengan tatapan kelam yang sama seperti dulu. Tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya sekarang-rasa lelah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
"Kenapa kau di sini?" suara Seren serak, pelan.
"Aku datang untuk menjemputmu," jawab Arden tanpa ekspresi.
"Menjemput?" ia tertawa getir. "Setelah tiga tahun kau bahkan tidak mencari tahu apakah aku masih hidup?"
Arden menatapnya lama, lalu berjalan mendekat satu langkah. "Kau pikir aku tidak mencari? Aku hanya tidak cukup berani untuk menemukanmu."
"Kau tidak berani, atau kau tidak peduli?"
Pria itu diam.
Tatapan mereka bertemu, tajam, namun dipenuhi sisa emosi yang belum pernah padam sepenuhnya.
Seren menunduk, menahan gemetar di tangannya. "Pergi, Arden. Hidupku sudah baik-baik saja tanpa kau. Aku tidak mau mengulang semuanya lagi."
"Aku tidak ke sini untuk mengulang. Aku datang karena aku ingin menebus," katanya pelan, nyaris berbisik.
"Menebus?" Seren tersenyum miris. "Kau tidak bisa menebus sesuatu yang sudah mati."
"Kalau begitu biarkan aku menghidupkannya kembali."
"Cukup." Seren melangkah mundur. "Kau tak tahu seberapa dalam luka yang kau tinggalkan."
"Aku tahu, Seren. Karena aku juga berdarah karenanya."
Keheningan menguasai ruangan. Hanya suara detak jam dan napas yang tertahan.
Lalu, tanpa kata lagi, Seren berbalik dan pergi, meninggalkan pria itu berdiri di antara suara anak-anak yang kembali tertawa tanpa tahu bahwa dunia dua orang dewasa itu baru saja runtuh lagi.
Sore menjelang.
Hujan turun kembali, seperti mengulang awal kisah mereka. Seren berjalan cepat di sepanjang jalan becek, menutupi kepala dengan tasnya. Tapi langkah di belakangnya mengikuti.
"Seren, tunggu!"
Ia berhenti mendadak, memutar tubuh dengan mata berapi. "Apa lagi yang kau mau?"
Arden berdiri beberapa meter darinya, rambutnya basah, jas hitamnya menempel di tubuh. "Aku tidak akan memaksa. Aku hanya ingin bicara."
"Bicara tidak akan mengubah apa pun."
"Tapi setidaknya biarkan aku menjelaskan."
"Menjelaskan? Tentang apa? Tentang bagaimana kau menghancurkan hidupku? Tentang bagaimana aku kehilangan semua orang karena permainan kotormu?"
Arden tidak menjawab. Hujan mengguyur makin deras, tapi keduanya tetap berdiri, terperangkap dalam badai yang mereka ciptakan sendiri.
"Aku butuh waktu," ucap Seren akhirnya, suara bergetar. "Kau tidak bisa tiba-tiba muncul setelah tiga tahun dan berpura-pura seolah semuanya bisa diperbaiki."
"Aku tidak berpura-pura," jawab Arden lirih. "Aku tahu aku tidak layak. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu terus hidup dalam luka yang aku buat. Aku ingin memperbaikinya, entah bagaimana."
Seren memandangnya lama. "Kau selalu bicara seolah dunia akan tunduk padamu, Arden. Tapi aku bukan dunia yang bisa kau kuasai."
"Tidak. Kau dunia yang membuatku ingin berhenti berkuasa."
Seren terdiam. Kata-kata itu menembus dinding hatinya yang selama ini ia bangun begitu tinggi.
Ia memalingkan wajah, menatap langit kelabu di atas mereka. Air matanya bercampur hujan. "Kau terlalu telat."
"Tidak pernah terlalu telat kalau aku masih bernapas," sahut Arden.
Hening lagi.
Sampai akhirnya Seren melangkah pergi tanpa menoleh.
Dan Arden membiarkannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tahu bahwa kekuasaan, uang, bahkan ketakutan manusia lain-tidak ada yang bisa membuat perempuan itu kembali padanya kecuali waktu.
Malam itu, Seren duduk di ranjang, memandangi lampu kecil di meja.
Di tangan kanannya masih ada kalung berkarat itu.
Ia tidak tahu kenapa, tapi setelah bertahun-tahun berusaha membuang semua kenangan, ia masih menyimpannya.
Mungkin karena bagian kecil dalam dirinya belum sepenuhnya bisa membenci.
Dan di tempat lain, di ruang kerjanya yang dingin dan sunyi, Arden menatap foto yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
Namun kali ini, ada satu hal yang berbeda-di matanya, untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, ada harapan.
Harapan kecil yang berbahaya.
Bahwa mungkin, hanya mungkin... Seren masih akan memaafkannya.
Atau setidaknya, mau mendengarkan sebelum segalanya terlambat.
Karena di dunia Arden Valez yang penuh kekuasaan dan dosa, satu-satunya hal yang tidak bisa ia kendalikan adalah waktu.
Dan waktu kini sedang berlari cepat, menuju pertemuan yang akan menentukan segalanya.
Bab 1 mengirimkan gema peringatan
28/10/2025
Bab 2 Tiga tahun lalu
28/10/2025
Bab 3 Malam itu turun dengan hening yang menakutkan
28/10/2025
Bab 4 menyimpan rahasia yang belum sempat diungkap
28/10/2025
Bab 5 menuju rumah lama
28/10/2025
Bab 6 menyala lebih panas
28/10/2025
Bab 7 tangan terlipat di depan wajahnya
28/10/2025
Bab 8 Tangannya gemetar sedikit
28/10/2025
Bab 9 kurang tidur
28/10/2025
Bab 10 memberi suasana yang muram
28/10/2025
Bab 11 ada jawaban dari semua luka
28/10/2025
Bab 12 menyisakan sisa air mata
28/10/2025
Bab 13 emalam mereka berhasil
28/10/2025
Bab 14 menuntaskan semua kebenaran
28/10/2025
Bab 15 kursi roda
28/10/2025
Bab 16 menghantui pikirannya
28/10/2025
Bab 17 keadilan telah ditegakkan
28/10/2025
Bab 18 baru saja mereka tinggalkan
28/10/2025
Bab 19 Kau bukan beban
28/10/2025
Bab 20 mengatur hidup
28/10/2025
Bab 21 pertaruhan
28/10/2025
Bab 22 pernah pergi
28/10/2025
Bab 23 mengisi apartemen
28/10/2025
Bab 24 kejujuran
28/10/2025
Bab 25 Ada firasat
28/10/2025
Buku lain oleh Mizatil Haya
Selebihnya