/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Maya tampak tergopoh-gopoh masuk rumahnya. Rumah yang ditinggalkan selama tiga tahun itu sudah banyak berubah. Yang dulu berupa bangunan dari kayu bambu, kini sudah berupa tembok yang kokoh.
"Bapak, Ibu, ada apa ini kok ramai sekali?" teriaknya saat turun dari ojek online yang ia tumpangi. Membawa satu koper besar dan satu koper kecil yang diseretnya.
Tampak seorang perempuan menemuinya. Mengenakan kebaya dan kain panjang khas orang desa. "Syukurlah kamu sudah sampai. Adikmu sebentar lagi menikah," ujar ibu Maya, yang bernama Sumirah.
"Apa? Ibu kok tidak bilang kemarin. Tahu begitu kan aku bisa belikan kado yang istimewa," ujar Maya.
"Ibu juga lupa. Kamu datang itu sudah kado istimewa buat adikmu," ujar ibu lagi.
"Baiklah. Di mana kamarku?" tanya Maya .
"Itu di sebelah kiri, nomor dua dari depan," ujar Sumirah. Ia menunjuk sebuah kamar dengan tirai warna biru.
Maya segera menyeret kopernya ke sana. Penerbangan hampir empat jam dari Hongkong ke Indonesia cukup melelahkan. Belum lagi jalan darat delapan jam yang harus ia tempuh untuk sampai ke kampung halamannya.
"Aku akan mebersihkan diri, habis itu tidur," ucap Maya dalam hati.
Setelah meletakkan koper, Maya segera menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Beberapa tetangga yang ia lewati menyalami Maya. Biasa, di kampung begitu setiap orang yang baru datang harus menyalami orang yang ditemui. Anehnya, tidak hanya menanyakan kabar. Tapi mereka juga banyak yang menasehati Maya untuk bersabar.
"Baru pulang Mbak Maya? Yang sabar ya," ujar bude Sumi, kakak bapak Maya.
"Pasti bawa oleh-oleh banyak ya Mbak? Mbak mandi dulu habis itu makan, biar kuat menghadapi kenyataan," ucap bulik Sarmi, adik ibu.
"Bulik ini ada-ada saja. Bisa guyon kekinian. Kenapa tidak sekalian, agar silaturahmi tidak putus, boleh pinjam seratus," canda Maya.
"Akh Mbak Maya ini, pinter bercanda. Selalu ceria. Semoga apapun yang terjadi nanti Mbak Maya selalu ceria," tambah lik Yanah, tetangga ibu Maya.
"Sarah di mana sekarang?" tanya Maya mengenai adiknya.
"Kan lagi dirias, habis ini ijab qobul," jawab bulik Sarmi.
Setelah mandi, Maya kembali ke kamar dengan menggunakan handuk kimono. Ia segera berganti baju. Ia memilih baju warna peach untuk acara ijab qobul adiknya. Berdandan tipis agar terlihat lebih segar.
"Maya, ayo makan dulu. Kamu pasti belum sarapan." Bulik Sarmi membawakan sepiring nasi ke kamar Maya.
Kenapa bukan ibuku yang perhatian seperti ini kepadaku? batin Maya dalam hati.
"Terima kasih Bulik," ujar Maya. Namun bulik Sarmi sudah berlalu dan kembali ke dapur.
Setelah Maya makan, tampak rombongan pengantin pria sudah datang. Semua orang menyambut dengan suka cita. Demikian juga Maya. Meskipun ia tidak tahu calon suami adiknya tidak masalah. Meskipun ia dilangkahi adiknya yang menikah duluan, juga tidak masalah. Melihat Sarah bahagia itu sudah cukup.
Maya menuju kamar adiknya. Sejak datang ia belum menemui adiknya.
""Sarah, akhirnya kamu yang duluan dapat jodoh. Selamat ya Dik," ujar Maya.
Anehnya adiknya hanya menjawab dengan anggukan. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Apalagi kata sambutan selamat datang. Padahal mereka sudah berpisah selama tiga tahun.
Sarah diiringi MUA keluar dari kamarnya menuju ke tempat pengantin pria yang sudah menunggu. Acara ijab ini akan dilangsungkan di sebuah masjid desa tidak jauh dari depan rumahnya. Hanya sedikit menyeberang jalan.
Sedangkan Maya sendiri baru menyusul beberapa saat kemudian. Sayang saat akan menyeberang jalan itu, Maya kurang hati-hati. Sebuah mobil mewah melintas. Maya hampir saja ditabrak mobil tersebut. Untung hanya bagian kakinya yang sedikit terluka jatuh terbentur aspal jalan.
Seorang pemuda turun dari kemudi. Mengenakan kacamata hitam. Dari penampilannya terlihat dia bukan warga desa tersebut. Mungkin pendatang yang kebetulan lewat.
"Hai kalau nyeberang hati-hati! Untung saja saya jalannya pelan," teriak pemuda tersebut dengan berkacak pinggang
"Hai Sombong. Ada orang jatuh malah dimarahi, tidak ditolong," sahut Maya balik.
/0/19371/coverorgin.jpg?v=675dc0a4ae540045ea021ae373289abd&imageMogr2/format/webp)
/0/10426/coverorgin.jpg?v=76818ceee2f802563efd68fcee7c15a5&imageMogr2/format/webp)
/0/17276/coverorgin.jpg?v=f48421a3957cf0d2753dcda12edfd578&imageMogr2/format/webp)
/0/2953/coverorgin.jpg?v=60678ef4de0d2131e5313582859027c8&imageMogr2/format/webp)
/0/3404/coverorgin.jpg?v=5045f89a127e58aca4fde590587897f1&imageMogr2/format/webp)
/0/13378/coverorgin.jpg?v=ccf175b59590ed22905f00b516dbe1e2&imageMogr2/format/webp)
/0/7195/coverorgin.jpg?v=66de677581964fb1265823dbf8169755&imageMogr2/format/webp)
/0/10516/coverorgin.jpg?v=01aff05d00205982dc45aa23981f69dc&imageMogr2/format/webp)
/0/12796/coverorgin.jpg?v=eca4627df25f42688ff2af3f4c66f383&imageMogr2/format/webp)
/0/12295/coverorgin.jpg?v=ae0a2f9e8b8d575d1e2e15375b69ead9&imageMogr2/format/webp)
/0/2947/coverorgin.jpg?v=7d61e574abf9ec2c2fc84fcd0505e606&imageMogr2/format/webp)
/0/10887/coverorgin.jpg?v=fa43449dedb7a96610a9331b748acfe1&imageMogr2/format/webp)
/0/10879/coverorgin.jpg?v=832f849f50e9ff94dbfcfb8d619a6081&imageMogr2/format/webp)
/0/15724/coverorgin.jpg?v=194392b7b635cd68b480d99590a02f0d&imageMogr2/format/webp)
/0/29178/coverorgin.jpg?v=067369df73f8b100414d9a2adbefb281&imageMogr2/format/webp)
/0/16134/coverorgin.jpg?v=66fc560e7566486585e9b8a6289ff325&imageMogr2/format/webp)
/0/17562/coverorgin.jpg?v=20240510133417&imageMogr2/format/webp)
/0/18065/coverorgin.jpg?v=e3ea30fe70602114f61553b6357c16d2&imageMogr2/format/webp)