/0/24416/coverorgin.jpg?v=3f42961cc95c0f05100f937190aa6aeb&imageMogr2/format/webp)
"Cantik bener calon istri cucu nenek," puji Sovia, perempuan berusia 66 tahun tersebut menelisik penampilan sederhana Anggun dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tersenyum puas.
Terhitung sudah hampir 5 tahun lamanya Sovia tidak pernah berjumpa lagi dengan gadis cantik di hadapannya. Sebagai pencetus perjodohan antara cucunya dan cucu sahabatnya tersebut Sovia berharap pernikahan itu berjalan lancar. Mengingat cucunya yang hingga kini belum juga memiliki niat untuk berumah tangga maka Sovia terpaksa harus turun tangan. Tentu saja Sovia tidak ingin cucunya tersebut terus berstatus melajang. Sebelum dirinya meninggal dunia ia ingin melihat cucunya menikah dan hidup bahagia bersama keluarga barunya.
"Nek, maksudnya apa ini? Kenapa Nenek Sovia bicara seperti itu?" bisik Anggun di telinga perempuan tua berusia 66 tahun yang tampak sumringah sejak kedatangan sahabatnya 50 menit yang lalu.
"Kan sudah aku bilang sejak dulu klo cucuku ini selain pintar dia juga cantik," balas Umi, nenek Anggun dengan bangga tanpa berniat menjawab pertanyaan dari cucunya.
Lalu kedua nenek tersebut tertawa bersama. Puas dengan keinginan mereka masing-masing. Umi bertujuan mencari seseorang yang mampu menjaga dan mendidik cucunya kelak sedangkan Sovia menginginkan hati cucunya yang telah beku segera mencair karena patah hati yang pernah dialaminya. Tentu saja semuanya impas. Urusan cinta, kedua perempuan tua itu yakin jika cucu mereka nantinya pasti akan jatuh cinta dengan seiring berjalannya waktu.
"Bagaimana klo kita makan malam bersama dulu sambil menunggu cucumu datang?" tawar Umi karena tak ingin masakannya dingin.
"Ayo! Dia pasti datang. Tadi katanya ada urusan penting sebentar," balas Sovia lalu beranjak dari tempat duduknya. Namun belum sampai mereka semua meninggalkan ruang tamu terdengar suara pintu mobil dari luar. Mereka akhirnya menunggu kedatangan seseorang yang menjadi topik pembicaraan mereka sejak tadi.
"Nah dia sudah datang," ujar Sovia dengan tersenyum lebar. Akhirnya cucunya datang juga.
"Nek, ini ada apa sih! Anggun nggak ngerti deh!" Kembali Anggun berbisik di telinga Umi menuntut penjelasan. Tak seperti tadi Umi acuh, kali ini perempuan tua itu memberikan jawaban yang membuat Anggun langsung syok.
"Udah kamu tenang aja. Calon suami kamu sudah datang itu," balas Umi lalu melangkah bersama Sovia menyambut kedatangan laki-laki yang disebut-sebut sebagai calon suami Anggun tersebut.
"Assalamualaikum," salam laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan seulas senyuman.
Laki-laki berpakaian serba hitam itu terlihat lebih muda dan tampan tanpa kacamata yang biasa menemani hari-harinya. Celana hitam berpadu kemeja senada lantas tetap tak mampu menutupi tubuh atletis yang tercetak jelas di sana. Bulu-bulu halus yang sengaja dibiarkan mengitari rahang tegasnya menjadi nilai plus untuk laki-laki dewasa tersebut. Tentu tak akan ada satupun perempuan yang mengingkari pesonanya. Mata elang yang biasanya menyorot tajam pada siapapun yang ditemuinya malam ini berubah menjadi lembut. Pun dengan senyuman lembutnya yang mampu mencairkan gunung es sekalipun.
Namun hal itu tidak berlaku bagi Anggun yang masih membeku di tempatnya. Semua nilai plus tadi tak berguna baginya. Laki-laki di hadapannya bukanlah tipe suami idamannya. Anggun menginginkan laki-laki yang kelak menjadi imamnya adalah laki-laki religius. Memiliki ilmu agama yang mumpuni. Jika perlu ustadz sekalian agar mampu menuntunnya kembali ke jalan yang benar. Anggun sangat sadar jika dirinya selama ini telah tersesat. Untuk itu ia selalu berdoa dalam setiap salatnya agar diberikan jodoh laki-laki yang shaleh.
