/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
Sesi perbincangan dibuka setelah Helga selesai menaruh sendoknya, dan hendak minum. Emma memulai obrolan dengan muka lebay andalannya. “Kalian berdua sudah dengar isu terbaru di kampus kita belum?” tanya Emma sesudah menelan ayam gorengnya.
Hujan yang turun kala beberapa mahasiswa berhamburan di kantin, membuat suasana makin teduh dan menyenangkan bagi Galenka Helga. Namun, tidak banyak mahasiswa yang berada di sana. Kondisi kantin tak seramai saat matahari sedang terik-teriknya. Karena lokasi kantin berseberangan dengan gedung tempat Helga selesai belajar, sudah bisa dipastikan bahwa banyak mahasiswa yang lebih nyaman di kelas atau pun di tempat bersantai yang ada di belakang gedung kampus.
Dengan begitu, Helga dan dua temannya bisa makan tenang tanpa takut diganggu mahasiswa tengil yang belum dewasa. Ketiganya makan siang dengan duduk di satu meja yang sama. Helga dan Nafa satu bangku, sedangkan Emma duduk sendiri berhadap-hadapan dengan Helga.
Nafa yang selalu tertarik dengan berita gosip pun menggeleng. “Memangnya ada gosip apalagi?” balas perempuan itu yang tubuhnya sudah condong ke Emma.
“Pak Hadyan...! Pak Hadyan kepergok ciuman di depan ruangannya sama salah satu seniorku pas jalan di koridor.”
“Ciuman sama kating?!” pekik Nafa dengan mulut yang sudah menganga.
“Bukan, Fa! Ciuman sama perempuan, tapi bukan kating ... sepertinya, ya.”
Nafa lantas cemberut. Dia dengan muka tertekuk meraih jus mangga lalu meremas pegangan gelas. “Siapa yang gak tertarik? Dosen tampan, bentuk otot lengan yang menyegarkan, keturunan bule pula. Mana ada yang nolak?” terang Nafa sehabis minum.
Spontan Emma menunjuk Helga dengan tatapan matanya. Nafa pun menepuk jidat. “Helga tuh, mana mungkin tertarik sama pak Hadyan?” sahut Emma sebelum melanjutkan makannya.
Sementara Helga yang disinggung tetap saja makan tanpa beban. Ia memang tidak tertarik dengan isu-isu tentang dosen di universitas mereka. Terutama isu mengenai dosen mereka yang dicap paling tampan dan gagah, Hadyan. Karena menurut Helga, yang paling penting adalah belajar dan belajar. Gadis itu sama sekali tidak terpengaruh dengan gosip yang tersebar semenjak dirinya menjadi mahasiswa baru hingga kini ia sudah sampai di semester enam.
Nafa menoleh ke kiri, di mana Helga sudah berdiri. “Eh! Kamu mau ke mana, Hel?!”
“Ke kelas.”
“Bahas gosip dulu!”
“Hah! Isu itu tidak mutu!” balas Helga cuek sambil mengantongi dompetnya.
“Panjang umur!” semprot Emma mendelik. Dua temannya pun menoleh di mana mata Emma terarah. “Itu perempuan yang tadi dicium Pak Hadyan,” timpalnya berbisik saat sang dosen berjalan makin dekat ke arah mereka.
Nafa yang tampak terkejut pun kembali menatap Emma dan memuji, “Cantik. Pantas kalau Pak Hadyan suka! Belum lagi body seksinya.” Emma refleks mengangguk setuju.
Helga tanpa basa-basi langsung melanjutkan langkah kaki setelah sepasang matanya tak sengaja bertatapan dengan Hadyan. Kepala Helga menunduk sopan saat akan melewati pria berumur tiga puluh tahun itu.
*
Jarum jam yang rasa-rasanya seperti cepat berputar, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Waktu makan malam sudah terlewat satu jam, karena Helga lebih mementingkan tugas kuliahnya ketimbang memasak di dapur. Sang kakek yang menonton televisi pun dipanggilnya agar makan bersama di ruang makan.
