/0/24873/coverorgin.jpg?v=3bb5d9f52074eb9898689abd6ad7c196&imageMogr2/format/webp)
Diajeng Kirana Ardani, wanita yang kerap disapa Kiran itu segera berdiri dari lantai yang dingin ketika ia mendengar suara pintu kamar terbuka. Wanita yang berusia 27 tahun itu mengangkat pandangannya dari lantai, melihat ke arah suaminya, Arka, yang telah pulang kerja.
"Mas, kamu sudah pulang?"
"Malam ini banyak pekerjaan yang harus diurus. Jadi, aku baru sempat pulang sekarang," jawab Arka sambil menaruh tas dan ponselnya di meja.
Arkana Wirasena, anak tunggal dari almarhum Wirasena itu bekerja sebagai seorang manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi besar. Tanggung jawabnya besar, mulai dari mengawasi pembangunan hingga memastikan segala sesuatu berjalan sesuai jadwal. Hari-harinya sering kali dihabiskan di lokasi proyek, yang membuatnya selalu pulang larut malam, bahkan kadang tak pulang ke rumah.
"Mas, aku ingin bicara," ujar Kiran, sambil mengangkat pandangannya, menatap ke arah Arka begitu gelisah.
Arka yang sedang melepas kancing kemejanya, sejenak menghentikan aktivitasnya, dan menatap Kiran yang sedang berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Tepat di hadapan suaminya, Kiran menyodorkan sebuah alat tes kehamilan ke arah Arka.
Arka yang melihat itu, segera meraih alat berbentuk panjang tersebut dari tangan Kiran dengan wajah bingung. "Apa ini?"
"Aku hamil, Mas."
Wajah Arka seketika berubah menjadi marah mendengar itu. "Kenapa bisa kamu hamil? Bukannya kita sudah berjanji untuk menunda kehamilanmu?"
Selama ini, Arka selalu meminta agar mereka menunda memiliki momongan terlebih dahulu, meskipun mereka sudah menikah selama lima tahun.
Sorot mata Arka yang berwarna coklat tajam menembus dinding hati Kiran. Tak ayal, Kiran selalu takut dengan sorot mata tersebut. Dia terdiam, bibirnya terkatup rapat, tubuhnya bergetar ketika mendapatkan tatapan tajam dari suaminya.
"Ayo jawab, kenapa kamu diam saja? Bukannya aku juga selalu menyuruhmu untuk minum pil KB?" Lagi, suara Arka semakin menggema di malam yang sudah larut.
Kiran menundukkan kepalanya, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan suaminya itu. "Maaf, Mas. Aku sudah tidak minum obat itu lagi. Perutku kram bila minum obat itu."
Arka terkejut mendengar penjelasan Kiran. "Kenapa kamu tidak bilang? Kenapa kamu diam saja?"
"Aku takut, Mas," jawab Kiran, suaranya nyaris hampir tak terdengar. "Aku takut kamu marah, aku tidak tahu harus bagaimana."
"Tapi seharusnya kamu bilang bila tidak minum obat itu lagi, setidaknya aku bisa mencegahnya!"
Dengan perasaan kesal, Arka menjatuhkan bobot tubuhnya di tepi ranjang. Ia membuang test pack ke sembarang arah, tangannya segera menyanggah kepalanya yang terasa berat. Bagaimana tidak, beban di pundaknya semakin bertambah, belum lagi pekerjaan yang menguras tenaga, dan juga tagihan yang semakin membengkak.
Baru sekitar tiga bulan lalu, ia membeli mobil impiannya dengan kredit, belum juga hutang bank, dan tagihan lainnya yang membuatnya pusing. Sekarang ditambah lagi dengan kehamilan dari istrinya.
Kiran memandang suaminya yang terlihat frustrasi. "Mas, kenapa kamu seperti ini? Seharusnya kamu bahagia, bukan? Kita akan memiliki anak."
Bukannya ucapan Kiran membuat Arka bahagia, tapi malah membuat lelaki itu murka. Arka mengangkat pandangannya ke arah Kiran dan menatapnya tajam. "Kamu tahu, aku ini sedang pusing! Aku sedang memikirkan bagaimana caranya membayar tagihan yang sudah membengkak, dan sekarang ditambah lagi dengan beban kamu yang sedang hamil," sergah Arka, tanpa ia sadari, ucapannya itu begitu menyakitkan di telinga Kiran.
Kiran tertegun, ia tidak habis pikir dengan perkataan suaminya itu. Beban? Apakah suaminya menganggap anak yang dikandungnya itu adalah beban?
/0/21638/coverorgin.jpg?v=20250801213806&imageMogr2/format/webp)
/0/10794/coverorgin.jpg?v=20250122182843&imageMogr2/format/webp)
/0/26494/coverorgin.jpg?v=9f3c4b0d80e84312e3f601762d44dbbc&imageMogr2/format/webp)
/0/28985/coverorgin.jpg?v=fc721434ce0a3ff81fe29e14403a93a6&imageMogr2/format/webp)
/0/23737/coverorgin.jpg?v=598e30d8e758d849123fa70fb1ffdd77&imageMogr2/format/webp)
/0/14411/coverorgin.jpg?v=20250123115921&imageMogr2/format/webp)
/0/17755/coverorgin.jpg?v=c03d6b2af81ce04d9d705988982426d3&imageMogr2/format/webp)
/0/14657/coverorgin.jpg?v=20250123120231&imageMogr2/format/webp)
/0/30821/coverorgin.jpg?v=efe3bdf48fa5ddadaecd6086a7b2d878&imageMogr2/format/webp)
/0/27691/coverorgin.jpg?v=cace5d0e391bec7ed65d8a9df2ed69c0&imageMogr2/format/webp)
/0/27132/coverorgin.jpg?v=8a62a4074b9bfa878363e400e61cfb66&imageMogr2/format/webp)
/0/15227/coverorgin.jpg?v=f9fb3ec54200a24c071370f18b8d2da9&imageMogr2/format/webp)
/0/27200/coverorgin.jpg?v=b250a528e180dbffa54c6e5df87dedc1&imageMogr2/format/webp)
/0/18338/coverorgin.jpg?v=fd3714856cbd0c5db11cdea2f4de72e9&imageMogr2/format/webp)
/0/23841/coverorgin.jpg?v=f504fd44d5add382fb179085698f1b10&imageMogr2/format/webp)
/0/16943/coverorgin.jpg?v=20240521162435&imageMogr2/format/webp)
/0/23532/coverorgin.jpg?v=4e60e3d262b3b2fb557ac9f345e1d24c&imageMogr2/format/webp)
/0/16515/coverorgin.jpg?v=cce79db0f75ce3167b39d18d99008fa6&imageMogr2/format/webp)
/0/17433/coverorgin.jpg?v=20240328170548&imageMogr2/format/webp)