"Pak Arjuna!" Pekik Anggun saat kedua netranya mengenali siapa sosok laki-laki tersebut. Dia adalah guru BK di sekolahnya. Guru yang paling hobi memberikan hukuman padanya.
"Maaf Nek saya datang terlambat," ucap Arjuna setelah menatap Anggun sekilas. Diraihnya tangan keriput Umi dan Sovia lalu diciumnya penuh takzim.
Melihat cara Arjuna memperlakukan neneknya membuat Anggun yakin jika mereka sudah saling kenal sejak lama. Memang Anggun sudah beberapa kali bertemu dengan Nenek Sovia tapi dengan cucunya Anggun belum pernah bertemu sama sekali.
"Ndak papa Nak yang penting kamu sudah datang sekarang," jawab Umi sembari menelisik penampilan laki-laki muda di hadapannya. Tentu saja Umi yakin jika laki-laki pilihannya untuk Anggun tidak akan salah. Arjuna pasti mampu menjaga Anggun dengan baik ketika ajal tiba-tiba menjemputnya kelak. Saat itu Umi akan pergi dengan tenang.
Tiba-tiba saja Anggun menggamit lengan Umi dan membawanya sedikit menjauh dari Sovia dan cucunya.
"Nek, ini cuma bercanda kan? Kenapa ada Pak Arjuna di sini? Tolong Nek jelasin ke Anggun," cecar Anggun dengan lirih yang tentu saja masih bisa terdengar jelas oleh Sovia dan Arjuna.
"Loh bercanda gimana sih Nduk, Nenek kan udah pernah bilang klo kamu sudah dijodohkan dengan cucu sahabat Nenek," balas Umi memberikan pengertian.
Anggun melayangkan tatapan ke arah Arjuna yang sejak datang tadi tersenyum padanya. Sungguh ini adalah sebuah bencana besar bagi Anggun. Mana mungkin guru BK yang selama ini sangat dibencinya justru yang akan menjadi suaminya. Bisa-bisa Anggun mati berdiri karena harus mendengarkan tausiah membosankan seperti yang biasa dilakukan oleh laki-laki itu di sekolah. Membayangkan hidup bersama Arjuna selama 24 jam plus seumur hidup tentu membuat Anggun tak mampu berkata-kata lagi. Nasibnya benar-benar nahas.
Gegas Anggun mengurai gamit tangannya dari lengan Umi lalu mendekati Arjuna tanpa sedikit pun memutus kontak netra mereka yang sejak tadi saling memaku.
"Pak ini cuma bercandaan kan?" tanya Anggun dengan serius.
"Tanyakan saja pada Nenek Umi dan Nenek Sovia," balas Arjuna dengan santai.
Anggun menghela napas panjang. Mencoba melapangkan dadanya yang mendadak terasa sesak bagai terhimpit batu besar. Dunianya runtuh seketika. Mendadak pandangan Anggun mengabur lalu tak lama gelap gulita menguasai kesadarannya.
"Ya Allah Nduk kamu kenapa?" Umi panik mendapati Anggun yang saat ini berada dalam pelukan Arjuna dalam kondisi tak sadarkan diri. Seingatnya tadi Anggun tidak apa-apa. Cucunya sehat wal afiat. Tapi mengapa tiba-tiba bisa pingsan?
Sovia pun tak kalah panik, diusapnya kening Anggun lalu memerintahkan Arjuna untuk segera membawa gadis itu ke kamarnya. Gegas Umi berjalan menuju kamar Anggun dan membuka pintu. Arjuna segera membawa tubuh lemas Anggun dan merebahkan di atas ranjang secara perlahan.
"Nenek nggak perlu panik. Anggun nggak papa kok, dia cuma kaget," terang Arjuna untuk menenangkan kepanikan kedua perempuan tua yang masih terlihat bugar dan lincah tersebut.
"Nenek ambil minyak kayu putih dulu," pamit Umi lalu bergegas ke luar dari kamar cucunya. Mengambil minyak kayu putih secepatnya.
