Setelah dunia sempurnanya hancur, Livia tidak lagi peduli pada pendidikan, penampilan, bahkan pada rutinitas harian. Gadis itu acuh tak acuh dalam segala hal. Ia hanya merasa kalau dirinya harus hidup untuk memberikan makan pada anak-anak kucing peliharaannya. Hanya itu. Namun, segalanya berubah saat ia tak sengaja bertemu dengan Ettan, seorang pemuda yang berniat bunuh diri dengan lompat dari jembatan di atas sungai. Sosok yang memiliki sifat dan kehidupan yang begitu berkebalikan darinya itu justru menarik perhatian gadis itu. Ettan pun berpikir demikian. Sikap Livia yang berbeda dengan gadis lain membuatnya perlahan menaruh perhatian lebih pada gadis itu. Berkat beberapa pertemuan yang disengaja, mereka perlahan menjadi dekat. Namun, fakta dari latar belakang keluarga yang tak pernah mereka tahu akhirnya datang dan menjadi sebuah bom besar bagi hubungan mereka. "Ettan, jika dari awal aku tau kau adalah anak bajingan itu, aku pastikan kalau aku sendiri yang akan mendorongmu jatuh dari jembatan saat itu." Livia menatap Ettan dengan tangan mengepal. Matanya merah, menatap penuh amarah. "Kalau begitu, kau bisa melakukannya sekarang, Livia. Dengan senang hati." Akankah Livia membalaskan dendam pada seseorang yang menjadi faktor utama kehancuran dunianya? Bisakah cinta cukup dijadikan sebagai ucapan maaf atas kepedihan hidupnya? Ikuti kisah mereka eksklusif hanya di Bakisah.
Menjelang senja.
Angin bertiup lembut. Menyapa dedaun. Sesekali berbisik pada ilalang. Dan tak jarang bertingkah nakal, meniup anak rambut kaum hawa.
Langit bersih tanpa awan. Menjadikan matahari yang hampir tumbang objek utama yang patut mendapatkan atensi penuh.
Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih saat jalanan di depan gadis itu mulai lengang. Menyisakan satu-dua mobil dan angkutan umum.
"Akhirnya sepi juga." Gadis itu menghela nafas panjang. Tangannya membenarkan anak rambut yang tertiup angin. Tangan satunya ia masukan ke dalam saku hoodie.
Sembari menenteng kresek, ia menyebrang jalan. Tidak ada lampu merah yang menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyebrang di area itu. Tidak ada juga seorang pengatur lalu lintas atau semacamnya. Hal itu membuat kebanyakan orang malas menyebrang apalagi di jam-jam rawan seperti waktu masuk sekolah atau jam pulang kantor.
Satu menit yang berlangsung dengan cepat, gadis itu berhasil berada di sisi jalan trotoar yang lain. Dia hanya harus berjalan lurus untuk sampai ke rumah.
Itu adalah wilayah di pinggiran kota. Nuansanya bisa dibilang cukup sederhana. Jajaran ruko di pinggir jalan masih dengan mudah ditemukan. Pedagang keliling pun masih dibilang banyak. Pepohonan berjajar terpisah jarak setiap dua meter. Cukup untuk bisa dikatakan asri.
Polusi tidak terlalu tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan kehidupan di kota, kehidupan di sana jelas jauh lebih baik. Dengan tingkat kriminalitas rendah, hidup di sana bisa dibilang aman. Harga makanan dan bahan pokok lainnya pun masih terjangkau. Ah, jangan lupakan laut kecil kebanggan tempat itu. Laut dengan air biru jernih dan gemuruh ombak yang bersahabat. Tambahkan sentuhan manis matahari senja, sempurna sudah pemandangan di sana.
Hampir tidak ada nilai minus tinggal di pinggiran kota Trisa. Kalaupun ada, mungkin satu hal.
Tidak ada lapangan kerja yang menjanjikan gajih tinggi.
Mungkin itu penyebab para pemuda-pemudi di sana selalu bergegas pagi buta untuk pergi ke pusat kota untuk kemudian beramai-ramai pulang saat sore harinya. Membuat macet di jam-jam pagi dan sore hari.
Dering ponsel terdengar, menarik kembali atensi gadis dengan hoodie coklat yang kini asik membuka bungkus eskrim.
"Kau sudah bangun?" Sapa si pemilik ponsel setelah menekan layar ponsel dan meletakannya di telinga.
"Ya. Kau sudah selesai bekerja?" Suara serak khas orang yang baru bangun tidur terdengar.
"Aku baru saja menyebrang. Aku juga membawa beberapa es krim."
"Baguslah. Aku akan menyiapkan makan malam."
"Hm, aku akan segera pulang."
"Dan tolong untuk selalu ingat untuk berhati-hati di jalan, Livia."
Livia memasukkan es krim ke dalam mulut. Menghiraukan ucapan tersebut dan memilih memutuskan sambungan telpon.
Dia jelas bukan anak kecil.
"Dia selalu berlebihan." Livia berdecak. "Lagipula apa yang harus dikhawatirkan? Aku hanya perlu melangkah lurus di jalan yang rata. Bukan harus naik gunung atau membelah lautan."
**
Di tempat lain.
