Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Aku tak tahu mana yang lebih melelahkan
kaki yang terus mengejar
atau hati yang terus berharap?
***
Arga Eka Putra, demikian Ayah memberiku nama. Kata "Putra" di belakang adalah nama beliau. Sosok tenang, penyabar, tetapi sangat tegas dalam memegang prinsip hidup. Setidaknya itu yang menjadi ciri khas dalam sifat dan karakter Ayah.
Awal SMA, aku jatuh cinta pada teman sekelas. Namanya Melia Irawati. Ayah tersenyum saat aku bercerita tentang dia. Masih teringat jelas pesannya kala itu.
"Kalau kamu sungguh-sungguh suka sama dia, perjuangkan. Diterima, alhamdulillah. Kalau ditolak, maju lagi. Ditolak itu biasa. Ayah dulu ditolak sama ibumu berkali-kali. Nggak kehitung. Buktinya, kena juga, kan? Wong lanang kuwi menang milih, wong wedok kuwi menang nolak, Ga," tutur Ayah saat itu.
Ayah menegaskan bahwa seorang pria memang punya kuasa untuk memilih, perempuan mana yang akan dia nyatakan cinta. Sedangkan wanita, mereka punya ranahnya sendiri untuk kuasa menolak lamaran yang tidak mereka suka. Sudah kodratnya demikian. Jadi, sebagai seorang pria, tak boleh takut ditolak dan tak boleh mudah menyerah.
Hal itu juga yang aku lakukan pada Melia. Aku mencoba kesampingkan rasa malu dan minder untuk mencoba mendekatinya. Beruntung, aku diberkahi otak cemerlang sehingga Melia sering meminta bantuanku untuk memahami beberapa pelajaran.
Dan itu adalah momen indah bagiku. Aku bisa duduk berdekatan, memandang paras ayu yang hanya beberapa jengkal dari wajahku, bahkan aku bisa mencium aroma rambutnya yang unik, berbeda dari teman-teman lainnya.
Aku memang bukan tipe lelaki romantis, juga bukan tipikal pemuda gaul. Secara penampilan, bukannya tidak tampan. Kata teman-temanku sih, cukup menarik. Hanya saja, aku tipikal cowok rapi dan standar, baik untuk pilihan baju maupun aksesoris. Nothing special, pokoknya.
Pertama kali menyatakan cinta kepada Melia, aku hanya berani lewat tulisan saja. Selembar kertas yang aku tulis dengan penuh kesederhanaan. Tak ada kata indah, romantis, apalagi puitis.
Melia, mau nggak jadi pacarku? Arga.
Lebih parahnya lagi, aku bahkan tak berani memberikan langsung kepadanya. Aku menyisipkan kertas itu di buku pelajaran Melia. Beberapa hari menunggu jawaban, sepertinya dia belum menemukan kertas itu. Sampai suatu malam, tiba-tiba dia mengirimiku pesan via whatsapp.
[Ngaca, Ga! Gak usah lagi lo deket-deketin gw!]
Pesan itu teramat singkat, tetapi cukup untuk membuat seisi kamarku seolah berguncang terkena gempa. Begini rasanya ditolak. Seperti ini rasanya patah hati. Aku mengalaminya sekarang.
Aku tak punya cukup keberanian untuk membalas pesan tersebut. Kubiarkan saja. Sengaja kuendapkan dalam sepi dan sedihku.
~
Hadirmu adalah sebuah kenyataan,
mengenalmu mungkin ketidaksengajaan
mencintaimu bukanlah keharusan
memilikimu hanyalah angan
Bukan salah Tuhan menciptamu
salah diriku memujamu
mata harusnya tertutup
seperti hati layak terkunci
~
Beberapa hari mataku sulit terpejam. Makan pun terasa tak enak. Semua jadi hambar. Kondisi seperti lagu dangdut, tetapi memang itu yang aku rasakan. Bukan salah Melia menolakku. Mungkin, aku yang terlalu tidak tahu diri.
Di kelas, aku tak berani mendekati Melia sedikit pun. Bahkan, untuk sekadar menyapa saja, aku tetap tidak berani. Sungguh, tidak nyaman berada di situasi seperti ini. Sudah lebih dari seminggu kami terjebak suasana tidak mengenakkan.
Tiba-tiba, aku teringat pesan Ayah untuk tidak mudah menyerah. Pagi itu aku memberanikan diri menyapa Melia lagi, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.