/0/15094/coverorgin.jpg?v=e47e40b3c69070a2e7c84429b1b2df6d&imageMogr2/format/webp)
"Ampun, Bu. Ampun ..., ku mohon hentikan, Bu. Sakiiit ...."
Teriakan Mutia di tiap harinya akan selalu terdengar sampai kerumah-rumah tetangga.
"Rasakan ini, masih kurang, kesini kamu! Dasar kamu memang anak s*al".
Plak plok plak plok ....!!
Dengan ringannya tangan ibu Mutia memukul anak sulung nya tersebut. Dan dari setiap kali selesai dengan amarahnya, ia akan selalu meninggalkannya begitu saja setelah dia puas memukulinya.
Bu Narti, itu adalah dirinya. Entah apa yang membuat dia bersikap begitu kasar pada Mutia, anak sulungnya itu. Baru juga Mutia lulus SMA, tapi Bu Narti sudah mencecarnya dengan berbagai macam kata kasar. Bu Narti hanya ingin Mutia segera bekerja agar bisa menghasilkan uang, untuk membantu membiayai adik Mutia yang masih sekolah.
"Bu, hari ini Mutia pamit mau cari kerja di kawasan industri, ya." Pagi itu Mutia meminta izin dan segera berpamitan kepada ibunya.
"Mau di kawasan, mau di kota, mau dimana terserah kamu, Mutia. Yang penting kamu bekerja, punya penghasilan. Kapan kamu bisa membahagiakan ibu dan bapak jika kamu terus menumpang sama ibu." Begitu sakit jawaban yang ibunya berikan.
"Iya, Bu. Mutia berangkat dulu. Assalamualaikum." Mutia pergi dengan linangan air mata di pagi hari yang cerah itu.
'Ya Allah, apa salahku kepada ibu, hingga beliau begitu membenciku?" ratap Mutia pilu di dalam hatinya.
Mutia berjalan dengan langkah kaki yang terlihat lesu menuju jalan besar untuk mencari angkutan umum. Di sepanjang jalan, beberapa tetangga menyapa Mutia yang berjalan dengan wajah tertunduk lesu. Warga sekitar begitu menyukai Mutia, bukan dari parasnya yang pas-pas an, tapi mereka menyukai sikap dan kesantunan Mutia terhadap orang lain.
"Mau kemana, Nduk. Pagi-pagi kok wajah sudah ditekuk begitu, ilang loh ayune," goda mbak Tutik saat Mutia lewat. Mbak Tutik adalah tetangga satu RT Mutia.
"Mau ngelamar kerja, mbak Tut. Jenuh jika harus di rumah terus," jawab Mutia sekenanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
"Yo, ati ati yo, Nduk. Ojo lali Bismillah." Kata mbak Tutik kepada Mutia, dan Mutia pun hanya mengangguk dan tersenyum kepada mbak Tutik.
Di sana, kebetulan sedang berkumpul ibu-ibu yang sedang berbelanja sayuran.
/0/16914/coverorgin.jpg?v=7d8a807bc586068f1c685c037a9eb1a5&imageMogr2/format/webp)
/0/12737/coverorgin.jpg?v=47c887ad192be9faebf19ea232c9b11d&imageMogr2/format/webp)
/0/24611/coverorgin.jpg?v=ec8a20c274b82dd9df63cf3f627d9889&imageMogr2/format/webp)
/0/8507/coverorgin.jpg?v=47c5cad4298ef62c045d02d9ea6946d5&imageMogr2/format/webp)
/0/4036/coverorgin.jpg?v=473a27fc43596af9b2a65155816e42d9&imageMogr2/format/webp)
/0/16118/coverorgin.jpg?v=61df76f0c80f4df0e0ee298af4a6a102&imageMogr2/format/webp)
/0/23523/coverorgin.jpg?v=d78b52dcff17c3f3d6d6d0a8cea41a47&imageMogr2/format/webp)
/0/27986/coverorgin.jpg?v=9eba3a339aec35f2ef31734d7b87a830&imageMogr2/format/webp)
/0/9494/coverorgin.jpg?v=48cdc5de9d819ace80dffe49a68b52ae&imageMogr2/format/webp)
/0/15087/coverorgin.jpg?v=47d7fdfcf429004b5c89c77424a493d5&imageMogr2/format/webp)
/0/21569/coverorgin.jpg?v=c2b52aebcc134c5562dc3912a442fe34&imageMogr2/format/webp)
/0/29186/coverorgin.jpg?v=fcac88ce672b05ff3785e9e7e18a4721&imageMogr2/format/webp)
/0/27383/coverorgin.jpg?v=51f079974a32f97d08d8f66a35f472df&imageMogr2/format/webp)
/0/29100/coverorgin.jpg?v=03be4522533c953cafeb3bf578abe6ab&imageMogr2/format/webp)
/0/30174/coverorgin.jpg?v=3fce10af200491cc19356ae3f7a2b9fa&imageMogr2/format/webp)
/0/13616/coverorgin.jpg?v=1959bcc47c436c490abb576b3ae3ee04&imageMogr2/format/webp)
/0/12850/coverorgin.jpg?v=d8ab41444e4fe4ef4250b65b3e4b0573&imageMogr2/format/webp)
/0/16285/coverorgin.jpg?v=46baa2a52a1b8d5faaa68a6d2f67951f&imageMogr2/format/webp)
/0/16889/coverorgin.jpg?v=60341e9fe96835f555cd64f9a6a99bc3&imageMogr2/format/webp)