Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Apakah Aku Bahagia

Apakah Aku Bahagia

PujanggaCinta04

5.0
Komentar
16
Penayangan
25
Bab

Seorang wanita yang menjalani kehidupan pernikahan tanpa cinta, ia tinggal bersama suaminya tapi tetap memikirkan mantan kekasihnya. Tak hanya dilema tentang perasaan, tapi juga banyak masalah lain yang mengganggunya, termasuk ketidak mengertiannya karena dilibatkan dalam masalah bisnis. Merasa sangat tertekan karena semuanya, ia kerap berfikir untuk lari, tapi keadaan pun kerap kali menahannya tanpa kepastian apa pun

Bab 1 Fikirkan

"Frena, aku duluan ya," ucap Mouty.

"Baiklah, sampai bertemu besok."

Keduanya berpisah menuju rumah masing-masing, langkah Frena terhenti saat mendengar kegaduhan yang jauh di sana.

Frena menoleh, ia melihat seorang lelaki yang sedang dikejar beberapa orang, mereka meneriaki lelaki tersebut agar segera menghentikan larinya.

Meski tidak tahu apa-apa, Frena menarik lelaki itu dan membawanya bersembunyi agar terlepas dari kejaran mereka.

"Apa yang kau lakukan?" tanya setengah kesal.

Frena memintanya untuk diam saja, saat ini mereka harus memastikan jika orang-orang itu telah menjauh.

Frena membungkukan tubuhnya, dan benar mereka sudah menghilang sekarang.

"Apa kau sudah gila?"

"Kenapa aku yang gila, aku membantumu lepas dari mereka."

Frena mengernyit melihat reaksi kecewa dari lelaki di hadapannya, kenapa seperti itu? sudah seharusnya ia merasa senang karena sudah dibantu.

"Apa kau seorang pencuri? Atau mungkin kau pembunuh?" tanya Frena penuh curiga.

"Tutup mulutmu, menyebalkan sekali tuduhanmu itu."

Frena kembali diam, ia meneliti lelaki tersebut dari atas sampai bawah, buruk sekali, lelaki itu tampak buruk dengan baju lusuhnya dan kacamata bulat besarnya, kulitnya juga kusam seperti tidak mandi berbulan-bulan.

"Ah, aku harus segera pergi sekarang."

"Mau kemana, siapa mereka tadi?"

"Bukan urusanmu, dan sebaiknya kau pergi sekarang juga."

"Apa masalahnya, aku hanya ingin tahu saja."

Lelaki itu semakin prustasi karena keingin tahuan Frena, tanpa berkata apa pun juga, ia mendorong Frena agar segera pergi dari hadapannya.

"Hey ...."

"Diam tanpa suara dan pergerakan apa pun."

Kalimat Frena belum usai, ia lebih dulu dibuat terkejut oleh todongan pistol di kepalanya.

"Angkat tangan kalian."

Frena melihat lelaki itu mengangkat tangannya, dengan takut Frena mengikuti pergerakan itu.

Saat bersamaan, Frena melihat orang-orang yang tadi mengejar lelaki di hadapannya.

"Aku sudah katakan pergi sejak tadi."

"Tapi ...."

"Diam!"

Frena seketika menunduk, ia menelan ludahnya seret saat mendengat suara keras itu.

"Jangan kasar padanya."

"Kau juga diam!"

Frena memejamkan matanya, jantungnya mendadak bergemuruh, apa yang telah dilakukannya adalah kesalahan besar.

"Tulis nomor telepon mu di sini."

Frena menoleh, ia melihat ponsel yang diberikan padanya, dengan ragu Frena menerimanya dan menuliskan nomor teleponnya.

"Jangan berani menolak panggilan ku, atau hidup mu akan selalu terancam."

Frena terkejut saat ponsel itu direbut dengan kasar, sekilas Frena melirik lelaki itu, salah apa yang dilakukan lelaki itu sampai harus seperti saat ini.

"Bawa dia pergi," perintah penodong pistol itu.

Mereka membawa lelaki itu dengan mudah, tak ada perlawanan lagi, kali ini lelaki itu menurut saja saat dibawa oleh mereka.

"Jangan ikut campur atas hal yang bukan urusanmu, atau kau akan celaka karena ulah sendiri."

Frena perlahan mengangkat kepalanya, kedua matanya menyipit saat melihat penadah pistol itu pergi begitu saja.

Kedua tangannya kembali turun, apa yang sebenarnya terjadi, kenapa mereka seperti itu.

"Frena, kau baik-baik saja?"

Frena menoleh, ia sedikit heran melihat Mouty yang masih ada di dekatnya.

"Kau .... Bukankah sudah pulang?" tanya Frena yang masih setengah fokus.

"Aku mendengar teriakan mereka, dan aku melihatmu menarik lelaki tadi, aku menghampirimu tapi aku melihat lelaki itu dengan senjatanya, aku takut makanya aku bersembunyi," jelas Mouty sedikit bergetar.

Frena diam saja, bahkan Frena tidak mengerti dengan apa yang terjadi beberapa saat lalu, ia hanya berniat menolong lelaki itu.