Meja dengan empat kursi itu hanya dipakai oleh dua orang saja. Karena tak ingin ada jarak, Helga dan sang kakek makan berhadap-hadapan. “Calon suamimu bernama Gavi,” celetuk sang kakek yang membuat Helga berhenti mengunyah seketika. Lagi-lagi soal pria yang akan dinikahkan dengannya. Helga tak menyukai pembicaraan ini. “Dia sudah setuju.”
Melanjutkan kunyahannya sebelum menelan, Helga menatap sang kakek yang tengah memandangnya. “Kita sedang makan malam, Kek,” balasnya malas. “Bukankah Kakek tidak suka kalau ada orang yang makan sembari bicara?”
“Kakek hanya memberitahumu.”
Makan malam itu pun dilanjutkan tanpa ada dialog. Helga yang merasa terganggu sejak Adi menyebut nama lelaki, buru-buru menyelesaikan makannya. Dia juga segera membawa piring miliknya ke bak pencucian, dan lekas membersihkan kotoran di piring tersebut.
Suara Adi kembali mengusiknya. “Kakek minta maaf karena harus memaksamu menikah di usia muda dengan pria yang juga belum kamu kenal, Helga.”
Gadis itu meletakkan piringnya yang sudah bersih ke rak, dan memutar badannya hingga menghadap Adi. “Kalau Helga tahu dari awal uang kuliah dibantu teman Kakek, Helga tidak mungkin mau kuliah, Kek. Yang Helga sayangkan adalah Kakek tidak bicara dari awal kalau biaya kuliahku ditanggung teman Kakek,” ujarnya kecewa.
“Teman Kakek ingin pernikahan kalian dipercepat.”
Pupil Helga membesar begitu mendengar suara serak sang kakek. “Itu berarti tidak akan dilaksanakan setelah Helga wisuda?” Dengan muka sedih Helga menatap Adi.
“Iya. Persiapan pernikahan sudah delapan puluh persen.”
Mendengar itu air mata Helga tiba-tiba menggenang. “Sekali lagi Kakek minta maaf karena tidak bisa mengulur rencana pernikahanmu,” ucap Adi dengan satu tangan yang terulur ke kepala sang cucu. Tumpah sudah tangis cucunya begitu kedua tangan Adi merangkul. “Percaya pada Kakek, suamimu adalah pria yang bertanggung jawab dan menyayangimu.”
“Bagaimana Kakek bisa tahu? Melihatku saja dia tidak pernah.”
“Kakek sudah pernah mengirim foto-fotomu pada teman Kakek, dan anaknya tidak mungkin setuju menikah denganmu tanpa tahu wajahmu lebih dulu.”
Helga mundur dan kembali menatap Adi sambil menyahut, “Itu tandanya dia hanya menyukai fisikku, Kek. Bagaimana kalau dia tidak sesuai dengan penilaian Kakek setelah kami menikah?”
“Itu tidak mungkin. Kakek sudah mengenalnya sejak dia masih kanak-kanak. Hingga dia dewasa pun Kakek tahu kepribadiannya, Helga.” Adi menghapus air mata yang turun di pipi sang cucu, lalu mengusap rambut hitam panjang itu. “Berjanjilah pada Kakek untuk menjadi istri yang penurut, layanilah suamimu kelak dengan sepenuh hati, dan pertahankan rumah tangga kalian walaupun pernikahan itu didasari dengan perjodohan.”
“Helga belum siap, Kek ...,” lirih Helga yang sudah menangis begitu membayangkan dunia pernikahan.