Dipandanginya wajah Anggun dengan saksama. Terselip rasa bersalah dalam hatinya karena menerima perjodohan mereka. Anggun masih terlalu muda untuknya. Masa depan gadis itu masih panjang. Seharusnya Anggun meneruskan pendidikannya bukan malah menikah. Tapi Arjuna pun tidak memiliki pilihan lain. Ia tidak mungkin mengecewakan neneknya lagi. Apalagi neneknya lah yang paling antusias dengan perjodohan ini.
Tak lama Umi kembali dengan sebotol minyak kayu putih di tangannya. Arjuna lantas menerima dan segera membuka tutup botol tersebut. Tiba-tiba Arjuna teringat jika dirinya harus melepaskan sesuatu yang dipakai oleh Anggun.
"Nek saya izin untuk melepaskan pengait...," ucap Arjuna yang mendadak merasa gugup dan tidak berani menyebutkan barang pribadi yang dikenakan oleh Anggun.
"Ya udah lepasin aja. Lagian minggu depan kalian juga bakal menikah," tukas Sovia yang saat ini duduk di tepi ranjang sambil mengusap kepala Anggun.
Arjuna menghela napas panjang sebelum menyusupkan satu tangannya ke belakang punggung Anggun. Dia laki-laki dewasa normal yang tentu saja sensitif jika bersentuhan langsung dengan kulit halus seorang perempuan. Apalagi sudah dengan jelas barang apa yang akan dilepaskannya. Pengait penutup dada milik Anggun. Bagian tubuh perempuan paling menggoda yang pasti menjadi favorit para kaum adam.
/0/16751/coverorgin.jpg?v=f612d8dba1185a003f2be71447074c8c&imageMogr2/format/webp)
/0/22027/coverorgin.jpg?v=810f027801007e6bcf6025a1f3d067a7&imageMogr2/format/webp)
/0/4139/coverorgin.jpg?v=541f6d8080596c816ddfc5dc072bf482&imageMogr2/format/webp)
/0/7714/coverorgin.jpg?v=abfa39172a66c8f77a357e0be611862a&imageMogr2/format/webp)
/0/8028/coverorgin.jpg?v=39a7afaf43f7759fb64cc79f044421d6&imageMogr2/format/webp)
/0/12393/coverorgin.jpg?v=373847164c0c6ea0665053b7c61f5201&imageMogr2/format/webp)
/0/14556/coverorgin.jpg?v=35652c42a4e2ae84e49f2ef12d7d9ce2&imageMogr2/format/webp)
/0/9153/coverorgin.jpg?v=d739cadec9e6d9f609887335587c2f88&imageMogr2/format/webp)
/0/2746/coverorgin.jpg?v=448db4eb343ee254be965967a044f6e4&imageMogr2/format/webp)
/0/17720/coverorgin.jpg?v=1aba12b701e878ef320810666b985c0b&imageMogr2/format/webp)
/0/4208/coverorgin.jpg?v=ef5fa7481849bbf2a8fb9e85f73eb156&imageMogr2/format/webp)
/0/12716/coverorgin.jpg?v=a3a8082f94dbd5c1a0ea002f26acaa1d&imageMogr2/format/webp)
/0/19453/coverorgin.jpg?v=27cf6cfd19e4e6b5bb18463954ec3562&imageMogr2/format/webp)
/0/5549/coverorgin.jpg?v=ed16dc7d04195933c7aec37e6dffdbf2&imageMogr2/format/webp)
/0/8017/coverorgin.jpg?v=45a6efcf70996b0335c4f90c3c4d37b9&imageMogr2/format/webp)
/0/12410/coverorgin.jpg?v=06e5ff3fa2e2901763ed22045c316af9&imageMogr2/format/webp)
/0/19245/coverorgin.jpg?v=22b1f68eeefe2fcb98fb459b90630e51&imageMogr2/format/webp)
/0/15442/coverorgin.jpg?v=ef4cf7c8252af2c39a87b4debdcf16d1&imageMogr2/format/webp)
/0/23272/coverorgin.jpg?v=eaa0d2b2032ca3fb17ab72fb67610590&imageMogr2/format/webp)