"Frena," panggil Mouty seraya mengoyak pundak Frena.

"Hah .... Iya, apa?"

"Apa yang terjadi, apa mereka menyakitimu?"

"Ah tidak tidak, tidak ada apa pun yang terjadi padaku, aku baik-baik saja."

"Hah syukurlah."

Frena tersenyum singkat, ia kembali diam mengingat mereka semua, siapa mereka sebenarnya, kenapa begitu menakutkan.

Frena tidak sempat melihat wajah penodong senjata itu, tapi melihat tampilan belakangnya sudah jelas jika lelaki itu bukan orang sembarangan.

"Frena," panggil Mouty masih dengan kepanikannya.

"Mouty, sebaiknya kita pulang sekarang, kita harus selesaikan tugas kita, bukan?"

"Ya kau benar, tapi aku khawatir kalau mereka akan menemui mu lagi."

"Bicara apa kau ini, siapa mereka sampai harus kembali menemui ku? Sudahlah Mouty, ayo kita pulang sekarang."

Mouty hanya mengangguk, dengan ragu ia berbalik dan perlahan meninggalkan Frena.

Frena juga pergi dari tempatnya, ia berusaha masa bodoh dengan semua yang terjadi sekilasan itu, meski sebenarnya Frena merasa penasaran dengan semua itu.

"Jangan melawan lagi, kau tidak akan bisa lari sekarang."

Lelaki itu didorong hingga tersungkur di lantai sana, mereka lantas keluar sesuai dengan perintah atasannya itu.

"Vicran, apa sebenarnya yang kau cari?" tanya lelaki berperawakan tinggi berisi itu.

"Aku hanya ingin urusan kita selesai."

Mendengar kalimat lelaki yang tak berdaya itu, ia tertawa dengan renyahnya, dengan langkah angkuhnya ia mendekat dan menarik Vicran untuk bangkit.

"Sudah aku katakan, semua akan selesai jika kau mau mengakui kesalahanmu."

"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi jangan memaksa aku untuk mengakui apa yang tidak seharusnya aku akui, Dava."

Tatapan Dav seketika tajam, layaknya singa yang siap menerkam mangsa, Dava menatap Vicran dengan segenap emosinya.

"Kau tidak tahu bagaimana rasanya dituduh, kau tidak tahu bagaimana rasanya harus mengakui kesalahan yang bahkan aku sendiri tidak tahu, kau fikir ini menyenangkan?"

Vircan balik mendorong Dava, tidak ada yang tahu jika mereka adalah dua bersaudara, mereka adalah adik kakak yang saling membenci.

Dava adalah adik yang jahat, ia bisa menyakiti siapa pun demi kebahagiaannya, bahkan menyakiti Vicran yang tak lain adalah kakaknya sekali pun.

"Kau sudah sangat kurang ajar padaku, kau sudah sangat menyakiti harga diriku."

"Dan kau fikir aku perduli, dengar baik-baik, semua terjadi karena kesalahanmu sendiri."

"Aku tidak bersalah!" bentak Vicran prustasi.

Entah sampai kapan masalah diantara mereka akan berakhir, Vicran sudah sangat mengalah untuk adiknya itu tapi entah apa lagi alasannya hingga segala kesalahan masih harus ditanggungnya.

"Vicran, kau harus ingat kalau aku bisa melakukan apa pun."

"Ya .... Tentu saja aku ingat, itu adalah hal yang tidak bisa aku lupakan dari Adik ku sendiri."

"Bagus, dan sebaiknya kau mulai fikirkan wanita asing itu, aku bisa melakukan apa pun padanya dan melimpahkan kesalahannya padamu."

Vicran diam, itu adalah hal buruk yang selalu Dava lakukan, dan semua yang dikatakannya bukan omong kosong yang bisa Vicran abaikan.

Wanita itu, siapa dia, kenapa harus membantunya seperti itu, dan sekarang Vicran jadi tertekan lagi karena ulah wanita itu.

"Sudah cukup untukmu berfikir, bukankah waktumu hanya sampai malam ini, aku memiliki wanita asing itu sekarang yang pasti akan sangat kau perdulikan."

"Dava!"

Dava mengangkat tangannya meminta Vicran untuk diam, dengan santai Dava melihat jam di pergelangan tangannya dan tersenyum penuh kemenangan.

"Jam 4 sore, itu artinya hanya 4 jam lagi waktumu, banyak hal yang akan terjadi dalam 4 jam terakhir, dan pemain baru itu akan sangat menguntungkan aku."

Dava mengangkat sebelah alisnya, tatapan yang begitu menantang Vicran, senyuman yang sangat merendahkannya.

Kedua tangan Vicran mengepal kuat, melihat Dava melenggang pergi dengan penuh keangkuhan itu, membuat emosi Vicran semakin memuncak.

"Siapa pun wanita itu, dimana pun dia, temukan dan lakukan apa pun yang bisa membuat Vicran mengalah," ucap Dava pada mereka semua.

Senyuman Dava semakin sempurna ketika matanya melihat mereka semua pergi, keberuntungan memang selalu ada dipihak Dava dan sampai saat ini semua masih sama.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku