Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Menjelang senja.
Angin bertiup lembut. Menyapa dedaun. Sesekali berbisik pada ilalang. Dan tak jarang bertingkah nakal, meniup anak rambut kaum hawa.
Langit bersih tanpa awan. Menjadikan matahari yang hampir tumbang objek utama yang patut mendapatkan atensi penuh.
Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih saat jalanan di depan gadis itu mulai lengang. Menyisakan satu-dua mobil dan angkutan umum.
“Akhirnya sepi juga.” Gadis itu menghela nafas panjang. Tangannya membenarkan anak rambut yang tertiup angin. Tangan satunya ia masukan ke dalam saku hoodie.
Sembari menenteng kresek, ia menyebrang jalan. Tidak ada lampu merah yang menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyebrang di area itu. Tidak ada juga seorang pengatur lalu lintas atau semacamnya. Hal itu membuat kebanyakan orang malas menyebrang apalagi di jam-jam rawan seperti waktu masuk sekolah atau jam pulang kantor.
Satu menit yang berlangsung dengan cepat, gadis itu berhasil berada di sisi jalan trotoar yang lain. Dia hanya harus berjalan lurus untuk sampai ke rumah.
Itu adalah wilayah di pinggiran kota. Nuansanya bisa dibilang cukup sederhana. Jajaran ruko di pinggir jalan masih dengan mudah ditemukan. Pedagang keliling pun masih dibilang banyak. Pepohonan berjajar terpisah jarak setiap dua meter. Cukup untuk bisa dikatakan asri.
Polusi tidak terlalu tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan kehidupan di kota, kehidupan di sana jelas jauh lebih baik. Dengan tingkat kriminalitas rendah, hidup di sana bisa dibilang aman. Harga makanan dan bahan pokok lainnya pun masih terjangkau. Ah, jangan lupakan laut kecil kebanggan tempat itu. Laut dengan air biru jernih dan gemuruh ombak yang bersahabat. Tambahkan sentuhan manis matahari senja, sempurna sudah pemandangan di sana.
Hampir tidak ada nilai minus tinggal di pinggiran kota Trisa. Kalaupun ada, mungkin satu hal.
Tidak ada lapangan kerja yang menjanjikan gajih tinggi.
Mungkin itu penyebab para pemuda-pemudi di sana selalu bergegas pagi buta untuk pergi ke pusat kota untuk kemudian beramai-ramai pulang saat sore harinya. Membuat macet di jam-jam pagi dan sore hari.
Dering ponsel terdengar, menarik kembali atensi gadis dengan hoodie coklat yang kini asik membuka bungkus eskrim.
“Kau sudah bangun?” Sapa si pemilik ponsel setelah menekan layar ponsel dan meletakannya di telinga.
“Ya. Kau sudah selesai bekerja?” Suara serak khas orang yang baru bangun tidur terdengar.
“Aku baru saja menyebrang. Aku juga membawa beberapa es krim.”
“Baguslah. Aku akan menyiapkan makan malam.”
“Hm, aku akan segera pulang.”
“Dan tolong untuk selalu ingat untuk berhati-hati di jalan, Livia.”
Livia memasukkan es krim ke dalam mulut. Menghiraukan ucapan tersebut dan memilih memutuskan sambungan telpon.
Dia jelas bukan anak kecil.
“Dia selalu berlebihan.” Livia berdecak. “Lagipula apa yang harus dikhawatirkan? Aku hanya perlu melangkah lurus di jalan yang rata. Bukan harus naik gunung atau membelah lautan.”
**
Di tempat lain.
Mobil itu melaju dengan kecepatan penuh. Bergerak tanpa arah dan tujuan yang jelas. Tak terhitung berapa banyak lampu merah yang sudah ditrabas mobil itu.
Kecepatan mobil mulai stabil saat melintasi area pinggiran kota dan benar-benar berhenti di jembatan. Itu pun karena kendaraan roda empat itu kehabisan bahan bakar.
“Kacau!”
Pemilik kemudi mobil membenturkan kepalanya pada sandaran kursi. Dilihat dari perawakannya, usianya mungkin berkisar dua puluh lima tahun. Ia mengenakan kemeja yang dipadu padankan dengan celana hitam. Khas ala orang kantoran.
Berada di desa antah berantah, Ettan mencoba mengamati lingkungan sekitar. Dia sudah memeriksa ponsel. Namun tidak ada harapan. Benda pipih itu mati total karena kehabisan baterai.
Setelah hanya duduk diam selama sepuluh menit belakangan tanpa melakukan aksi apapun, pemuda itu memilih untuk keluar dari dalam mobil dan mencari bantuan warga sekitar. Saat itulah dia melihat sebuah sungai yang mengalir di bawah jembatan. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke arah sisi jembatan. Maniknya langsung jatuh pada aliran sungai yang tenang.
Seolah menghipnotis.
Setelah tangannya menyentuh pegangan jembatan besi yang sudah karatan itu, hal-hal yang sudah mengacau harinya melintas satu-persatu.