Mobil itu melaju dengan kecepatan penuh. Bergerak tanpa arah dan tujuan yang jelas. Tak terhitung berapa banyak lampu merah yang sudah ditrabas mobil itu.
Kecepatan mobil mulai stabil saat melintasi area pinggiran kota dan benar-benar berhenti di jembatan. Itu pun karena kendaraan roda empat itu kehabisan bahan bakar.
"Kacau!"
Pemilik kemudi mobil membenturkan kepalanya pada sandaran kursi. Dilihat dari perawakannya, usianya mungkin berkisar dua puluh lima tahun. Ia mengenakan kemeja yang dipadu padankan dengan celana hitam. Khas ala orang kantoran.
Berada di desa antah berantah, Ettan mencoba mengamati lingkungan sekitar. Dia sudah memeriksa ponsel. Namun tidak ada harapan. Benda pipih itu mati total karena kehabisan baterai.
Setelah hanya duduk diam selama sepuluh menit belakangan tanpa melakukan aksi apapun, pemuda itu memilih untuk keluar dari dalam mobil dan mencari bantuan warga sekitar. Saat itulah dia melihat sebuah sungai yang mengalir di bawah jembatan. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke arah sisi jembatan. Maniknya langsung jatuh pada aliran sungai yang tenang.
Seolah menghipnotis.
Setelah tangannya menyentuh pegangan jembatan besi yang sudah karatan itu, hal-hal yang sudah mengacau harinya melintas satu-persatu.
"Kalau begitu, kau bisa pergi menyusul Ibumu!"
"Sepertinya kau tidak punya otak. Aku bahkan merasa ingin muntah karena harus tinggal satu rumah denganmu!"
"Kau gila?! Aku ragu kau adalah adalah anak kandung Ayahmu. Orang lain pun akan berpikir kalau kau hanya anak pungut bila melihat kinerjamu ini."
"Dia anak Presdir itu?"
"Bukankah dia sama sekali tidak mirip dengan Pak Presdir?"
"Pak Deni bahkan memarahinnya habis-habisan karena dia sama sekali tidak mengerti soal bisnis."
"Bukankah itu menyedihkan."
"Kalau aku jadi dia mungkin aku akan bunuh diri saking malunya."
Ettan mendecih.
Pagi ini adalah hari pertamanya datang ke kantor sang Ayah. Setelah sebelumnya mendapatkan sarapan berupa makian dari sang Ibu dan ekspresi jijik sang adik, Ettan mendapatkan jatah makan siang omelan dan ejekan dari seluruh anak-anak di kantor.
"Wuah.... Sungguh luar biasa." Ettan tersenyum miris. "Aku kembali dari Australia setelah menyelesaikan studi hanya untuk mendapatkan satu hari menyebalkan."
Pemuda itu menunduk. Maniknya menatap kembali aliran sungai yang kini terlihat sedikit berwarna oranye. Senja di langit barat mungkin sengaja membagi sedikit keindahan untuk sungai itu.
"Apa aku bisa langsung mati jika jatuh dari sini?"
"Itu konyol sekali."
Seruan itu datang dari sebelah kanan. Entah sejak kapan, Livia sudah berada di samping pemuda itu.
"Sejak kapan kau di sini?" Ettan menoleh, menatap Livia dengan sorot bingung.
Livia tak menyahut. Ia masih asik menatap aliran sungai. Titik yang sama dengan yang Ettan tatap sebelumnya.
"Tinggi jembatan ini hanya sekitar empat atau lima meter, sungai di bawah juga dangkal. Tidak cukup untuk membuatmu tenggelam. Dibandingkan mati, mungkin kau hanya akan mendapatkan luka ringan dengan ekstra rasa malu karena dianggap gila mencoba bunuh diri di sungai ini."
"Eh?"
Livia mengulas senyum kecil. Beralih menatap Ettan yang lebih tinggi sepuluh senti darinya.
"Tapi, kalau kau mungkin masih punya niat untuk bunuh diri, aku punya beberapa saran tempat untukmu."
"Saran?"
Ettan mengernyit, bingung. Livia jelaslah gadis aneh di matanya. Tubuh kecil yang terbungkus hoodie dan celana setinggi lutut. Rambut panjang diikat asal ke belakang, menyisakan poni rata di atas alis. Bukankah usianya masih muda dan (ehem) terlalu imut untuk mengatakan dan menyarankan tempat untuk bunuh diri?
Sama sekali tak merasa terintimidasi dengan tatapan Ettan, Livia kini asik menjilati es krim miliknya.
"Ayo, ikut aku ke rumah!"
"Apa kau akan membunuhku atau semacamnya? Psikopat?" Ettan kini berganti menatap Livia dengan sorot horor. Sepertinya psikopat sekarang sedang tren menyamar menjadi gadis mungil dan (ehem) imut.
Livia tergelak.
"Aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya harus menemui Yuda terlebih dulu."
"Apa Yuda yang akan membunuhku?"
Livia kini berdecak sebal.
"Kau jadi mau mati apa tidak?"
Bab 1 TIDAK CUKUP UNTUK MEMBUATMU MATI
22/10/2022
Buku lain oleh Winter_
Selebihnya