Ada rasa takut yang begitu besar setelah mengetahui bahwa pernikahannya dipercepat, teramat kilat. Karena baru tiga bulan lalu ia diberitahu sang kakek bahwa dirinya akan dijodohkan dengan anak dari teman sekaligus majikan Adi serta kebenaran bahwa hampir tujuh puluh persen biaya kuliah dibantu oleh Hans Anderson, teman sang kakek tersebut. Lalu sekarang dia harus mendengar lagi bahwa pernikahan mereka dipercepat, membuat Helga ingin kabur saja.
“Tentu saja cucuku mampu menjadi istri yang baik. Helga yang Kakek kenal adalah gadis yang dapat diandalkan.” Adi kembali membawa tubuh Helga ke dalam pelukannya. “Hanya itu tadi pesan Kakek sebelum meninggalkanmu. Kakek tidak ingin cucu Kakek satu-satunya kesepian jika Kakek lebih dulu tiada, dan menyusul kedua orang tuamu,” bisiknya yang membuat air mata Helga tidak bisa berhenti menetes.
*
Bila kemarin Helga mendengar isu bahwa Hadyan tengah berciuman dengan perempuan yang diduga sang kekasih, kini gadis itu harus melihat lengan Hadyan dirangkul oleh perempuan berbeda lagi. Ya, orang itu berbeda dengan perempuan yang diajak ke kantin kemarin saat makan siang. Beberapa mahasiswi yang berada di sekelilingnya pun turut terkejut melihat pemandangan tersebut.
“Ini Pak Hadyan yang terlalu tampan sampai cewek-cewek berdatangan, atau memang Pak Hadyan yang kurang tegas?” tanya Nafa, tentunya tak berani kencang-kencang, karena Hadyan dan perempuan itu makin berjalan ke arahnya dan Helga.
/0/15325/coverorgin.jpg?v=bc443b2fe4f706c1171c34a92edb313f&imageMogr2/format/webp)
/0/2271/coverorgin.jpg?v=cee7b8f96f143390feaac003409d6d7f&imageMogr2/format/webp)
/0/2382/coverorgin.jpg?v=2f9a7be516cc5df3fabcdc4e5d695133&imageMogr2/format/webp)
/0/13618/coverorgin.jpg?v=aab15d9bad99d5a408270c875b6054a0&imageMogr2/format/webp)
/0/20480/coverorgin.jpg?v=7c7b8129708782ea9a0782b7c54d26a7&imageMogr2/format/webp)
/0/21651/coverorgin.jpg?v=296b929f550865724fb42d621e4a0dde&imageMogr2/format/webp)
/0/18539/coverorgin.jpg?v=0b8f4aca865147f2fd3d53813cb7d7aa&imageMogr2/format/webp)
/0/10800/coverorgin.jpg?v=46102e57a65da64192570e5e5b5a8f1b&imageMogr2/format/webp)
/0/3761/coverorgin.jpg?v=053c837d844ca1c9c4b5a40b04fbaad6&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)
/0/3577/coverorgin.jpg?v=9a10b40436f7abf9f3b857b8ccdd06e1&imageMogr2/format/webp)
/0/5790/coverorgin.jpg?v=9af903677fa8001e4c6d90e49bf62d0a&imageMogr2/format/webp)
/0/6758/coverorgin.jpg?v=764eba096ac126b500ed635d82081357&imageMogr2/format/webp)
/0/7843/coverorgin.jpg?v=fd5abd8393c59ee69f53adb1cf5258c0&imageMogr2/format/webp)
/0/10720/coverorgin.jpg?v=26db13cb8316e205f96f641575c80282&imageMogr2/format/webp)
/0/29970/coverorgin.jpg?v=8468e320cc264639e38e064c33f62408&imageMogr2/format/webp)
/0/16214/coverorgin.jpg?v=bd3cc26a627eb974d7232f0cb9cd42dc&imageMogr2/format/webp)
/0/24056/coverorgin.jpg?v=48457769f8c29c9d02a2cb0194e4f94a&imageMogr2/format/webp)
/0/3060/coverorgin.jpg?v=458da5b2f6c1147e9671b1eb41646839&imageMogr2/format/webp)